Demokrasi sudah terlanjur menjadi pilihan dalam sistem
politik dan ketata-negaraan kita. Bahkan, banyak yang menganggap bahwa sistem
demokrasi merupakan satu dari sekian banyak sistem yang paling kompatibel
dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Namun pertanyaannya, sudahkah sistem demokrasi yang telah
dijalankan sejak bangsa ini merdeka mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat?
Faktanya, kesenjangan antara yang kaya dan miskin hingga kini masih amat lebar.
Negara, hingga kini belum mampu menyelesaikan problem kemiskinan dan
pengangguran. Perilaku korupsi menyebar secara masif di kalangan elite
penguasa, tidak saja di kalangan tua, bahkan menghinggapi kalangan generasi
muda.
Dalam sebuah tulisan di sebuah media (20/02/2013), pengamat
politik Yudi Latif menguraikan, para arsitek demokrasi pada era reformasi
sepertinya melupakan prasyarat demokrasi. Mereka secara mentah-mentah
mengadopsi institusi demokrasi liberal yang sesungguhnya tidak sepenuhnya
kompatibel dengan kondisi sosio-historis Indonesia.
Menurut Yudi, kegagalan paling nyata dari desain demokrasi
cangkokan ini adalah ketidakmampuan institusi demokrasi menciutkan kesenjangan
sosial guna menghadirkan kondisi kesetaraan sebagai prasyarat demokrasi.
Lebih-lebih, dengan institusi demokrasi yang menggelembungkan
biaya politik untuk meraih kekuasaan, kekuatan modal akhirnya mendikte
demokrasi. Prosedur demokrasi alih-alih menjadi sarana untuk mengatasi
ketidaksetaraan rakyat dalam perekonomian, justru semakin memperkuat
ketidaksetaraan. Parpol yang kuat identik dengan kuatnya modal. Akhirnya
korupsi politik pun tak terelakkan.
Yudi menegaskan, demokrasi di Indonesia saat ini tengah
menuju ke jalan buntu. Menurutnya, yang harus dilakukan adalah revolusi
terhadap sistem demokrasi yang tengah di jalankan saat ini. Caranya, dengan
kembali kepada sistem milik kita sendiri, yang pada masa kemerdekaan telah
dirancang secara tulus dan seksama oleh para founding father negeri ini. Namun, kita perlu melakukan
penyempurnaan di berbagai sisi yang pada masa lalu menjadi sumber penyimpangan.
Pemanfaatan
Teknologi untuk Demokrasi
Salah satu keberhasilan dalam sistem demokrasi adalah
meningkatnya partisipasi rakyat dalam penentuan kebijakan-kebijakan penting
oleh pemerintahnya. Sebab, hakikat demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat.
Teknologi, khususnya jejaring sosial sangat mungkin
dimanfaatkan untuk memaksimalkan partisipasi publik dalam negara demokrasi
seperti Indonesia. Dengan catatan, harus dibuat sistem dan regulasi yang baik
dan memadai serta bisa dipertanggungjawabkan, juga harus bebas dari tindak
manipulasi pihak-pihak tertentu. Catatan lain, pelaksanaan ini harus bertahap
dengan mempertimbakan kultur sosial masyarakat dan keterjangkauan masyarakat
terhadap teknologi.
Menurut data statistik, penggunaan internet dan sosial media
di Indonesia dapat dilihat dari kisaran jumlah pengguna internet dan pengguna
Facebook serta Twitter sebagai top of
mind situs jejaring sosial dan microblogging. Menurut data Internet World
Stats (2012), pada Desember 2011, jumlah pengguna Internet di Indonesia
berkisar pada angka 55 juta pengguna dari estimasi populasi sebesar 245 juta
jiwa. Hal tersebut menunjukkan jumlah pengguna Internet negeri ini mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2000 yang hanya sebesar 2 juta pengguna.
Sementara, data jumlah pengguna Facebook menurut
Checkfacebook.com (2012), Indonesia menempati urutan keempat setelah Amerika
Serikat, India dan Brazil dengan jumlah pengguna sebesar 43.514.840 pengguna.
Memang angka itu masih jauh dari ideal, misalnya jika
dibanding dengan perkiraan jumlah pemilih pada pemilu 2014 yang bakal mencapai
lebih dari 185 juta orang. Kendati demikian, teknologi masih akan terus
berkembang dalam batas yang tidak bisa diperkirakan dan bakal menyentuh lebih
banyak lagi kalangan. Seiring dengan itu, perkembangan teknologi harus
dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat bagi rakyat. Di sejumlah
negara, piranti teknologi telah dimanfaatkan untuk mendukung sistem demokrasi,
seperti untuk melakukan e-voting
dalam pemilu.
Di Indonesia sendiri, e-voting
bukan belum dikenal. Di Kabupaten Jembrana Bali, sebuah kabupaten kecil yang
“miskin” sudah menerapkan sistem teknologi yang memanfaatkan jaringan internet
untuk melakukan praktik demokrasi langsung. Yakni pada pemilihan kepala dusun
hingga pemilihan bupati secara elektronis.
Program itu dimulai ketika bupati Jembrana I Gede Winasa
menggandeng Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (TIK-BPPT) untuk membangun jejaring Jimbarwana Network atau
JembranaNet pada tahun 2001.
Hebatnya, pembangunan JembranaNet terlaksana hanya berbekal
komitmen pemimpin dan kebersamaan atau gotong-royong masyarakat. Untuk
membangun jejaring, tiap simpul, baik di kantor desa maupun perguruan tinggi
dan sekolah-sekolah hingga SD, sukarela merogoh kocek sendiri beberapa juta
rupiah untuk menyediakan seperangkat komputer dan akses ke internet serta
telekomunikasi hingga membentuk telecenter.
Infrastruktur jaringan TIK itu merupakan pintu masuk bagi
pengembangan aplikasi, bukan sekadar untuk mengakses informasi dan
telekomunikasi, melainkan juga administrasi perkantoran serta layanan publik,
seperti pengurusan surat identitas kependudukan hingga layanan kesehatan dan
pendidikan secara elektronis.
Di Jembrana diberlakukan satu nomor identitas untuk satu
orang penduduk, untuk berbagai urusan administrasi. Nomor dan data itu dimuat
di kartu chip. Dalam kartu ukuran 1x1 sentimeter persegi itu tersimpan beragam
data, termasuk data biometrik, seperti sidik jari. Data ini bisa terus
diperbarui sesuai kebutuhan pemegang kartu.
Kartu dilengkapi pengaman berupa sistem enkripsi atau
pengacak guna melindungi akses transaksi uang dan info penting lainnya agar
informasi dalam kartu tidak disadap.
Kartu itu juga diaplikasikan sebagai tanda bukti keabsahan
seorang pemilih dalam pilkada. Kartu chip inilah kunci penerapan sistem
elektronik pada pemungutan suara (e-voting),
termasuk pada pilkada.
Kartu digunakan untuk verifikasi pemilih sehingga
penyimpangan dalam proses pemilihan dapat dihindari. Ini didukung Sistem
Informasi Administrasi Kependudukan. Sekali seseorang telah memberikan
suaranya, maka kartu akan ditolak kotak verifikasi jika ia akan memilih di
tempat lain.
Cara memilih pun sederhana, yaitu dengan menyentuhkan jari
pada layar sentuh tepat di tanda gambar calon kepala daerah yang dipilihnya.
Cara ini memudahkan penduduk, termasuk yang awam sekalipun,
dan mempercepat proses pemilihan dan penyelenggaraan pilkada. Tiap pemilih
hanya butuh waktu 20 detik untuk memberikan suaranya sehingga waktu pemilihan
jadi singkat. Waktu penghitungan suara pun singkat karena dilakukan secara
online. Jembrana sukses menerapkan e-voting
pada pemilihan kepala dusun (pilkadus) sejak Juli 2009. Selain cepat pemungutan
suara secara elektronis juga mampu menekan biaya pilkada.
Karena berbiaya murah, sebetulnya pada tahap berikutnya,
pemungutan suara elektronis ini tidak saja bisa dimanfaatkan untuk pemilihan
pemimpin atau wakil rakyat, tetapi bisa juga untuk voting (semacam survei)
dalam menentukan kebijakan pemerintah yang sangat penting dan terkait erat
dengan kebutuhan rakyat. Jika ini bisa dilakukan maka rakyat dapat mengontrol
para pemimpinnya atau para wakilnya yang ada di parlemen, agar tidak
mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
Parpol nantinya, tidak bisa seenaknya memanfaatkan suara
rakyat pada saat pemilu saja. Pemimpin terpilih pun demikian, akan lebih
berhati-hati dengan kebijakan-kebijakannya, sebab rakyat bisa melakukan voting aspirasi jika kebijakan
pemimpinnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat misalnya.
Penggunaan e-voting
pertama kali dikenal dengan nama Cybervote
oleh Midac (Microprocessor Inteligent Dara Acquisition and Control) pada tahun
1995 dalam suatu pemungutan suara berbasis web untuk jajaj pendapat (petisi)
mengenai uji coba nuklir Perancis di wilayah Pasifik. Hasil petisi dikirimkan
ke pemerintah Perancis melalui syquest
removable hard disk.
Oktober 2001 e-voting
telah digunakan pertama kali dalam pemilihan anggota parlemen Australia. Pemilu tersebut diikuti oleh 16.559 pemilih
yang menggunakan hak pilihnya secara elektronik di empat pemilihan suara (TPS).
Namun demikian, sebagaimana teknologi yang lain, sistem e-voting juga tidak lepas dari berbagai
kelemahan, misalnya soal akurasi data, ketidaksiapan teknologi, ketidaksiapan
masyarakat dan sebagainya. Menurut penelitian IFES, ada 30 negara yang telah menggunakan e-voting untuk hasil pemilu yang mengikat. 9 negara melakukan uji
coba dan kemudian dihentikan, 7 negara sedang berlangsung pengujicobaannya, 11
negara saat ini menggunakan e-voting
(3 untuk keseluruhan pemilihan), 3 negara menghentikan.
Menguatnya
Demokrasi Partisipatoris
Pemanfaatan teknologi hanyalah salah satu cara, sementara
tujuannya adalah agar partisipasi publik atau masyarakat dalam demokrasi dapat
maksimal. Tidak saja dalam pemungutan suara, tetapi dalam penentuan kebijakan,
pembuatan undang-undang, bahkan hingga pada hak menurunkan pemimpin terpilih
jika dia gagal.
Tujuan dari semua sistem yang dibuat, bukan saja e-voting, adalah kebebasan sebagai
esensi demokrasi. Tidak hanya kebebasan politik seperti bebas bicara, memilih,
berkumpul, berorganisasi, tetapi juga bebas secara politik sosial-ekonomi yakni
bebas dari ketidakadilan, kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan
dan sebagainya.
Di Indonesia potensi mengembangkan demokrasi ke arah yang
lebih substansial, tidak sekadar prosedural dengan memanfaatkan potensi
teknologi sangat terbuka. Indikasinya, pengguna jejaring sosial semakin
meningkat yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dapat menerima teknologi
baru dengan baik.
Indikator lain, tingkat pendidikan masyarakat Indonesia juga
semakin baik. Artinya semakin banyak masyarakat yang akan peduli dengan
persoalan-persoalan publik yang selama ini tidak pernah disuarakan.
Lembaga-lembaga non pemerintah dan non partisan juga berkembang dengan baik.
Mereka menjadi corong masyarakat untuk melakukan kritik kebijakan pemerintah
yang secara transparan bertentangan dengan kehendak masyarakat banyak.
Sebagai bukti, ketika kalangan menengah atau kalangan
berpendidikan dan organisasi-organisasi non pemerintah menyuarakan kritik
terhadap pemerintah melalui berbagai media, baik media massa maupun media
sosial, mampu menggerakkan masyarakat lain yang awalnya tidak memiliki perhatian
khusus terhadap kinerja pemerintah untuk bersikap. Lihat saja misalnya, gerakan
media sosial dalam kasus kenaikan BBM atau KPK Vs Polri, setidaknya sudah mampu
membuat Presiden risau dan melakukan sesuatu.
Terlepas dari berbagai kelemahannya, perkembangan teknologi
menyimpan potensi luar biasa yang apabila dimanfaatkan dapat menciptakan
situasi demokrasi yang lebih substansial, ketimbang sekadar melaksanakan proses
formal prosedural demokrasi, yaitu pemilu lima tahunan. Tapi pertanyaanya,
apakah kita siap?
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar