II. Apa itu Quick Count?
Sungguh Quick Count (QC) itu
hanya cara hitungan cepat berdasarkan fakta yang terjadi di TPS-TPS yang
diambil secara random sebagai sampling. Jika secara metodologi benar, dan
dilakukan oleh lembaga yang kredibel, pasti hasilnya sama dengan perhitungan
KPU, dan margin error 1%–2%. Pada intinya, bahwa polling tidak
sekuat QC, karena berupa bukti forensik, sementara polling opini
seseorang terhadap tokoh yang dipilih dapat berubah dari waktu ke waktu, termasuk
exit poll sekalipun (orang ditanya setelah memilih), karena ada human
error, kerahasiaan, dan ketidak jujuran, dan seterusnya. Jadi hitung cepat
adalah hitungan sesungguhnya (hasil tabulasi di TPS). Quick Count cukup
memilih TPS yang tersebar dengan metode random sampling dengan
penyebaran yang terukur dan merata, serta proporsional.
Data TPS yang mempresentasikan hasil
560.000 TPS di seluruh Indonesia minimal dari 2000 TPS – 4000 TPS di seluruh
Indonesia, sudah merupakan bukti forensik secara faktual dan realita hasil
Pilpres. Hanya saja, tentu secara formal domain resmi milik KPU.
Awamnya publik mengenai Quick
Count membuat Jokowi–JK ditunda kemenangannya sampai dengan 22 Juli 2014,
ironinya 2004 dan Pilpres 2009 kita meyakini hasil Quick Count dimana SBY
terpilih. Hanya saja SBY tidak “ria” melakukan deklarasi dan hasilnya,
persentase kemenangan cukup signifikan.
Quick Count dimulai pada
tahun 1986 di Filipina sewaktu akhir Pilpres yang dilakukan Presiden Marcos,
yang pada akhirnya digulingkan melalui people power. Lembaga itu dikenal
dengan Namfrel (Philippines National Citizens’ Movement for Free Elections). Hal ini muncul karena Marcos banyak sekali
melakukan kecurangan.
Sungguh, bagi Kubu Jokowi–JK ini starting
point indikator kemenangan, karena QC adalah alat kontrol dan anak kandung
demokrasi. QC sangat kredibel, hanya masyarakat belum mengetahui secara baik
hasilnya, proses dan kredibilitasnya. QC sangat ilmiah untuk hitung cepat yang
dikenal dengan Central Limit Theorem dan Law of Large Number.
Prinsipnya, menarik sample
dari hitungan besar (random) dengan asumsi semakin besar, semakin akurat
datanya, dengan sample minimal 2.000 TPS. Bayangkan Puskabtis yang
memenangkan Prahara hanya dengan 1.250 orang responden, ketika diminta hasil
per TPS juga tidak dimilikinya. Sungguh ironi budaya demokrasi yang kita bangun
dengan mempercayai hal tersebut. Asosiasi Persepi akhirnya mengeluarkan
Puskabtis dari keanggotaan, karena tidak mau gelar materi dan metodologi
Secara objektif tidak keliru jika ada
pernyataan bahwa “hanya kecurangan yang bisa mengubah hal tersebut”, yang
dinyatakan Burhanuddin Muhtadi. Tapi karena keterlibatannya jadi subjektif
karena kabarnya kebenaran di saat terjadi konflik. Polemik bersifat perang
semantik, bukan hal substantif karena:
• Kubu Jokowi–JK tidak memahami arti Quick Count
dengan baik, sehingga terpaksa diam ketika publik opini menganggap arogan
dengan mengumumkan setelah penghitungan baru berproses 80% langsung perayaan
kemenangan di Hotel Indonesia oleh Relawan yang dihadiri Jokowi, lalu berlanjut
di Tugu Proklamasi.
Dengan kata lain, Jokowi–JK tidak menggalang
publik opini yang optimal untuk meyakinkan masyarakat bahwa Quick Count
delapan lembaga riset bersifat independen dan tidak terkait seperti 4 lembaga
riset dengan Prahara. Seharusnya di titik 9 Juli 2014 publik mengakui dulu
bahwa Jokowi–JK adalah pemenang.
• Sementara
Kubu Prahara merasa itu arogan dan tidak elok untuk pembangunan budaya politik,
dengan ancaman stabilitas nasional SBY turun tangan, pada saat malamnya meminta
kedua Capres ke Cikeas. Masyarakat bilang, “Koq tumben SBY secekatan dan
secepat ini antisipasinya”. Lalu beberapa hari kemudian, partainya
mendeklarasikan diri mendukung Prahara. Konyolnya, petinggi PDIP menganggap SBY
sangat bijak???
Manuver SBY berlanjut dengan
mengontak KPU (melalui Husni Kamil–Ketua) agar kerja adil, jujur, dan menjaga
kesuksesan Pemilu. Yang lebih hebat lagi, SBY menyatakan bahwa jangan sampai
asing terlibat dalam sengketa Pemilu Indonesia. Artinya, SBY sudah “mengendus”
akan ada sengketa, potensinya perusuh hanya dan bisa dipastikan dari 2 kubu
Capres. Jika asumsi SBY yang akan rusuh dari Kubu Jokowi–JK berarti dicurangi
oleh Kubu Prahara dan pendukung tidak terima, lalu membuat pengaduan, advokasi
ke negara asing. Negara asing pasti Amerika Serikat. Aneh juga, SBY bisa
membuat pernyataan tersebut, karena itu risiko yang tidak pernah diambilnya
selama ini. Bahkan kita meyakini dia boneka asing yang baik selama 10 tahun
ini. Kita juga mengetahui bahwa Prabowo tidak sedekat Jokowi–JK dengan Amerika
Serikat, karena Prabowo bermasalah dengan HAM. Sementara Kubu Jokowi–JK pernah
menyatakan melalui T. Mulya Lubis bahwa jika dicurangi akan mengadu kepada
Mahkamah Internasional. Kita juga mengetahui Mahkamah Konstitusi yang
seharusnya menjadi lembaga final sengketa Pemilu, dikenal lebih dekat dengan
Kubu Golkar, PBB, PAN, dan apalagi SBY. Jelas pernyataan Lubis karena hal
tersebut di atas.
Sinyalemen
Rusuh
Jika Kubu Prahara dikalahkan hasil
akhir 22 Juli 2014 dari KPU juga disinyalir rusuh. Hal itu pernyataan dari SBY
dan Menkopolhukam, sementara Kapolri menganggap aman. TNI lebih netral namun
kita tahu bahwa SBY adalah Komando tertinggi dan partainya, Partai Demokrat
mendukung penuh Prahara. SBY juga sangat canggih dalam memanipulasi hasil
Pilpres (2004) melalui IT yang disiapkan konsultan asing dan pansus KPU saat
itu sangat tertutup, tidak transparan seperti saat ini. Kontestan Presiden juga
tidak siap dengan saksi, sehingga kecurangan mudah dilakukan. Jadi SBY sangat
strategis perannya dengan penundaan pengakuan kemenangan Jokowi–JK sebagai
Presiden RI 2014–2019, yang merupakan umpan lambung untuk Kubu Prahara dengan
menyediakan ruang dan waktu leluasa “menggarap” KPU.
Dengan meyakinkan publik bahwa
“stabilitas nasional terancam dengan siaga satu”, maka dari itu seolah-olah
belum ada pemenang, dan tunggu tanggal 22 Juli 2014. Padahal SBY mengetahui
dengan pasti kredibilitas 8 lembaga survey yang memenangkan Jokowi–JK di Quick
Count, dan juga mengetahui bahwa 4 lembaga lainnya yang memenangkan Prahara
itu abal-abal. Dengan meminta Jokowi–JK untuk tidak “ria” terlebih dulu dengan
kemenangannya, SBY berperan menyiapkan mental “akseptabilitas publik” nantinya
jika Prahara dimenangkan.
Dunia mengakui bahwa Quick Count sebagai
alat pengawas demokrasi dan Pemilu curang. Lalu SBY mengantisipasi jika Kubu
Jokowi–JK ribut akan mengadu ke Mahkamah Konstitusi (yang dikuasai), dan di
situlah nanti perangkap bagi Kubu Jokowi–JK. Lebih jauh diantisipasi jika tidak
puas di MK, akan mengadu ke Mahkamah Internasional, juga sudah dicegah terlebih
dahulu untuk memperjuangkan keadilan bagi Kubu Jokowi–JK. Lebih lanjut, tentu
rasa tak puas Kubu Jokowi – JK yang didukung spontan oleh relawan sangat
berpotensi rusuh atau dibuat rusuh, tergantung skenario berikutnya?
Lalu siapa yang diuntungkan jika
rusuh??? Dari kubu manapun yang rusuh keduanya diuntungkan Prahara dimenangkan
jika SBY dan aparat hukum tidak netral. Yang rugi tidak hanya PDIP dan
partai-partai koalisinya atau Jokowi–JK, tapi:
- Rakyat Indonesia, karena ditontonkan hal ketidak pastian dan keributan sosial.
- Budaya demokrasi Indonesia
- Ekses ke ekonomi – bisnis dan kesejahteraan rakyat.
Sungguh, budaya demokrasi korporatif
yang dibangun hanya akan melahirkan pimpinan nasional yang punya power
dan didukung finansial yang kuat. Implementasinya sangat buruk di prosesnya,
karena semua bentuk penggalangan itu berupa “uang” melalui transaksional yang
menyandera objektifitas dalam pengambilan keputusan. Buruknya, hal ini bukan
terjadi di level voters saja (serangan fajar atau apa?), tapi juga pada
panitia (infrastruktur Pemilu), baik di level TPS, KPPS, KPU, KPUD, dan bahkan
juga di KPU Pusat. Sistem demokrasi ini sangat membantu incumbent atau yang
didukung, kekuatan konglomerat hitam dan parpol-parpol bermasalah yang ingin
menutupi borok-boroknya untuk terus berkuasa, sehingga kita jauh dari budaya
musyawarah dan mufakat sesuai nilai-nilai Pancasila yang ditanamkan pendiri
Republik ini.
Tidak terbayangkan jika orang sekelas
Aburizal Bakrie (Golkar), Anis Matta (PKS), M.S. Kaban (PBB), Hatta Rajasa
(PAN), Surya Dharma Ali (PPP), Prabowo (Gerindra), dan SBY (Demokrat) bisa
berlaku sekanak-kanak seperti ini (memutar balikkan fakta) dengan yakin dan
tampil tidak layak di layar TV untuk kekuasaan dan melindungi diri karena takut
ancaman hukum? Khususnya KPK. Jujur, mereka telah memberi pelajaran buruk bagi
bangsa Indonesia, dan semua hanya karena kekuasaan yang rakus dan tanpa batas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar