Bangsa ini dilanda krisis kepemimpinan karena sulitnya
mencari calon-calon pemimpin berkarakter, baik di tingkat lokal apalagi
nasional. Calon pemimpin yang mestinya ditentukan berdasarkan intelektualitas
dan integritas kepada bangsa dan negara, saat ini justru lebih ditentukan oleh
faktor kapital. Calon pemimpin ditentukan karena berapa besar dia memiliki daya
ekonomi (modal) dan seberapa besar berinvestasi dalam pengertian materi kepada
parpolnya.
Untuk maju ke bursa pencalonan presiden misalnya, jelas
seseorang harus punya modal yang besar, bukan saja modal pengalaman politik,
tetapi juga modal dana. Bahkan, pengalaman politik acapkali menjadi prasyarat
nomor sekian.
Akibatnya, calon pemimpin yang muncul selalu saja tidak
kapabel, atau sekurang-kurangnya tidak punya integritas kebangsaan. Karena
ketika dia terpilih menjadi pemimpin yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana
modal yang telah dia keluarkan kembali, serta bagaimana membayar komitmen dengan
para sponsor yang dulu menyumbang dana pencalonannya. Sementara komitmen dengan
rakyat sebagai konstituen yang sesungguhnya, cukup menjawab dengan pencitraan
belaka.
Selain itu, karena saling sandera dengan lawan-lawan politik
(karena sama-sama bermain kotor), pemimpin terpilih akhirnya tidak fokus
menjalankan tugas dan amanah rakyatnya. Dia lebih memilih sibuk dengan
hingar-bingar politik untuk menjawab berbagai isu yang menderanya. Lalu, yang
terjadi adalah politik transaksional atau politik dagang sapi. Lagi-lagi, bukan
politik untuk membela kepentingan rakyatnya.
Lebih-lebih
lagi, sistem demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia kini semakin mengarah
ke arah liberalisme. Direktur Eksekutif Sun Institute, Andrianto menilai sistem
politik liberal memang butuh kemampuan finansial dan kendaraan politik. Oleh
karena itu, jika mengacu kepada sistem ini, kedua hal itu (finansial dan
kendaraan politik) merupakan modal utama untuk meraih kedudukan politik dalam
upaya menduduki badan legislatif atau eksekutif. Karena sistem seperti ini
membutuhkan kekuatan uang yang banyak guna menjadikan seorang calon pemimpin
yang populer di seluruh Tanah Air.
Harus dimaklumi,
karena itu seluruh lapisan masyarakat saat ini sudah muak melihat tingkah polah
para pemimpin atau wakil rakyat yang sesungguhnya dipilih oleh mereka sendiri
melalui proses pemilu. Hal ini ditunjukkan dengan angka keterlibatan masyarakat
yang terus merosot dari pemilu 1999 hingga 2009.
Sebaliknya,
rakyat mengharapkan munculnya seorang pemimpin yang mampu mengurus rakyat dan
bukan mengurusi kepentingan para kaum bourjuis para pemilik modal. Mereka
menginginkan hadirnya seorang presiden yang benar-benar terpilih atas dukungan
masyarakat bukan dukungan uang semata. Tapi apalah daya, peraturan pemilu yang
sarat dengan paham liberalme ini, akhirnya selain memunculkan capres dibeking
para pemilik modal, juga tidak bakal mampu mensejahterakan rakyatnya.
Golput dalam Pemilu Indonesia
Oleh karena itu,
ke depan kita membutuhkan undang-undang pemilu, baik pemilu legislatif,
pilpres, atau pemilukada yang bisa menekan biaya politik dan tidak cenderung
kapitalistik, sehingga uang atau kapital tidak lagi menjadi penentu bagi
terpilihnya seorang calon presiden atau calon-calon pemimpin di daerah, baik
kabupaten/kota maupun provinsi.
Undang-undang
pemilu, baik legislatif, pilpres, maupun pemilukada yang ada sekarang memang
diduga merupakan bagian dari konspirasi rezim global untuk menciptakan
orientasi kapital dalam setiap pemilu. Dengan begitu, kepentingan-kepentingan
perusahaan asing yang padat modal bisa menemukan pintu, dalam kerangka
kepentingan yang sama, dengan para elite yang pasti membutuhkan modal untuk
dana politik.
Sistem
liberalisme yang menjadi misi rezim kapitalis global untuk dikembang di
negara-negara seperti Indonesia, sudah tertanam demikian dalam di dalam sistem
politik dan ketatanegaraan bangsa ini. Mindset
kapitalistik sudah merangsek jauh ke dalam lembaga-lembaga penting negara dan
juga parpol-parpol kita.
Parpol banyak
merekrut anggota berdasarkan modal kapital, padahal misinya sekadar ingin
memperkaya diri dan dan meraih popularitas lewat parpol belaka. Sebab itu, para
kader parpol yang semasa mahasiswa berteriak lantang menentak rezim yang tidak
pro-rakyat, dalam sekejap bisa terkooptasi dengan sistem politik berwatak
kapitalistik ini.
Banyak
kader-kader pemimpin di tingkat kampus misalnya, di masa sebelum menjadi
anggota DPR berpikiran idealis namun begitu bergabung ke dalam gedung Dewan,
dia tercemar juga. Tak sedikit aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM),
Organisasi non pemerintah, pengacara independen yang kerap membela kaum lemah,
aktivis yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan tidak pro-rakyat, yang
kemudian berubah menjadi individualis, memperkaya diri, dan tidak lagi
memikirkan kepentingan rakyat ketika mereka masuk ke dalam sebuah sistem
politik yang mau tidak mau membuat mereka harus menanggalkan idealismenya.
Kendatipun, masih ada segelintir dari mereka yang tetap konsisten dengan perjuangan
ketika belum masuk ke dalam sistem.
LSM dan Ornop
Bumper Asing
Masuk parpol dan
menjadi wakil rakyat mestinya bukan menjadi tujuan para aktivis yang selama ini
menyuarakan kebobrokan sistem politik negeri ini dari luar parlemen atau
sistem. Namun faktanya, sekian banyak politisi yang terlibat sejumlah kasus
korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru di antaranya adalah mereka yang dulu
aktif menyuarakan aspirasi rakyat di luar sistem itu. Pertanyanya kenapa bisa
demikian?
Lagi-lagi,
kapitalisme memang bisa membuai siapa saja, baik dari kalangan aktivis LSM,
ornop, yang dulu idealis, agamawan, aktivis kampus, dan siapa pun, apalagi
orang yang memang dasarnya sudah cenderung ingin berbuat jahat dengan meraup
keuntungan dan pribadi dan popularitas lewat parpol. Bahkan, sebagai wadah para
aktivis idealis LSM justru menjadi sasaran empuk rezim kapitalisme untuk
menyuntikkan ideologi mereka, mengingat kita tahu bahwa LSM potensial membangun
wacana di masyarakat, bahkan punya potensi terlibat dalam penyusunan kebijakan,
sementara di sisi lain LSM dan ornop juga membutuhkan suntikan dana untuk
keberlangsungan kegiatannya. Peluang inilah yang ditangkap rezim kapitalisme
global.
Kembali lagi
kepada sistem yang berlaku di dalam lembaga-lembaga politik semacam parpol. Misalnya,
sejak awal parpol seolah-olah sudah memberi pesan agar siapa pun yang berniat
menjadi caleg harus memiliki ‘gizi’ (modal kapital) yang cukup. Karena, parpol
perlu biaya operasional sekaligus juga biaya kampanye demi mengusung calon
legislatif yang bersangkutan. Apalagi bagi calon yang baru sama sekali terjun
ke dunia politik dan nama belum populer di masyarakat, pasti dananya semakin
besar.
Di dalam sistem
parpol sendiri, berlaku mekanisme mereka yang berduit go head, tapi kader yang pintar, cerdas secara intelek, dan
seringkali turun ke bawah untuk mengadvokasi masyarakat, bila tak ada uang, no way! Akibatnya, kualitas anggota
dewan yang terpilih adalah yang seperti kita saksikan dewasa ini. Banyak di
antara mereka terjerat kasus korupsi, tertangkap kasus narkoba, kasus
perselingkuhan, bolos ketika rapat, dan tidur pulas di tengah rapat sedang
berlangsung, dan banyak lagi.
Kenyataan ini
tentu tidak boleh berlarut. Mesti diciptakan momentum seperti yang pernah
terjadi di era Orba Baru, di mana LSM (yang notabene berisi para aktivis)
ketika itu banyak yang masih memiliki semangat serta idealisme tinggi yang
saling bahu-membahu mengadakan perlawanan. Bahkan ketika itu, LSM-LSM ini
merupakan tulang punggung yang dapat mematahkan kebobrokan masa itu.
Dalam situasi semakin buntu dan hak-hak rakyat tidak terbela,
lalu kepada siapa lagi rakyat mengadukan nasibnya. Di sinilah sebenarnya LSM
harus berperan mengadvokasi. Di zaman Orba, hubungan dinamis antara negara dan
masyarakat lebih banyak diwakili oleh lembaga-lembaga kepresidenan, parlemen
dan kehakiman di satu pihak, dan di pihak lain institusi politik yang telah
mapan seperti parpol, ormas dan kelompok-kelompok kepentingan lain, baik dari
kalangan bisnis atau profesi.
Saat itu, suara mereka seperti vokal grup, yang lagu dan nada
iramanya harus sama semua. Padahal, rakyat makin terjepit kehidupannya. Karena
itu, kemunculan LSM saat itu menemukan momentumnya dalam rangka perbaikan
sistem perpolitikan Tanah Air, kendati sesungguhnya LSM sudah hadir sejak tahun
1960-an, namun saat itu belum banyak dimengerti orang.
Di zaman Orba, kekuatan LSM merupakan sektor ketiga yang
identik sebagai kelompok antipemerintah atau oposan.
Saat ini mestinya wujud perlawanan
LSM secara strategis bukan hanya ditujukan kepada pemerintah yang berpaham
liberalis, tetapi juga harus mampu membendung paham-paham itu yang merupakan
hasil transformasi dari Barat demi kepentingan kaum neo-liberalis dan kaum
neo-kapitalis.
Begitu banyak
produk undang-undang kita yang pada kenyataannya tidak berpihak pada
kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan asing. Justru di sinilah
sebenarnya peran penting LSM atau organisasi masyarakat non pemerintah yang
masih peduli pada nilai-nilai kebangsaan perlu mengambil inisiatif secara
strategis untuk mengamankan kedaulatan bangsa dan membela rakyat yang selama
ini tidak terbela oleh pemerintahnya.
Namun sayang,
rezim kapitalisme begitu massif melakukan “gerilya” untuk menanamkan ide-idenya
agar kedaulatan bangsa ini tidak sungguh-sungguh di tangan rakyatnya. Ada
bagian-bagian dari kekayaan sumber daya bangsa ini yang masih bisa dikeruk
untuk menambah pundi-pundi keuntungan rezim kapitalisme. Tak ayal, LSM, Ornop,
bahkan lembaga keagamaan menjadi sasaran mereka dengan dalih memberi bantuan.
Inilah hambatan yang masih akan terus dihadapi dalam perjalanan perjuangan
mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara.
Perlu diketahui,
bahwa krisis global yang melanda dunia saat ini sesungguhnya bagian taktik kaum
kapitalis-liberalis untuk menyuntikkan janji-janji kemajuan dan kesejahteraan
negara dengan memberi sejumlah bantuan dalam bentuk hibah atau utang, padahal
tujuannya tak lain ingin menguasai dan memperbudak negara-negara sasaran.
Terbukti, meski rakyat sejumlah negara, termasuk Indonesia mengadakan perlawanan
atas kehadiran rezim kapitalis di negerinya, namun mereka dapat dengan mulus
melenggang, mengeruk keuntungan demi keuntungan dari kekeyaan negara lain,
karena mereka telah menyuntikkan mindset kapitalistik ke dalam sistem dan otak
para elite negara sasaran, termasuk Indonesia.
Meski hambatan
itu ada, dan sangat besar, untuk melawan masuknya gelombang dominasi rezim
asing, jika dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kita adalah bangsa besar
yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, niscaya lambat laun
perjuangan ini akan mencapai keberhasilan jua.
Tulisan: Iskandar Bakri (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar