Ibarat anak ayam mati di lumbung padi. Itulah pepatah lama
yang terdengar klise, namun tetap relevan untuk menggambarkan kondisi bangsa
kita sekarang ini. Bagaimana tidak? Angka kemiskinan di daerah-daerah kaya
sumber daya alam, seperti Papua, Kalimantan Timur, Sumbawa, dan Riau, masih
terhitung tinggi. Sedangkan setiap harinya sumber-sumber kekayaan itu, seperti
minyak, emas, batubara, timah, bauksit dan masih banyak lagi dikeruk hingga
tandas, tak jauh dari pemukiman warga miskin yang dalam waktu tertentu hanya
kecipratan bantuan langsung tunai.
Sebenarnya, itulah musuh utama bangsa kita. Biang keladinya
adalah hadirnya pemimpin-pemimpin di segala level kekuasaan yang lebih
menghamba kepentingan asing ketimbang kepentingan bangsanya. Bagi pejabat yang
berasal dari Parpol kenapa kongkalingkong dengan asing? Sebab, sesungguhnya
mereka lebih berkepentingan membesarkan kantong pribadi dan parpolnya ketimbang
mensejahterakan rakyatnya. Maka Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq pun mengutip Rp
5000 per kilogram daging impor yang masuk ke Indonesia. Selain sektor sumber
daya alam, memang sektor pangan yang tidak berdaulat juga menjadi persoalan
besar bangsa ini.
Bahkan, jejak kepentingan asing di sektor pangan terlihat jelas
sejak hulu ke hilir. Di sektor hulu, sebut saja kelapa sawit (Walhi, 2011)
sudah 50% dikuasai asing. Petani di Jawa rata-rata hanya menguasai 0,25 ha
lahan. Sedangkan UU No.41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah No .18
Tahun 2010 tentang Sistem Budidaya Tanaman, ternyata hanya karpet merah bagi
perusahaan besar (biasanya asing) untuk mengambil alih sektor pertanian. Belum
lagi di sektor bibit yang dikuasai oleh segelintir perusahaan multi-nasional seperti
Mossanto. Sudah itu, impor pangan juga terhitung gila-gilaan, dan muaranya
ternyata fee yang dibagi-bagi di
antara pimpinan partai politik dan pejabat yang berwenang.
Oleh karenanya, meskipun Parpol memegang
kendali penting dalam proses sejak rekruitmen calon-calon pejabat publik,
kendati pun kader parpol yang di DPR memiliki kewenangan legislasi, anggaran
dan pengawasan,
serta kader parpol di pemerintahan bertugas mengeksekusi kebijakan yang payung
hukumnya sudah dibuat DPR, dengan maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan
kader-kader parpol, sudah pasti parpol sulit diharapkan menjadi lokomotif
perubahan. Apalagi Undang-undang yang dibuatnya, sebagian besar terindikasi
disusupi oleh kepentingan asing.
Bila Parpol sulit diharapkan, bagaimana dengan peran media
massa? Setali tiga uang. Pasalnya, struktur kepemilikan media massa –sebut saja
televisi, di antara 10 stasiun televisi nasional hanya dimiliki oleh empat
Orang. Harry Tanu Soedibyo sendiri memiliki 3 stasiun televisi, Chairul
Tandjung 2 televisi, Grup Bakrie 2 stasiun televisi, SCTV dan Indosiar
pemiliknya sama, dan Surya Paloh 1 televisi. Begitu juga media cetak nasional
yang juga dimiliki oleh sedikit orang. Maka sulit pula mengharapkan perubahan
dari media massa nasional, selain tayangan kehebohan yang tidak membawa manfaat
apa-apa bagi perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa ini ke depan.
Birokrasi pemerintahan pun cenderung partisan, membela siapa
pun bosnya yang kebanyakan berlatar-belakang parpol, dan kalau pun tidak parpol
pasti orang dekat Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, atau Menteri. Hal itu
terlihat jelas, setiap pengungkapan kasus korupsi, sebelum bos besarnya kena,
lebih dulu para birokrat ini yang kena ciduk KPK. Sedangkan birokrat yang
bersih jumlahnya kecil dan biasanya pula tidak menduduki posisi jabatan
penting.
TNI sendiri, sejauh ini bersikap netral, kendati kerusuhan
sosial hampir setiap hari ditayangkan stasiun televisi. Ini berbeda dengan
karakter TNI di era Orde Baru. Kendati dicitrakan sebagai anjing penjaganya
kekuasaan Soeharto, tidak selamanya TNI bersikap loyal habis-habisan kepada
Soeharto. Terpentalnya Benny Moerdani, atau sebelumnya perwira-perwira TNI-AD
yang bergabung dalam Forum Study Angkatan Darat, menunjukkan bahwa TNI masih
bisa bersikap kritis terhadap Soeharto. Singkatnya, perwira TNI yang ada
sekarang ini sulit pula diharapkan menjadi kekuatan perubahan.
Toh begitu, bukan berarti kondisi kepemimpinan yang ada
sekarang ini, kepemimpinan yang terang benderang menjadi pembela terdepan
kepentingan asing, bisa tidur nyenyak tanpa perlawanan. Paling tidak, sejumlah
tokoh dari lintas agama, di antaranya yang aktif Dien Syamsuddin, Syafii
Maarif, Salahuddin Wahid dari kelompok Islam, ditopang para pastur, pendeta,
pedanda dan biksu, pernah membuat gerakan anti-kebohongan yang langsung
menghujam kredibilitas personal SBY. Muncul pula olok-olok spanduk Negara ‘Auto
Pilot’ yang menihilkan kerja-kerja pemerintah, dan masih banyak lagi.
Kendati gerakan kaum agamawan itu tidak menggulingkan
kekuasaan, karena memang bukan itu tujuannya, setidaknya gerakan itu
menginspirasi gerakan-gerakan lainnya, baik yang bersifat politik nasional
maupun sektoral. Api perlawanan terhadap penguasa yang antek asing dan terbukti
korup di segala levelnya, terus berkobar di dada kebanyakan anak muda. Meskipun
memang perlu diakui, gerakan-gerakan itu masih bersifat sporadik dan sulit
disatukan dalam satu kepemimpinan yang disiplin dan terorganisir. Satu komando
satu perlawanan, baru terhenti sekadar menjadi slogan aksi jalanan yang paling
banyak melibatkan 10 ribu orang dalam aksi yang tidak berkelanjutan.
Kelompok Partai Rakyat Demokratis (PRD) dengan didukung
sejumlah elemen kritis di Jakarta pernah melakukan aksi pendudukan pintu depan
gedung DPR. Tapi aksi advokasi petani korban penyerobotan lahan di Jambi dan
Riau itu hanya bertahan tidak sampai satu bulan. Karena memang, gerakan
perlawanan yang mereka ikhtiarkan belum mendapat simpati publik dalam bentuk
nyata, sehingga stamina gerakan kendor dan menunggu lagi adanya peristiwa yang
membangkitkan lagi gairah perlawanannya. Tujuan dari gerakan itu, tentu saja
diciptakannya momentum yang memungkinkan gerakan mendapat dukungan publik yang
lebih nyata dan besar.
Toh demikian, upaya-upaya seperti yang dilakukan kawan-kawan
PRD dan kelompok-kelompok kritis yang masih berdiri di luar pagar kekuasaan itu
tetap perlu didukung. Tidak pula semua ikhtiar yang dilakukan kawan-kawan
gerakan yang saya sebut “non-parlementer’ itu gagal total. Dengan adanya
gerakan itu, setidaknya pemberlakuan harga BBM sesuai harga pasar yang mestinya
berlaku sejak 2010 lalu, hingga kini tidak diberlakukan. Rakyat tetap menikmati
harga BBM yang murah itu. Selain itu, dimenangkannya Opsi C dalam kasus Century
juga tidak terlepas dari hingar-bingarnya gerakan ekstra parlementer. Tanpa
adanya tekanan masyarakat yang kuat, niscaya bukan tidak mungkin parpol-parpol
yang semula kritis cepat balik badan.
Penting pula dikedepankan di sini, tentang ampuhnya peran social media (media sosial), seperti
twitter, facebook, BlackBerry (BB), dan jaringan-jaringan website interaktif.
Kemenangan Jokowi–Ahok yang pada survey awal hanya 17% dan mampu meraih 42%
sehingga maju ke putaran kedua, tidak terlepas dari pengaruh media sosial.
Begitu juga dengan kasus Prita, kasus nenek yang mencuri semangka, dan terakhir
kali kasus ibu-ibu korban kecelakaan yang dijadikan polisi sebagai tersangka,
berangkat dari berita lokal yang disebarluaskan oleh jaringan sosial media,
kasus itu menjadi perhatian publik secara luas. Sehingga kasus-kasus itu dimenangkan
oleh Prita, sang nenek pun meskipun divonis bersalah namun tidak dipenjarakan,
dan status tersangka ibu-ibu si korban kecelakaan dicabut oleh polisi.
Media sosial pula yang menghancurkan politik pencitraan
Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, sehingga publik merasa dibohongi
oleh jargon-jargon kedua partai itu. Media sosial juga yang membuat kepercayaan
publik terhadap parpol, DPR dan pemerintah runtuh. Artinya, di tengah gulitanya
situasi akibat pemimpin yang bertekuk lutut kepada kepentingan asing, masih ada
setingkap cahaya terang yang dihadirkan kaum agamawan, kelompok-kelompok
perlawanan, dan munculnya social media
yang ibarat berkah dari Tuhan, mampu menelanjangi kebohongan penguasa.
Di situ pula tergambar, bahwa perubahan tidak bisa dilakukan
melalui politik formal, atau Pemilu 2014 yang tinggal tersisa 14 bulan lagi.
Perubahan tidak bisa dilakukan melalui bilik pemilu yang kemungkinan besar
menghasilkan pemimpin yang sebelas-dua belas dengan kepemimpinan sekarang ini.
Perubahan hanya bisa dilakukan melalui gerakan ekstra-parlementer, baik melalui
aksi-aksi jalanan dari ‘ksatria-ksatria’ perubahan yang tersisa, kaum agamawan,
akademisi dan desakan masyarakat luas yang digaungkan melalui jaringan media
sosial.
Media sosial bukan kunang-kunang, melainkan berkah Allah SWT
yang diturunkan dari langit untuk membasmi kepongahan Kapitalisme Global yang
sudah mentahbiskan diri sebagai pemenang tunggal peradaban. Kun fayakun, kalau Allah sudah
berkehendak, siapa pun tak bisa menghalanginya. Oleh karenanya kita tunggu saja
revolutions by social media, apapun
bentuk dan aktualisasinya.
Tulisan: Marlin Dinamikanto (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar