Di tengah nihilnya keberpihakan elite pemimpin bangsa
terhadap kedaulatan nasional, ternyata nasionalisme di tengah masyarakat justru
semakin menguat. Kini, rakyat membangun kekuatannya sendiri, menuntut
pemerintah dan para elite politik untuk mulai memperhatikan kedaulatan nasional
yang kian hari kian tergerus.
Masih ingat soal pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi? Lembaga ini bubar pada 13 November 2012 lalu karena tuntutan sejumlah elemen masyarakat yang menganggap keberadaannya tidak konstitusional serta mengkhianati kepentingan nasional. Kendati belum ada tindak lanjut yang memuaskan pasca dibubarkannya BP Migas, tapi setidaknya hal itu cukup menunjukkan keberhasilan kelompok masyarakat melawan pola kebijakan pemerintah yang tidak nasionalis.
Dalam salah satu putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai BP Migas yang diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas bertentangan dengan UUD 1945. MK juga menilai UU Migas tersebut membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Pola unbundling yang memisahkan antara kegiatan hulu dan hilir ditengarai sebagai upaya pihak asing untuk memecah belah industri migas nasional sehingga mempermudah penguasaannya.
Lalu pada 18 Oktober 2012 lalu, tidak kurang dari 500-an aktivis, dosen, pengamat, mahasiswa, dan masyarakat umum menandatangani Petisi Blok Mahakam yang diinisiasi pengamat Migas dan Direktur Eksekutif Indonesian Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara. Petisi yang dipublikasikan dalam website satunegeri.com itu telah didukung oleh 2.482 orang.
Dalam petisi tersebut masyarakat menuntut pemerintah, dalam hal ini Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono agar menghentikan Kontrak Karya (KK) Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) di ladang gas terbesar di Indonesia, Blok Mahakam.
Surat berisi ‘Petisi BloK Mahakam untuk Rakyat’, pun secara resmi telah dilayangkan kepada Presiden SBY melalui Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta pada Rabu (17/10/2012).
Petisi itu berisi delapan butir tuntutan yang intinya ingin agar pengelolaan Blok Mahakam sepenuhnya diserahkan kepada BUMN dalam negeri, yakni Pertamina. Dalam petisi itu juga disebutkan penolakan terhadap berbagai upaya dan tekanan pihak asing, termasuk tawaran kerja sama ekonomi, beasiswa dan komitmen investasi migas dari operator lama Blok Mahakam, guna memperoleh perpanjangan kontrak.
Apa yang bisa kita simpulkan dari peristiwa-peristiwa yang disebutkan tadi, yaitu bahwa ada keinginan yang kuat dari rakyat untuk mewujudkan kedaulatan nasionalnya. Namun sayang, para elite pemimpin yang ada saat ini tidak punya nyali untuk menolak masuknya kepentingan asing yang telah “berjibun” itu. Pasalnya, di balik masuknya kepentingan asing, para elite ditengarai mendapat keuntungan sebagai kompensasinya. Praktik berburu rente macam ini berlaku dan menyebar di kalangan para elite penentu kebijakan, baik di pemeritahan maupun di DPR.
Selain gerakan-gerakan masyarakat yang banyak muncul meneriakkan penolakan terhadap dominasi asing yang telah menggurita, kelompok kritis di tengah-tengah masyarakat juga mulai bermunculan, kendati mereka ini bergerak secara sporadik namun “teriakan” mereka cukup efektif memengaruhi minsdet masyarakat yang lain.
Orang-orang ini diuntungkan dengan keberadaan sosial media yang menjamur dewasa ini. Mereka menyalurkan kegelisahannya soal kedaulatan nasional yang kian pupus melalui jejaring sosial. Kita tentu ingat akun twitter Trio Macan 2000 yang cukup menggemparkan jagat dunia maya. Data-data yang disodorkan pemilik akun anonim ini, kendati sulit dipertanggungjawabkan, cukup membuat banyak pejabat gerah. Akun ini tercatat sempat menguak sejumlah skandal, termasuk soal korupsi di Pertamina dan Petral yang melibatkan sejumlah mafia Istana.
Masih ingat soal pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh Mahkamah Konstitusi? Lembaga ini bubar pada 13 November 2012 lalu karena tuntutan sejumlah elemen masyarakat yang menganggap keberadaannya tidak konstitusional serta mengkhianati kepentingan nasional. Kendati belum ada tindak lanjut yang memuaskan pasca dibubarkannya BP Migas, tapi setidaknya hal itu cukup menunjukkan keberhasilan kelompok masyarakat melawan pola kebijakan pemerintah yang tidak nasionalis.
Dalam salah satu putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai BP Migas yang diatur di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas bertentangan dengan UUD 1945. MK juga menilai UU Migas tersebut membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Pola unbundling yang memisahkan antara kegiatan hulu dan hilir ditengarai sebagai upaya pihak asing untuk memecah belah industri migas nasional sehingga mempermudah penguasaannya.
Lalu pada 18 Oktober 2012 lalu, tidak kurang dari 500-an aktivis, dosen, pengamat, mahasiswa, dan masyarakat umum menandatangani Petisi Blok Mahakam yang diinisiasi pengamat Migas dan Direktur Eksekutif Indonesian Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara. Petisi yang dipublikasikan dalam website satunegeri.com itu telah didukung oleh 2.482 orang.
Dalam petisi tersebut masyarakat menuntut pemerintah, dalam hal ini Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono agar menghentikan Kontrak Karya (KK) Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) di ladang gas terbesar di Indonesia, Blok Mahakam.
Surat berisi ‘Petisi BloK Mahakam untuk Rakyat’, pun secara resmi telah dilayangkan kepada Presiden SBY melalui Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta pada Rabu (17/10/2012).
Petisi itu berisi delapan butir tuntutan yang intinya ingin agar pengelolaan Blok Mahakam sepenuhnya diserahkan kepada BUMN dalam negeri, yakni Pertamina. Dalam petisi itu juga disebutkan penolakan terhadap berbagai upaya dan tekanan pihak asing, termasuk tawaran kerja sama ekonomi, beasiswa dan komitmen investasi migas dari operator lama Blok Mahakam, guna memperoleh perpanjangan kontrak.
Apa yang bisa kita simpulkan dari peristiwa-peristiwa yang disebutkan tadi, yaitu bahwa ada keinginan yang kuat dari rakyat untuk mewujudkan kedaulatan nasionalnya. Namun sayang, para elite pemimpin yang ada saat ini tidak punya nyali untuk menolak masuknya kepentingan asing yang telah “berjibun” itu. Pasalnya, di balik masuknya kepentingan asing, para elite ditengarai mendapat keuntungan sebagai kompensasinya. Praktik berburu rente macam ini berlaku dan menyebar di kalangan para elite penentu kebijakan, baik di pemeritahan maupun di DPR.
Selain gerakan-gerakan masyarakat yang banyak muncul meneriakkan penolakan terhadap dominasi asing yang telah menggurita, kelompok kritis di tengah-tengah masyarakat juga mulai bermunculan, kendati mereka ini bergerak secara sporadik namun “teriakan” mereka cukup efektif memengaruhi minsdet masyarakat yang lain.
Orang-orang ini diuntungkan dengan keberadaan sosial media yang menjamur dewasa ini. Mereka menyalurkan kegelisahannya soal kedaulatan nasional yang kian pupus melalui jejaring sosial. Kita tentu ingat akun twitter Trio Macan 2000 yang cukup menggemparkan jagat dunia maya. Data-data yang disodorkan pemilik akun anonim ini, kendati sulit dipertanggungjawabkan, cukup membuat banyak pejabat gerah. Akun ini tercatat sempat menguak sejumlah skandal, termasuk soal korupsi di Pertamina dan Petral yang melibatkan sejumlah mafia Istana.
Kelompok Kritis Anti
Dominasi Asing dan Fokus Gerakannya
Kelompok
|
Fokus Gerakan
|
Indonesia For Global Justice
|
Isu liberalisasi dan perdagangan bebas
|
Koalisi Anti
Utang (KAU)
|
Menyikapi utang luar negeri, menolak
utang luar negeri sebagai mekanisme penjajahan gaya baru terhadap
negara berkembang. Fokus gerakan:
1. Membangun gerakan
menentang globalisasi ekonomi neo-liberalisme.
2. Memperkuat
konstituen melalui mobilisasi dan pengorganisasian pada level anggota dan
masyarakat basis.
3. Membangun aliansi
strategis dengan kelompok gerakan sosial lainnya untuk melawan neo-imperialisme baik di level nasional maupun internasional.
|
Indonesian Democracy Monitor
(INDEMO)
|
Merupakan lembaga yang konsen terhadap
perkembangan politik pelaksanaan demokrasi, INDEMO memposisikan sebagai
lembaga oposan independen yang memantau pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
|
Petisi 28
|
Menolak kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.
|
Indonesian
Resources Studies (IRESS)
|
Organisiasi intelektual (non partisan)
di bidang kebijakan publik, khususnya menyangkut SDA dan industri strategis.
|
Gerakan
Rakyat Untuk Perubahan
|
Menolak
segala bentuk intervensi asing, termasuk yang berkedok bantuan luar negeri ke
Indonesia.
|
Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI)
|
Membebaskan umat dari ide-ide, sistem
perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari
cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir.
|
Kelompok
Cipayung (gabungan HMI, GMNI, PMKRI, GMKI)
|
Menyatukan semua komponen bangsa, baik
antar kelompok masyarakat maupun masyarakat dengan pemerintah.
|
Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
|
Mempertahankan NKRI yang berdaulat di
bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang
kebudayaan.
|
Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM)
|
Jaringan organisasi non pemerintah dan
organisasi komunitas yang memiliki kepedulian terhadap HAM, gender,
lingkungan hidup, masyarakat adat dan isu-isu keadilan sosial dalam industri
pertambangan dan migas.
|
Pro
Demokrasi (PRO DEM)
|
Mengintensifkan jaringan komunikasi di antara
kelompok-kelompok, lembaga-lembaga ataupun individu-individu yang menaruh
perhatian terhadap arah perkembangan dan hari depan demokrasi di Indonesia.
|
Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
|
Menghancurkan sistem anti-demokrasi dan mewujudkan
masyarakat demokratis dan berkeadilan sosial. Mewujudkan Demokrasi
Kerakyatan, yang secara ide dan kenyataan berpihak kepada mayoritas rakyat,
yaitu kaum buruh, tani, dan miskin kota.
|
Front Aksi
Mahasiswa UI (FAM UI)
|
Menyuarakan aspirasi mahasiswa UI
terhadap masalah-masalah yang terjadi di dalam UI maupun nasional.
|
Konsolidasi
Nasional Mahasiswa Indonesia (Konami)
|
Konsolidasi gerakan mahasiswa di
Indonesia yang kontra kepemimpinan SBY-Budiono dan menguatkan gerakan rakyat
menggugat Pemerintahan SBY-Budiono yang mengarah pada gerakan “Turunkan
Pemerintahan SBY-Budiono”.
|
KAMMI
|
Mitra masyarakat dalam upaya
pembangunan masyarakat sipil, demokratisasi dan pembangunan
kesatuan/persaudaraan ummat dan bangsa melalui advokasi sosial, kritisk
konstruktif kebijakan negara yang memarginalisasi rakyat.
|
Gabungan
Solidaritas Perjuangan Buruh (GSPB)
|
Menyatukan seluruh perlawanan buruh
dengan rakyat miskin, ke dalam wadah persatuan yang mandiri dan terkoordinasi
secara nasional.
|
Serikat
Rakyat Miskin Indonesia (SRMI)
|
Memperjuangkan
hak rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas.
Memperjuangkan
hak rakyat mendapat pendidikan gratis sampai ke jenjang Universitas.
Menuntut
pemerintah menyediakan perumahan murah, layak dan sehat bagi rakyat miskin.
Menolak
keras segala bentuk kenaikan harga barang dan jasa pokok bagi rakyat.
Menolak
sistem kerja kontrak. Memperjuangkan hak rakyat untuk mendapat pekerjaan dan
upah yang layak.
Memperjuangkan
Jaminan hukum bagi hak hidup, hak bekerja, dan hak bertempat-tinggal bagi
seluruh rakyat.
Menolak
segala bentuk penggusuran pemukiman dan lahan usaha rakyat.
Memperjuangkan
Jakarta bebas dari masalah banjir, sampah dan kemacetan.
Memperjuangkan
pemerintahan yang bebas dari praktek korupsi dan mendesak pemerintah untuk
mengadili serta menyita harta koruptor, dari yang berskala kecil hingga yang
berskala besar.
Menolak
segala bentuk penjualan aset-aset kekayaan bangsa kepada pihak asing (BUMN,
Gas, Minyak, Air, Mineral, Emas, Batu Bara, dsb).
Menutut pemerintah melaksanakan UUD
1945 Pasal 33.
|
Kongres
Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
|
Menghimpun kekuatan buruh untuk
melawan kapitalisme.
|
Media sosial di Indonesia berperan penting dalam penyebaran
ide-ide anti dominasi asing hingga ide revolusi. Rakyat di sudut negeri yang
jauh dari pusat kekuasaan pun kini bisa menyalurkan aspirasinya melalui media
jejaring sosial tanpa ada hambatan sama sekali. Bukan tidak mungkin, media
sosial bakalan melahirkan gerakan revolusi sebagaimana yang terjadi di
negara-negara Timur Tengah dewasa ini.
Kendatipun banyak pengamat menilai, bangsa Indonesia telah melewati fase sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah melalui peristiwa Reformasi 1998. Tapi siapa duga, kalau rakyat kecewa dengan hasil reformasi, ke depan revolusi masih mungkin saja terjadi.
Gerakan masyarakat menuntut kepemimpinan nasional yang pro terhadap rakyat juga semakin menguat seiring melemahnya fungsi par pol sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat. Saat ini, kepercayaan rakyat terhadap parpol menurun drastis. Hasil survei berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa belakangan ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol amat rendah. Fungsi parpol sebagai wadah penyalur asprasi rakyat tidak berjalan, sebab parpol hanya hadir di tengah-tengah konstituen ketika pemilu lima tahunan saja.
Di satu sisi, kondisi ini mengancam sistem demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia, tapi di sisi lain juga merupakan kesempatan atau peluang bagi gerakan rakyat untuk menggantikan peran parpol yang sudah terkooptasi kepentingan kapitalisme, untuk mendorong terjadinya percepatan perubahan (revolusi).
Kendatipun banyak pengamat menilai, bangsa Indonesia telah melewati fase sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah melalui peristiwa Reformasi 1998. Tapi siapa duga, kalau rakyat kecewa dengan hasil reformasi, ke depan revolusi masih mungkin saja terjadi.
Gerakan masyarakat menuntut kepemimpinan nasional yang pro terhadap rakyat juga semakin menguat seiring melemahnya fungsi par pol sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat. Saat ini, kepercayaan rakyat terhadap parpol menurun drastis. Hasil survei berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa belakangan ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol amat rendah. Fungsi parpol sebagai wadah penyalur asprasi rakyat tidak berjalan, sebab parpol hanya hadir di tengah-tengah konstituen ketika pemilu lima tahunan saja.
Di satu sisi, kondisi ini mengancam sistem demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia, tapi di sisi lain juga merupakan kesempatan atau peluang bagi gerakan rakyat untuk menggantikan peran parpol yang sudah terkooptasi kepentingan kapitalisme, untuk mendorong terjadinya percepatan perubahan (revolusi).
Di
Tingkat Global Isu Nasionalisasi Menguat
Isu nasionalisasi yang makin menguat tidak saja terjadi di
Indonesia. Negara-negara lain bahkan sudah melakukan langkah kongkret untuk
menasionalisasi sejumlah perusahaan yang sebelumnya berada di bawah dominasi
asing.
Pada 2012 lalu, Presiden Bolivia Evo Morales melakukan nasionalisasi terhadap jaringan transmisi listrik utama di negeri itu dari tangan perusahaan Spanyol.
Perusahaan bernama Transportadora de Electricidad (TdE) yang merupakan anak perusahaan dari Red Electrica Corporacion Spanyol itu menguasai tiga perempat jaringan transmisi listrik di Bolivia. Pemerintah Spanyol menguasai 20 persen saham perusahaan ini sejak diprivatisasi tahun 1997.
Pada tahun 2006, hanya beberapa bulan setelah berkuasa, Morales menasionalisasi sejumlah perusahaan migas yang sebelumnya diprivatisasi. Kemudian tahun 2008, Morales menasionalisasi perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri itu, Entel, dari tangan Telecom Italia SpA.
Pada 2010, pemerintah Bolivia juga mengambil kontrol terhadap perusahan hydroeletric dari tangan perusahaan Inggris dan Perancis. Morales dinilai berhasil melakukan nasionalisasi sejumlah perusahaan yang selama ini dikuasai asing dan memberikan kepentingan yang lebih besar terhadap negara. Langkah nasionalisasi Morales ini telah membuat kepanikan perusahaan Spanyol yang beroperasi di Amerika Latin. Apakah di Indonesia ini bisa terjadi? Sangat bisa. Tapi pertanyaannya adakah keinginan politik yang berpihak kepada rakyat dari para pemimpin kita?
Apa yang dilakukan Morales juga dilakukan Presiden Argentina, Cristina Fernandez yang melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan minyak YPF, yaitu perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai Repsol Spanyol.
Kini, di tengah rapuhnya sistem kapitalisme pasar bebas yang telah menyebabkan kerontokan perekonomian Eropa hingga Amerika, banyak negara di dunia mulai memikirkan kembali proteksi terhadap produk-produk dalam negerinya. Bahkan nasionalisasi mulai dilakukan oleh negara-negara Eropa yang masih menganut sistem pasar bebas itu. Belanda misalnya, akibat efek domino krisis keuangan Eropa, beberapa saat lalu terpaksa menasionalisasi bank terbesar keempat di negerinya, SNS Reaal. Selain itu, keadilan sosial pun terus diwacanakan oleh banyak gerakan masyarakat di berbagai belahan dunia, bahkan dari negara kapitalis sekalipun.
Menguatnya poros Asia yang dimotori Cina sebagai negara yang paling pesat perkembangan ekonominya di dunia saat ini, telah berhasil mengurangi dominasi Amerika dan negara-negara Eropa lainnya. Jika bisa dimanfaatkan, situasi ini sebenarnya bisa mendorong agar segera terjadinya perubahan sistem yang cenderung pro-asing dan kapitalistik di negeri ini.
Betapapun kuatnya cengkeram rezim asing mengkooptasi elite kekuasaan negeri ini, apabila kesadaran nasionalisme rakyat tumbuh dengan baik, disertai adanya peluang untuk terjadinya perubahan dengan indikator-indikator disebutkan tadi, bukan tak mungkin pergantian kepemimpinan bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu hasil pemilu yang sudah tidak bisa diharapkan itu.
Pada 2012 lalu, Presiden Bolivia Evo Morales melakukan nasionalisasi terhadap jaringan transmisi listrik utama di negeri itu dari tangan perusahaan Spanyol.
Perusahaan bernama Transportadora de Electricidad (TdE) yang merupakan anak perusahaan dari Red Electrica Corporacion Spanyol itu menguasai tiga perempat jaringan transmisi listrik di Bolivia. Pemerintah Spanyol menguasai 20 persen saham perusahaan ini sejak diprivatisasi tahun 1997.
Pada tahun 2006, hanya beberapa bulan setelah berkuasa, Morales menasionalisasi sejumlah perusahaan migas yang sebelumnya diprivatisasi. Kemudian tahun 2008, Morales menasionalisasi perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri itu, Entel, dari tangan Telecom Italia SpA.
Pada 2010, pemerintah Bolivia juga mengambil kontrol terhadap perusahan hydroeletric dari tangan perusahaan Inggris dan Perancis. Morales dinilai berhasil melakukan nasionalisasi sejumlah perusahaan yang selama ini dikuasai asing dan memberikan kepentingan yang lebih besar terhadap negara. Langkah nasionalisasi Morales ini telah membuat kepanikan perusahaan Spanyol yang beroperasi di Amerika Latin. Apakah di Indonesia ini bisa terjadi? Sangat bisa. Tapi pertanyaannya adakah keinginan politik yang berpihak kepada rakyat dari para pemimpin kita?
Apa yang dilakukan Morales juga dilakukan Presiden Argentina, Cristina Fernandez yang melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan minyak YPF, yaitu perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai Repsol Spanyol.
Kini, di tengah rapuhnya sistem kapitalisme pasar bebas yang telah menyebabkan kerontokan perekonomian Eropa hingga Amerika, banyak negara di dunia mulai memikirkan kembali proteksi terhadap produk-produk dalam negerinya. Bahkan nasionalisasi mulai dilakukan oleh negara-negara Eropa yang masih menganut sistem pasar bebas itu. Belanda misalnya, akibat efek domino krisis keuangan Eropa, beberapa saat lalu terpaksa menasionalisasi bank terbesar keempat di negerinya, SNS Reaal. Selain itu, keadilan sosial pun terus diwacanakan oleh banyak gerakan masyarakat di berbagai belahan dunia, bahkan dari negara kapitalis sekalipun.
Menguatnya poros Asia yang dimotori Cina sebagai negara yang paling pesat perkembangan ekonominya di dunia saat ini, telah berhasil mengurangi dominasi Amerika dan negara-negara Eropa lainnya. Jika bisa dimanfaatkan, situasi ini sebenarnya bisa mendorong agar segera terjadinya perubahan sistem yang cenderung pro-asing dan kapitalistik di negeri ini.
Betapapun kuatnya cengkeram rezim asing mengkooptasi elite kekuasaan negeri ini, apabila kesadaran nasionalisme rakyat tumbuh dengan baik, disertai adanya peluang untuk terjadinya perubahan dengan indikator-indikator disebutkan tadi, bukan tak mungkin pergantian kepemimpinan bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu hasil pemilu yang sudah tidak bisa diharapkan itu.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar