Kapitalis global telah meluluhlantakan
sendi-sendi ekonomi bangsa. Ia masuk dengan cara mempraktekkan prinsip ekonomi
liberal, di mana persaingan bebas dan pasar bebas menjadi jargon di segala
tindakannya. Bagi negara yang pemimpinnya pro-liberalisasi, ekonomi mengalami
pertumbuhan, namun yang menikmati hanya
segelintir orang saja. Jurang antara kaya-miskin melebar, kekayaan sumber daya
alam yang seharusnya dinikmati rakyat diperas habis dan kemudian mengalir ke
pusat pemilik modal.
Kepemimpinan nasional pada rezim
liberalis selalu mengejar pertumbuhan ekonomi. Alih-alih memberi perlindungan
terhadap nasib ekonomi rakyat, yang terjadi adalah ketimpangan. Atas nama perdagangan bebas, serbuan produk-produk
asing dibiarkan begitu saja menggerus industri rakyat hingga satu per satu
menemui ajal. Sementara, daya kreativitas rakyat menjadi mandek. Pemerintah
lebih banyak melakukan langkah-langkah pragmatis. Untuk memenuhi kebutuhan
pangan, pemerintah lebih menyukai impor daripada membangun sektor pertanian
maupun peternakan.
Sejak pemerintah Orde Baru mengawali
pemerintahannya, benih-benih liberalisasi ekonomi sudah mulai nampak. Untuk
melakukan rehabilitasi ekonomi, Soeharto dengan kebijakan pro-asing mengundang
sejumlah investor asing dan mendekati berbagai sumber keuangan seperti Bank
Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Pembangunan Asia (ADB), untuk
mengajukan utang. Juga negara-negara industri maju yang tergabung dalam
konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) didekati agar memberi pinjaman kepada Indonesia.
Gali lobang tutup lobang, merupakan kebijakan yang dilakukan
kepemimpinan Soeharto dengan rezim Orba-nya. Alih-alih mengupayakan agar
ekonomi dapat berdikari, tidak tergantung pada utang luar negeri, para
teknokrat Orba yang dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” justru mendorong
pemerintah untuk terus menggali utang sebanyak-banyaknya serta melakukan
impor barang modal.
Sumber daya alam sudah
dikapling-kapling saat Soeharto menjabat presiden. Pada 1967, melalui utusannya
Widjojo cs bertemu dengan raja minyak Rocefeller di Jenewa Nopember 1967
untuk membicarakan pengelolaan minyak dan sumber daya lainnya. Pengkaplingan
SDA pun berjalan mulus. Freeport
mendapat Tembagapura, konsorsium Eropa mendapat nikel Papua, Alcola dapat
bauksit. Perusahaan USA, Jepang dan Prancis mendapat hutan-hutan Sumatera,
Papua, dan Kalimantan.
Data Internasional Global Justice (IGJ)
menyebutkan, kini sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih
kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. SDA dieksploitasi secara
ugal-ugalan. Lingkungan sekitar tambang rusak parah, kemiskinan pun menyebar
begitu rupa. Kekayaan mengalir ke pusat-pusat kapitalistik dan dinikmati
pengusaha-pengusaha yang berkolusi dengan para pejabat.
Awal 1990-an ekonomi Indonesia terseok-seok. Kebijakan ekonomi
Indonesia dibawa ke arah liberalisasi
ekonomi yang sudah menjelma menjadi neoliberal. Predator asing menguasai berbagai
bidang strategis, yakni keuangan, migas, industri, maupun perdagangan.
Neolib merupakan anak kandung
globalisasi yang menghendaki pasar dibuka seluas-luasnya untuk kepentingan
negara asing. Bagi faham neolib, negara tidak berhak melakukan intervensi pasar
sehingga yang berlaku adalah prinsip-prinsip laizzez faire.
Kebijakan Oktober 1988, atau yang
dikenal Pakto 88 yang kemudian di susul dengan kebijakan liberalisasi di sektor
lainnya, merupakan tonggak kebijakan pro-liberal yang semakin menggila.
Industri perbankan di buka seluas-luasnya, para pedagang kelontong pun saat itu
dapat memiliki bank. Jumlah bank tumbuh pesat. Transaksi utang luar negeri oleh
swasta meningkat secara dratis, tanpa dilakukan
perlindungan. Ekonomi Indonesia pun berjalan dengan kecepatan penuh.
Dalam kondisi over heating ini
ekonomi mengelembung, namun akhirnya pecah di tahun 1997.
Krisis moneter menghempaskan hampir
seluruh sendi-sendi perekonomian. Kekuasaan Soeharto yang dibangun selama 32
tahun akhirnya terjerembab jatuh. Nyanyian reformasi masih terus bergema,
menuntut agar reformasi memberi kehidupan yang lebih baik. Namun suara
reformasi tampaknya tak mengikis sisa-sisa kekuasaan Soeharto: sebuah rezim
liberalis yang telah berganti baju menjadi neolib.
Krisis mengundang campur tangan asing
untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Dalam situasi negara karut-marut, IMF masuk untuk memberikan
“resep” penyembuhan. Namun sesunguhnya di balik itu terdapat maksud
terselubung: menguasai bangsa melalui perubahan undang-undang.
Indonesia adalah negara realestate
dunia, yang sudah diincar Amerika, basis
IMF sejak dulu. Sejak Richard Nixon
sebagai presiden negara adidaya ini, AS menginginkan kekayaan alam Indonesia
mengalir untuk kepentingan mereka. Untuk itu, Indonesia jangan sampai
jatuh ke tangan Uni soviet atau China.
Charlie Illingworth, seperti dikutip B
Shambazy dalam buku John Perkins “Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional”
menuliskan, “Aku akan bekerja membangkrutkan negara-negara yang menerima
pinjaman sehingga negara-negara itu selamanya akan terjerat utang. Setelah itu,
mereka akan jadi sasaran empuk kepentingan kami (USA). Termasuk dengan
pangkalan militer, hak suara di PBB, akses ke minyak bumi atau sumberdaya alam
lainnya,” (John Perkins: “Confenssion of
An Economic Hit Man”).
Salah satu resep yang diajukan IMF
adalah, Indonesia harus segera melakukan
amandemen Undang-undang Dasar, undang-undang serta peraturan pemerintah.
Liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi agar penyakit yang diidap ekonomi
Indonesia segera sirna. Michael Camdesus, Managing Direktor IMF pun bersedakap
dengan pongahnya di samping Soeharto yang sedang mendatangani dokumen letter of
intent (LoI) Indonesia dengan IMF.
Akibat liberalisme yang jor-joran,
kehidupan rakyat kecil semakin terseok-seok. Kapitalis global telah menggerus industri
kecil dan pasar tradisional yang dihadapkan dengan pasar modern. Kota-kota
besar dijejali hypermarket dan
supermarket yang komisarisnya kalangan pemodal dengan perlindungan komisaris
para jenderal.
Jumlah mall akan semakin bertambah dari
tahun ke tahun. Di Jakarta, misalnya, sekarang sudah ada 80-an dan tahun depan
akan menjadi 90-an. Sementara pasar tradisional yang dikelola PD Pasar Jaya
tinggal 150-an dalam keadaan sekarat. Penghuni pasar tradisional yang mayoritas
usaha kecil mengeluhkan pendapatannya yang terus melorot akibat penetrasi pasar
modern.
Minyak, gas, emas,batubara, tembaga
dieksploitasi secara massif oleh imperalis asing, dengan meninggalkan berbagai kerusakan lingkungan
di sejumlah daerah pertambangan. Bahkan penduduk sekitar tambang yang
seharusnya menikmati kekayaan hasil tambang, dihimpit kemiskinan
struktural.
Daerah Provinsi Kalimantan Timur, misalnya, sebagai daerah
yang memiliki sumber daya alam melimpah
namun kemiskinan dan pengangguran masih merebak di daerah ini. Hal ini
terlihat dari persentase angka kemiskinan di Kaltim yang saat ini mencapai 7,66
persen. Sementara, untuk persentase keseluruhan secara nasional, saat ini
mencapai 14,15 persen.
Dilihat dari persentase tersebut, jika dilihat berdasarkan
kabupaten/kota masih terdapat beberapa daerah yang justru melebihi rata-rata
nasional yaitu di Kabupaten Bulungan dan Malinau yakni mencapai angka
kemiskinan 14,58-15,31 persen.
Sadar atau tidak, kapitalis global yang
masuk berbaju neolib lebih berbahaya dari penjajahan zaman dulu. Akibat tidak
memiliki kemandirian di bidang pangan serta gagalnya sektor pertanian,
Indonesia juga melakukan impor komoditas pangan seperti gula sebanyak 1,6 juta
ton, 1,8 juta ton kedelai, 1,2 juta ton jagung, 1 juta ton bungkil makanan ternak,
1,5 juta ton garam, 100 ribu ton kacang tanah, bahkan pernah mengimpor sebanyak
2 juta ton beras.
Kebijakan pemerintah Indonesia menyangkut sektor
pertanian lebih berpihak pada agen kapitalis yang bermain di balik penindasan
yang terjadi terhadap para petani Indonesia ini, sementara para pejabatnya
menjual-belikan surat izin impor karena mendapatkan rente.
IMF melalui jaringan global telah mendikte pemerintah
Indonesia, kepentingannya harus tertuang melalui keputusan presiden, peraturan pemerintah,
peraturan menteri, dan lain sebagainya.
Setidaknya , terdapat 170 UU yang dibuat sejak reformasi yang dianggap
melanggar konstitusi, ini berarti ada sekitar 80 persen undang-undang yang
pro-asing, karena memang produk perundang-undangan dibuat atas pesanan dan
dibiayai asing.
Berbagai program yang disodorkan pada
intinya adalah untuk memperlancar masuknya kepentingan asing untuk menguasai
ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, LoI yang ditandatangani 10 April 1998,
Indonesia dipaksa untuk melakukan program privatisasi semua bank pemerintah,
yaitu dengan cara mengajukan amandemen
Undang-Undang Perbankan pada Juni 1998. Dengan penghapusan batas kepemilikan
swasta, maka swasta dapat menguasasi secara penuh bank pemerintah.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.
29 Tahun 1999, di mana pihak asing boleh mengusai 99 persen saham perbankan.
Indonesia saat ini menjadi negara paling liberal di sektor perbankan. Akibatnya
pada 2011 kepemilikan asing pada 47 bank menguasasi ekuivalen 50,6 persen dari
total asset perbankan nasional yang berjumlah Rp 3.065 triliun.
Ekonomi Indonesia di bawah kendali IMF.
Pemerintah dibuat tak berkutik sehingga tidak mampu menjalankan agenda
kebijakan yang pro-rakyat. Anggaran subsidi untuk rakyat semakin mengecil,
sementara cicilan utang luar negeri porsinya cukup besar dalam APBN. Hingga akhir 2012 utang pemerintah tembus Rp 1.975,42
triliun atau nyaris mendekati Rp 2.000 triliun. Pinjaman ini naik Rp 166,47
triliun dari periode sebelumnya di 2011.
Syamsul Hadi melalui buku “Kudeta Putih”
menulis, IMF menjadi aktor utama yang menjadikan bangsa ini menelan
mentah-mentah liberalisasi ekonomi. Ketergantungan Indonesia terhadap IMF
semakin kuat, lantaran untuk mengatasi krisis Indonesia harus menggali utang
terhadap lembaga internasional.
Jumlah utang RI meningkat
hampir dua kali lipat sejak SBY menduduki kursi kepresidenan tahun 2004.
RIzal Ramli mengatakan, kenaikan utang sudah tidak tepat lagi, dan lucunya
bertolak belakang dengan membaiknya perekonomian serta rendahnya defisit anggaran
di bawah 3%.
“Itu defisit kecil, walaupun direncana defisit 2% tapi
kenyataannya ada sisa anggaran (surplus) 10% jadi tak perlu menambah pinjaman,”
cetusnya.
Masuknya Indonesia dalam kancah WTO dan
Perjanjian GATT semakin memperjelas bahwa pemerintah menganut rezim pasar
bebas. Akibatnya, selain tidak
melindungi perusahaan lokal juga industri rakyat harus bertarung di
pentas perdagangan global.
Liberalisasi juga mendorong agar
sektor-sektor usaha yang mengusai hajat hidup orang banyak dilakukan privatisasi. Harapannya adalah
dapat mensejahterakan rakyat. Tapi kenyataannya berbalik sembilan puluh
derajat, keuntungan tetap lari ke para pemilik modal yang memiliki akses
kekuasaan maupun pembiayaan.
Bidang kehutanan, misalnya, akibat
privatisasi maka yang menikmati para pemilik modal. Hasilnya lari ke luar
negeri. Luas hutan tropis yang mencapai 143,7 juta hektar atau sekitar 76% luas
daratan Indonesia, pengelolaannya diserahkan kepada cukong-cukong melalui
pemberian HPH. Rata-rata hasil eksploitasi
USD2,5 miliar setiap tahun. Tapi yang
masuk ke kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya
sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH.
Perlindungan negara terhadap kaum lemah
semakin menurun setelah praktek ekonomi kapitalistik semakin berkembang. Semua
diselesaikan melalui mekanisme pasar. Tugas dari negara hanyalah sebagai
pengawas agar berjalannya persaingan bebas berjalan secara optimal.
Liberalisasi ekonomi yang dilakukan pemerintah SBY-Boediono
dengan rezim neolibnya telah melenceng
dari amanat konstitusi. Sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi
Indonesia mengalir ke luar negeri, tidak untuk kemakmuran rakyat.
Politik ketergantungan terhadap utang
IMF, Bank Dunia, ADB, dan lembaga keuangan internasional lainnya, telah
menjadikan pemimpin bangsa tidak lagi memiliki kemandirian. Pemimpin negara
sulit menolak usulan yang datang dari
pihak asing. Sebaliknya, kebijakan pro-rakyat selalu mendapat teguran pihak
asing dengan alasan melakukan intervensi pasar.
Kekuatan ekonomi bangsa telah terjebak
dalam utang berkepanjangan (debt trap) hingga tak ada jalan keluar.
Indonesia akan terus hidup bergantung pada utang selama menganut sistem
liberal.
Bagaimanapun guna meluruskan jalannya ekonomi nasional
sebagaimana yang dicita-citakan dalam
amanat konstitusi UUD 1945, diperlukan kepemimpinan yang tegas, tidak
merupakan bagian dari rezim asing. Adalah kewajiban bagi setiap warga untuk
memastikan bahwa pemimpin yang terpilih pada Pemilu 2014 nanti, bukanlah
pasangan calon pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan
neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pasangan calon
pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk
menyelenggarakan sistem ekonomi yang dapat menyejahterakan masyarakat secara
keseluruhan.
Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar