Selasa, 01 Juli 2014

Demokrasi dalam Alam Fikir Feodalistik



Sebagai bangsa yang memiliki latarbelakang ragam budaya dan adat istiadat, Indonesia tentu saja tidak dapat memungkiri keberadaan aneka ragam etnis atau suku bangsanya. Begitu pula yang secara geografis, Indonesia yang letakknya berada pada posisi silang dunia antara dua benua dan samudera memiliki begitu banyak pulau-pulau yang tersebar dari ujung barat hingga ujung timur. Oleh karenanya, proses akulturasi dan asimilasi antara dua dua budaya yang berbeda dapat berlangsung secara mudah dan cepat.
Banyaknya tradisi adat-istiadat yang masih berkembang hingga saat ini karena sejak lama telah diwariskan secara turun-temurun dari leluhur-leluhur bangsa Indonesia sendiri. Yang menjadi pertanyaan dalam konteks kekinian Indonesia, apakah perkembangan adat –istiadat tersebut mampu memberikan pengaruh positip bagi Bangsa Indonesia itu sendiri? Atau barangkali tidak lebih hanya sebagai sebuah simbol yang dapat digunakan sebagai penanda bangsa yang multikultural ini?
Sebagai masyarakat agraris yang terlahir dengan budaya feodal,  tentu saja kita tidak bisa memungkiri hal ini. Sebab, budaya feodal dan agraris sendiri memiliki sangat kental corak dan aroma animisme dimana dinamismenya dibalut oleh sistem monarki dalam sistem pemerintahannya. Kendati kini masyarakat Indonesia mayoritas beragam Islam, namun berbagai etnik di berbagai daerah masih juga belum mampu melupakan kepercayaan yang dulu mereka anut, malahan Islam mereka akulturasikan dengan budaya atau kepercayaan yang pernah dianut oleh nenek moyang mereka.
Sebuah kontrakdiksi memang terjadi bahkan sangat mencolok proses pertemuan dua budaya/kepercayaan yang sangat berbeda itu jika kita lihat secara sepintas saja. Pasalnya, budaya animisme dan dinamisme yang dianut oleh masyarakat feodal saat itu merupakan perkembangan budaya dari masyarakat megalitikum. Lebih-lebih lagi, animisme dan dinamisme adalah kepercayaan yang sangat kental dengan aroma mistis dan magic serta klenik dan juga berbau hal-hal yang menyeramkan dimana hal tersebut berbeda dengan agama Islam yang sangat menjunjung keesaan dari sang Pencipta yakni Allah SWT.,tanpa harus disekutukan oleh mahluk atau hal-hal yang dipuja pada kepercayaan animisme dan dinamisme.
Akan tetapi, inilah  uniknya Bangsa Indonesia, yang ternyata mampu mempersatukan kedua unsur yang berbeda kepercayaan itu. untuk mendapatkan jawaban, mengapa hal itu bisa terjadi, tentu saja jawabannya ada pada masyarakat feodal itu sendiri. Di satu sisi mereka sudah banyak yang memeluk agama Islam namun di sisi lain mereka belum bisa meninggalkan kebiasaan itu begitu saja. Mereka beranggapan jika meninggalkan kebiasaan, itu artinya sama saja meninggalkan tidak menghargai budaya mereka sendiri.
Kondisi dari masyarakat kita yang masih menganut sistem feodal pada perjalanan waktu ternyata terbawa hingga sekarang dan itu berpengaruh pada kondisi sistem kekuasaan dan pemerintahan. Mayoritas penguasa saat ini merupakan golongan yang memiliki kondisi strategis yang memungkinkan untuk berkuasa. Namun,  ada perubahaan yang mulai nampak sekarang ini, dimana secara perlahan telah banyak pejabat pemerintahan diangkat dari golongan muda. Golongan muda yang datang dari golongan akademisi dianggap cakap untuk tampil memimpin.
Mereka bergelar sarjana bergelar S-1, S-2 hingga S-3 (doktoral). Pada golongan akademisi ini telah banyak menempati posisi-posisi strategis di berbagai instansi pemerintahan. Jika dahulu masyarakat selalu menantikan datangnya pemimpin yang memiliki karisma dan wibawa berdasarkan garis keturunan, maka sekarang telah terjadi era perubahan bahwa mereka yang muda dan cakap di dalam keahliannya masing-masing semakin diperhitungkan oleh masyarakat.
Pada sistem masyarakat penganut faham feodalisme di jaman monarki/kerajaan, jabatan, pangkat atau gelar-gelar merupakan yang paling penting untuk diburu atau dikejar. Memburu gelar untuk mendapat gelar “Raden” dan sejenisnya bisa mengusung diri seseorang menjadi bupati, wedana, di suatu keresidenan.  Pemburu gelar-jabatan dan pangkat ini dalam sejarahnya hanya tunduk kepada atasan yang mengangkatnya, tetapi kepemimpinannya di mata masyarakat dinilai sangat lemah karena tidak peduli prestasi dan legitimasi dari rakyat, asalkan bagus di mata para pemimpin seperti raja dan para bangsawan yang sepakat mengangkat pada struktur jabatan tertentu. Karena, para raja atau kaum bangsawan hanya menempatkan mereka tidak lebih hanya sebagai “koordinator setoran pajak” yang dihisap dari rakyatnya.
Kecenderungan pola seperti ini, di jaman Indonesia yang dikatakan sudah modern menerapkan sistem manajemen pemerintahannya, pun ternyata masih mewabah. Para akademisi yang bergelar sarjana, yang seharusnya ilmu yang mereka raih untuk dijadikan sumbangsih bagi kepentingan rakyat dan kehidupan sosial lainnya, justru digunakan untuk kepentingan pribadi dalam rangka memperkaya diri, keluarga dan golongannya saja. Bahkan lebih dari itu, banyak gelar yang mereka raih ternyata juga bukan hasil jerih payahnya menuntut ilmu, melainkan ‘dibeli’ dengan sejumlah uang agar bisa bergelar/bertitel demi meraih jabatan dan memperkaya diri sendiri. Pola seperti ini merupakan salah satu pola feodalisme yang masih ada dan berkembang hingga kini. Banyak sarjana bergelar ‘aspal’ (asli tapi palsu), ketika ditempatkan di suatu instansi ternyata tidak bisa apa-apa. Bahkan, seorang PNS yang ingin naik golongan demi jabatan berani membeli ijazah palsu dengan membayar sejumlah uang.
Mental Menerabas Bermula dari Feodalisme
Untuk meraih jabatan atau menjadi pemimpin di suatu tempat, berbagai cara dilakukan, termasuk suap-menyuap. Kriteria untuk menjadi pemimpin dengan segala keketatan persyaratan tertentu sudah tidak menjadi hal yang begitu penting. Walau seseorang dikatakan pintar, berotak cemerlang, cerdas dan memiliki bakat menjadi pemimpin namun jika di dalam mengikuti fit and propert tidak memiliki sejumlah ‘gizi’ alias segepok uang, tentu saja tidak akan diperhitungkan oleh panitia pemilihan. 
Para pemimpin yang dianggap ‘dewasa’ dan mampu menjadi pemimpin kini hanyalah menjadi seorang yang merugikan bawahannya sendiri, akibat dari prinsip yang menganggap bahwa seorang pemimpin merupakan seseorang yang harus dihormati dan kebijakannya merupakan hal yang tidak bisa diganggu gugat, dalam hal ini berarti kepemimpinan yang dianut pada masyarakat kita merupakan kepemimpinan otoriter. Jangankan bawahan yang beberapa tingkat di bawahnya,  seorang wakilnya pun kadang tidak diberikan wewenang apa-apa untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya membantu demi melancarkan kerja seorang pimpinan.
Tidak sedikit pejabat kita yang bertindak melewati batas; melakukan korupsi, memberikan upeti pada penguasa sebagai pelicin agar berhasilnya meraih suatu proyek. Hal tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal menjamurnya budaya korupsi di Indonesia ini. Dan lebih parahnya lagi, hal hal semacam ini telah merasuk pada sendi- sendi masyarakat kita termasuk pada lingkungan akademis kita.
Munculnya ‘budaya’ suap-menyuap sebenarnya sudah lama dilakukan sejak munculnya masyarakat feodal dan kerajaan di Indonesia. Bahkan neo-feodalisme tampak tumbuh seperti jamur di musim hujan dalam era demokrasi langsung seperti sekarang ini. Mahalnya biaya demokrasi dan tanpa adanya penegakan atas aturan hukum yang jelas, memaksa siapapun yang ingin merebut dan atau mempertahankan kekuasaan berkolaborasi dengan pemodal (kapitalis). Maka, buah kekuasaan bukan dipersembahkan ke masyarakat pemilihnya, melainkan kepada seseorang atau sekelompok orang yang memodalinya.
Di sinilah sesungguhnya, praktek demokrasi tanpa adanya hukum dan penegakan aturan hukum yang jelas, ujung-ujungnya justru semakin menjerumuskan bangsa ini kepada hal yang lebih serius, yakni kapitalisme, yang semakin lama, semakin memperparah kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Praktek yang demikian itu akan semakin subur dengan ditopang kultur feodalistik yang masih hidup di sebagian masyarakat kita.
Dengan demikian, demokrasi yang lahir dalam pemikiran modernitas Eropa Barat Abad Pertengahan, tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan manakala pranata-pranata social, termasuk hukum dan penegakan hukum yang menjamin kejujuran (fairness) dan yang lebih penting lagi preferensi (alasan memilih) kebanyakan masyarakat tidak didasarkan kepada kesadaran memilih pemimpin yang benar, maka terjadilah praktek-praktek transaksional. Dengan kata lain, demokrasi tanpa diikuti oleh pranata dan budaya demokrasi yang berjalan serempak, kecil kemungkinan akan melahirkan pemimpin sebagaimana yang diharapkan.
Secara kasatmata hal itu dapat dijelaskan, sejak berlakunya pilkada di sejumlah Provinsi, Kabupaten, Kota, berapa persen kah yang menghasilkan pemimpin yang bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya? Memang ada daerah yang lebih makmur dan masyarakatnya punya harapan ke masa depan setelah terpilihnya pemimpin melalui Pilkada langsung, tapi yang lebih banyak lagi adalah pemimpinnya semakin kaya raya dan rakyatnya semakin menderita. 
Tidak mengherankan, bila Gubernur, Bupati atau walikota, setelah menghabiskan dua periode jabatannya dan secara Undang-Undang tidak boleh mencalonkan lagi, mereka mencalonkan anak, istri atau kerabat terdekat, agar kekuasaan yang diraihnya tidak jatuh ke tangan orang lain. Gejala inilah kontradiksi demokrasi yang justru menyuburkan praktek feodalisme di Indonesia. Karena memang, kekuasaan bukan dianggap sebagai alat mensejahterakan rakyat, melainkan alat untuk melanggengkan akumulasi modal untuk diri dan keluarganya.
Tidak terlalu aneh pula, demokrasi dalam alam fikir feodalistik itu, sempat pula muncul nama Ani Yudhoyono yang digadang-gadang pengikutnya menjadi Capres 2014. Seperti saya sebutkan di atas, gejala feodalisme gaya baru ini bukan saja terjadi di tingkat pusat, melainkan juga sudah merambah di berbagai daerah yang marak melangsungkan Pilkada. Ada seorang bupati yang begitu dia berhasil melambungkan dirinya menjadi gubernur sementara kursi empuknya yang diperebutkan malah diduduki oleh sang istri yang ikut mencalonkan diri dalam Pilkada bupati. Ada juga yang anak-anaknya ikut mencalonkan diri. Peristiwa politik ini tidak lebih sebagai usaha mentransfer kekuasaan antar keluarga secara sismatis. Istri menggantikan masa jabatan suami yang habis masa jabatannya, setelah itu akan diteruskan oleh anak, mantu atau kerabat dekatnya yang lain.
Idrus Affandi, Guru Besar Pendidikan Politik, Pembantu Rektor Universitas Pendidikan Indonesia, pernah menyinggung masalah feodalisme gaya baru ini. Menurutnya, meskipun sang istri, anak, atau kerabat dekatnya memiliki kapasitas yang berbeda dari penguasa sebelumnya, tetapi karena dukungan fasilitas dan mesin politik incumbent, keluarga penguasa akan mudah duduk di kursi kekuasaan. Orang kemudian, kata Idrus, akan dengan mudah membaca bahwa penguasa baru itu sesungguhnya disetir oleh penguasa lama.
Meskipun penguasa, namun pada hakikatnya penguasa baru ini hanya boneka dan bayang-bayang penguasa lama. Sangat tidak sehat. Karena menjadi pemimpin boneka, maka dia hanya menjadi pemimpin ecek-ecek. Tidak tough, sangat rapuh, dan tidak berani mengambil keputusan penting di saat rakyat sangat membutuhkan. Pemimpin jenis ini berani mengambil keputusan kalau di-back up oleh pendahulunya, termasuk berani mengambil keputusan untuk masalah yang tidak rasional sekalipun. Yang pasti, pemimpin boneka tidak memiliki tanggung jawab yang besar sebagaimana pemimpin yang sebenarnya.
Menurut Idrus, pemimpin sejati adalah mereka yang memiliki prinsip idealisme, pragmatisme, dan religius. Idealisme diperlukan bagi pemimpin tangguh. Dengan idealisme, pemimpin tahu ke mana negara dan bangsa akan dibawa. Karena mempunyai tujuan yang jelas, maka dia bisa bekerja keras agar tujuan itu dapat dicapai sesuai target. Meski demikian, pemimpin sejati tetap pragmatis. Dalam arti, dia luwes dalam melaksanakan program. Pragmatisme diperlukan oleh pemimpin agar tujuan yang ideal itu dapat dicapai. Tapi, pragmatisme di sini sama sekali tidak berarti pemimpin mudah terjebak pada kepentingan atau interest. Apalagi pragmatisme kemudian berkompromi dengan tindakan inkonstitusional dan melanggar hukum. Pragmatisme ini sama sekali tidak direkomendasikan.
Pemimpin yang idealis dan rasional memang penting, namun juga harus religius. Sebab, dalam kehidupan ini, tidak semua masalah dapat dipecahkan dengan rasio. Juga dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air, keputusan yang bersumber dari wahyu sangat diperlukan, agar negara dan bangsa selamat di dunia dan akhirat. Bahkan, dengan religiusitas, idealisme dan pragmatisme bisa dibangun. Dengan pemimpin yang idealis, pragmatis, dan religius, maka dapat tercipta baldatun thayibatun warabbun ghafur, negara yang sejahtera dan diridhai Allah SWT.
Indonesia menghadapi tantangan globalisasi yang penuh rivalitas membutuhkan pemimpin sejati seperti digambarkan di atas. Dengan pemimpin sejati, Indonesia dapat memenangi persaingan. Sebaliknya, dengan pemimpin boneka, negara berjalan lamban, serba ragu-ragu, dan tidak lincah. Maka, budaya feodalistik semakin tidak relevan lagi. Feodalistik sangat tidak sehat, sebab menghambat para pemimpin sejati naik panggung. Di satu sisi, pemimpin potensial tersingkir, sementara pemimpin ecek-ecek justru naik tahta.
Feodalisme menghambat peluang setiap warga negara menjadi pemimpin. Padahal, dalam kehidupan demokratis, setiap warga negara yang memiliki kapabilitas dan akseptabilitas memungkinkan menjadi pemimpin bangsa dan berada di garda paling depan memimpin bangsa. Namun, suburnya feodalisme mematikan tunas bangsa, yang berarti sekaligus mematikan demokrasi.
Dalam feodalisme, kekuasaan seolah-olah hanya diciptakan oleh penguasa. Hanya penguasa yang menghasilkan penguasa. Bahkan lebih sempit lagi, kekuasaan hanya ditentukan oleh keluarga. Fenomena ini merupakan malapetaka. Sebab, cepat atau lambat, rakyat akan bergerak. Saat tidak puas dengan pemimpinnya, akan terjadi people power seperti di Mesir, Libya, Suriah, dan beberapa Negara di Timur Tengah belakangan ini.
Namun hal yang penting, bagaimana menjaga kepercayaan Rakyat kebanyakan terhadap demokrasi itu sendiri. Sebab faktanya sistem demokrasi bukan berlaku tunggal, namun banyak varian-variannya sehingga dengan system itu dapat melahirkan pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Dan itu bisa dicapai apabila praktek demokrasi bisa berjalan serempak dengan hukum dan penegakan hukum yang jelas dan tegas serta kesadaran masyarakat dalam menentukan pilihannya.



Tulisan: Iskandar Bakri (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar