Kamis, 03 Juli 2014

Gurita Asing Dalam Demokrasi Kita



Bangsa ini dilanda krisis kepemimpinan karena sulitnya mencari calon-calon pemimpin berkarakter, baik di tingkat lokal apalagi nasional. Calon pemimpin yang mestinya ditentukan berdasarkan intelektualitas dan integritas kepada bangsa dan negara, saat ini justru lebih ditentukan oleh faktor kapital. Calon pemimpin ditentukan karena berapa besar dia memiliki daya ekonomi (modal) dan seberapa besar berinvestasi dalam pengertian materi kepada parpolnya.
Untuk maju ke bursa pencalonan presiden misalnya, jelas seseorang harus punya modal yang besar, bukan saja modal pengalaman politik, tetapi juga modal dana. Bahkan, pengalaman politik acapkali menjadi prasyarat nomor sekian.
Akibatnya, calon pemimpin yang muncul selalu saja tidak kapabel, atau sekurang-kurangnya tidak punya integritas kebangsaan. Karena ketika dia terpilih menjadi pemimpin yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana modal yang telah dia keluarkan kembali, serta bagaimana membayar komitmen dengan para sponsor yang dulu menyumbang dana pencalonannya. Sementara komitmen dengan rakyat sebagai konstituen yang sesungguhnya, cukup menjawab dengan pencitraan belaka.
Selain itu, karena saling sandera dengan lawan-lawan politik (karena sama-sama bermain kotor), pemimpin terpilih akhirnya tidak fokus menjalankan tugas dan amanah rakyatnya. Dia lebih memilih sibuk dengan hingar-bingar politik untuk menjawab berbagai isu yang menderanya. Lalu, yang terjadi adalah politik transaksional atau politik dagang sapi. Lagi-lagi, bukan politik untuk membela kepentingan rakyatnya.
Lebih-lebih lagi, sistem demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia kini semakin mengarah ke arah liberalisme. Direktur Eksekutif Sun Institute, Andrianto menilai sistem politik liberal memang butuh kemampuan finansial dan kendaraan politik. Oleh karena itu, jika mengacu kepada sistem ini, kedua hal itu (finansial dan kendaraan politik) merupakan modal utama untuk meraih kedudukan politik dalam upaya menduduki badan legislatif atau eksekutif. Karena sistem seperti ini membutuhkan kekuatan uang yang banyak guna menjadikan seorang calon pemimpin yang populer di seluruh Tanah Air.
Harus dimaklumi, karena itu seluruh lapisan masyarakat saat ini sudah muak melihat tingkah polah para pemimpin atau wakil rakyat yang sesungguhnya dipilih oleh mereka sendiri melalui proses pemilu. Hal ini ditunjukkan dengan angka keterlibatan masyarakat yang terus merosot dari pemilu 1999 hingga 2009.
Sebaliknya, rakyat mengharapkan munculnya seorang pemimpin yang mampu mengurus rakyat dan bukan mengurusi kepentingan para kaum bourjuis para pemilik modal. Mereka menginginkan hadirnya seorang presiden yang benar-benar terpilih atas dukungan masyarakat bukan dukungan uang semata. Tapi apalah daya, peraturan pemilu yang sarat dengan paham liberalme ini, akhirnya selain memunculkan capres dibeking para pemilik modal, juga tidak bakal mampu mensejahterakan rakyatnya.
Golput dalam Pemilu Indonesia

Oleh karena itu, ke depan kita membutuhkan undang-undang pemilu, baik pemilu legislatif, pilpres, atau pemilukada yang bisa menekan biaya politik dan tidak cenderung kapitalistik, sehingga uang atau kapital tidak lagi menjadi penentu bagi terpilihnya seorang calon presiden atau calon-calon pemimpin di daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi.
Undang-undang pemilu, baik legislatif, pilpres, maupun pemilukada yang ada sekarang memang diduga merupakan bagian dari konspirasi rezim global untuk menciptakan orientasi kapital dalam setiap pemilu. Dengan begitu, kepentingan-kepentingan perusahaan asing yang padat modal bisa menemukan pintu, dalam kerangka kepentingan yang sama, dengan para elite yang pasti membutuhkan modal untuk dana politik.
Sistem liberalisme yang menjadi misi rezim kapitalis global untuk dikembang di negara-negara seperti Indonesia, sudah tertanam demikian dalam di dalam sistem politik dan ketatanegaraan bangsa ini. Mindset kapitalistik sudah merangsek jauh ke dalam lembaga-lembaga penting negara dan juga parpol-parpol kita.
Parpol banyak merekrut anggota berdasarkan modal kapital, padahal misinya sekadar ingin memperkaya diri dan dan meraih popularitas lewat parpol belaka. Sebab itu, para kader parpol yang semasa mahasiswa berteriak lantang menentak rezim yang tidak pro-rakyat, dalam sekejap bisa terkooptasi dengan sistem politik berwatak kapitalistik ini.
Banyak kader-kader pemimpin di tingkat kampus misalnya, di masa sebelum menjadi anggota DPR berpikiran idealis namun begitu bergabung ke dalam gedung Dewan, dia tercemar juga. Tak sedikit aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), Organisasi non pemerintah, pengacara independen yang kerap membela kaum lemah, aktivis yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan tidak pro-rakyat, yang kemudian berubah menjadi individualis, memperkaya diri, dan tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat ketika mereka masuk ke dalam sebuah sistem politik yang mau tidak mau membuat mereka harus menanggalkan idealismenya. Kendatipun, masih ada segelintir dari mereka yang tetap konsisten dengan perjuangan ketika belum masuk ke dalam sistem.
LSM dan Ornop Bumper Asing
Masuk parpol dan menjadi wakil rakyat mestinya bukan menjadi tujuan para aktivis yang selama ini menyuarakan kebobrokan sistem politik negeri ini dari luar parlemen atau sistem. Namun faktanya, sekian banyak politisi yang terlibat sejumlah kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru di antaranya adalah mereka yang dulu aktif menyuarakan aspirasi rakyat di luar sistem itu. Pertanyanya kenapa bisa demikian?
Lagi-lagi, kapitalisme memang bisa membuai siapa saja, baik dari kalangan aktivis LSM, ornop, yang dulu idealis, agamawan, aktivis kampus, dan siapa pun, apalagi orang yang memang dasarnya sudah cenderung ingin berbuat jahat dengan meraup keuntungan dan pribadi dan popularitas lewat parpol. Bahkan, sebagai wadah para aktivis idealis LSM justru menjadi sasaran empuk rezim kapitalisme untuk menyuntikkan ideologi mereka, mengingat kita tahu bahwa LSM potensial membangun wacana di masyarakat, bahkan punya potensi terlibat dalam penyusunan kebijakan, sementara di sisi lain LSM dan ornop juga membutuhkan suntikan dana untuk keberlangsungan kegiatannya. Peluang inilah yang ditangkap rezim kapitalisme global.   
Kembali lagi kepada sistem yang berlaku di dalam lembaga-lembaga politik semacam parpol. Misalnya, sejak awal parpol seolah-olah sudah memberi pesan agar siapa pun yang berniat menjadi caleg harus memiliki ‘gizi’ (modal kapital) yang cukup. Karena, parpol perlu biaya operasional sekaligus juga biaya kampanye demi mengusung calon legislatif yang bersangkutan. Apalagi bagi calon yang baru sama sekali terjun ke dunia politik dan nama belum populer di masyarakat, pasti dananya semakin besar.
Di dalam sistem parpol sendiri, berlaku mekanisme mereka yang berduit go head, tapi kader yang pintar, cerdas secara intelek, dan seringkali turun ke bawah untuk mengadvokasi masyarakat, bila tak ada uang, no way! Akibatnya, kualitas anggota dewan yang terpilih adalah yang seperti kita saksikan dewasa ini. Banyak di antara mereka terjerat kasus korupsi, tertangkap kasus narkoba, kasus perselingkuhan, bolos ketika rapat, dan tidur pulas di tengah rapat sedang berlangsung, dan banyak lagi.
Kenyataan ini tentu tidak boleh berlarut. Mesti diciptakan momentum seperti yang pernah terjadi di era Orba Baru, di mana LSM (yang notabene berisi para aktivis) ketika itu banyak yang masih memiliki semangat serta idealisme tinggi yang saling bahu-membahu mengadakan perlawanan. Bahkan ketika itu, LSM-LSM ini merupakan tulang punggung yang dapat mematahkan kebobrokan masa itu.
Dalam situasi semakin buntu dan hak-hak rakyat tidak terbela, lalu kepada siapa lagi rakyat mengadukan nasibnya. Di sinilah sebenarnya LSM harus berperan mengadvokasi. Di zaman Orba, hubungan dinamis antara negara dan masyarakat lebih banyak diwakili oleh lembaga-lembaga kepresidenan, parlemen dan kehakiman di satu pihak, dan di pihak lain institusi politik yang telah mapan seperti parpol, ormas dan kelompok-kelompok kepentingan lain, baik dari kalangan bisnis atau profesi.
Saat itu, suara mereka seperti vokal grup, yang lagu dan nada iramanya harus sama semua. Padahal, rakyat makin terjepit kehidupannya. Karena itu, kemunculan LSM saat itu menemukan momentumnya dalam rangka perbaikan sistem perpolitikan Tanah Air, kendati sesungguhnya LSM sudah hadir sejak tahun 1960-an, namun saat itu belum banyak dimengerti orang.
Di zaman Orba, kekuatan LSM merupakan sektor ketiga yang identik sebagai kelompok antipemerintah atau oposan.
Saat ini mestinya wujud perlawanan LSM secara strategis bukan hanya ditujukan kepada pemerintah yang berpaham liberalis, tetapi juga harus mampu membendung paham-paham itu yang merupakan hasil transformasi dari Barat demi kepentingan kaum neo-liberalis dan kaum neo-kapitalis.
Begitu banyak produk undang-undang kita yang pada kenyataannya tidak berpihak pada kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan asing. Justru di sinilah sebenarnya peran penting LSM atau organisasi masyarakat non pemerintah yang masih peduli pada nilai-nilai kebangsaan perlu mengambil inisiatif secara strategis untuk mengamankan kedaulatan bangsa dan membela rakyat yang selama ini tidak terbela oleh pemerintahnya.
Namun sayang, rezim kapitalisme begitu massif melakukan “gerilya” untuk menanamkan ide-idenya agar kedaulatan bangsa ini tidak sungguh-sungguh di tangan rakyatnya. Ada bagian-bagian dari kekayaan sumber daya bangsa ini yang masih bisa dikeruk untuk menambah pundi-pundi keuntungan rezim kapitalisme. Tak ayal, LSM, Ornop, bahkan lembaga keagamaan menjadi sasaran mereka dengan dalih memberi bantuan. Inilah hambatan yang masih akan terus dihadapi dalam perjalanan perjuangan mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara.
Perlu diketahui, bahwa krisis global yang melanda dunia saat ini sesungguhnya bagian taktik kaum kapitalis-liberalis untuk menyuntikkan janji-janji kemajuan dan kesejahteraan negara dengan memberi sejumlah bantuan dalam bentuk hibah atau utang, padahal tujuannya tak lain ingin menguasai dan memperbudak negara-negara sasaran. Terbukti, meski rakyat sejumlah negara, termasuk Indonesia mengadakan perlawanan atas kehadiran rezim kapitalis di negerinya, namun mereka dapat dengan mulus melenggang, mengeruk keuntungan demi keuntungan dari kekeyaan negara lain, karena mereka telah menyuntikkan mindset kapitalistik ke dalam sistem dan otak para elite negara sasaran, termasuk Indonesia.
Meski hambatan itu ada, dan sangat besar, untuk melawan masuknya gelombang dominasi rezim asing, jika dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kita adalah bangsa besar yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, niscaya lambat laun perjuangan ini akan mencapai keberhasilan jua.



Tulisan: Iskandar Bakri (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar