Senin, 21 Juli 2014

EXIT STRATEGY KUBU JOKOWI – JK (3)



III. Exit Strategy Jika Hasil Jokowi–JK Dikalahkan?

Jokowi–JK yang secara Quick Count sudah menang, dan sampai penghitungan via C1, tingkat Kelurahan dan tingkat Kecamatan stabil dimenangkan 53%. Namun jika tanggal 22 Juli 2014 tetap dikalahkan, apa langkah-langkah strategis yang harus dilakukan kubu Jokowi–JK ???

III.1. Awali Tahap Demi Tahap Rekapitulasi Suara!!!

Relawan dan timses dengan saksinya mengawal rekapitulasi sesuai tahapan (sekarang baru tingkat Kecamatan). Segera bereaksi dan melaporkan ke panitia untuk diubah datanya sesuai seharusnya. Lalu apa saja modus-modus kecurangan yang harus dipahami:

  1. Petugas berpura-pura menulis, misalnya diubah 3 menjadi 8, 0 menjadi 6, dan seterusnya.
  2. Pengisian Berita Acara belakangan, menunggu saksi lengah sehingga ketika angka berubah tidak disadari semua pihak. 
  3. Kongkalikong antara saksi dan petugas.
  4. Keberatan saksi tidak dimasukkan di Berita Acara sebagai barang bukti. 
  5. Rekomendasi panwas tidak dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, padahal wajib dilakukan PPS/PPK.
  6. Formulir C1/D1 digunakan ganda sehingga ada perbedaan. 
  7. Penggunaan dokumen palsu, rekap tidak ditulis pada form yang seharusnya. 
  8. Salinan C1 oleh KPPS tidak segera dikirim ke KPU Kabupaten/Kota. 
  9. Rekap dilakukan di tempat gelap dan tertutup umum dengan alasan tempat sempit.
  10. Saksi/pengawas/pancam menyadari ada kesalahan, tapi tidak mengajukan keberatan saat itu juga.
  11. Saksi mengajukan keberatan, tapi tidak dilakukan koreksi oleh KPPS/PPK. 
  12. PPS/PPK tidak menyampaikan undangan untuk saksi hadir atau dibuat mepet dan mendadak.
  13. Kotak suara tidak disegel. 
  14. PPS/PPK tidak menampilkan hasil di tempat umum yang mudah terlihat. 
  15. PPS/PPK tidak memberi kesempatan saksi mendokumentasikan hasil rekapitulasi. Dengan sebegitu banyaknya potensi dan peluang kecurangan. Sungguh hal ini bisa dijadikan andalan bagi kubu yang ingin menang dengan segala cara.

III.2. Konsolidasi Relawan untuk People Power

Seharusnya jika tidak dilarang SBY untuk deklarasi kemenangan seluruh Indonesia bagi Kubu Jokowi–JK, itu momentum konsolidasi untuk setiap konsolidasi kekuatan people power. Jokowi–JK didukung oleh rakyat secara spontan, sementara Prahara didukung partai dan elit dengan menggalang massa melalui ormas-ormas yang dikendalikan, sehingga kekuatan uang berbicara. Sementara Kubu Jokowi–JK hidup dari spirit dan harapan bangsa Indonesia terhadap Jokowi–JK yang akan membawa angin perubahan di Indonesia. Seharusnya dukungan tersebut terus dilakukan dengan melakukan konsolidasi darat. Sementara Prahara bekerja di darat dengan proses rekapitulasi suaranya dan di udara (publik opini) terus menggradasi hasil Quick Count yang memenangkan Jokowi–JK, dan itu berhasil, karena rakyat menunggu hasil resmi 22 Juli 2014. Pasukan laut (intelijen) terus membantu pasukan darat Prahara menjalankan tugas. Padahal secara manual sangat sulit mengubah suara yang selisihnya mencapai 5 juta – 7 juta suara, kecuali aparat terlibat dalam proses penghitungan suara di setiap tahapan. Saat ini tahap Kabupaten/Kota.

Jelas, ini kejahatan terorganisir dimana terlibat dari aparat bahkan SBY sebagai Kepala Negara untuk mendukung persekutuan jahat 7 parpol Koalisi Merah Putih. Oleh karena itu konsolidasi relawan suatu keniscayaan, jangan hanya fokus pada pengawasan saja. Spirit relawan akan pudar jika masing-masing pasif seperti saat ini. Jokowi harus memberi semangat lagi pada relawan yang sebagian besar berpuasa, yang mengurangi spirit untuk konsolidasi.

III.3. JK Segera take over Golkar

Jika terjadi sengketa Pilpres 2014, maka kekuatan kedua kubu di Legislatif menjadi sangat strategis, begitu juga pada Yudikatif (MK dan MA) karena relatif SBY dengan halus seolah-olah netral, tapi memberi ruang dan waktu Kubu Prahara untuk berbuat curang secara sistematis. Jadi Eksekutif di depan netral, tapi substansi memihak. Jika berbicara Legislatif, tentu Golkar sebagai penentu kekuatan di parlemen. Sudah dibuktikan dengan merevisi UU MD3 dengan pasal Pemilihan Ketua DPR tidak otomatis melalui partai pemenang pemilu alias voting, alias PDIP tidak otomatis dapat menjadi Ketua DPR seperti Demokrat pada tahun 2009.

Konsolidasi untuk itu hari ini sudah dilakukan oleh Senior dan kader muda Golkar yang dimotori oleh: Ginandjar Kartasasmita, Zainal Bintang (koordinator Kino Golkar), Fahmi Idris, Suhardiman (pendiri Golkar), Solichin GP (sesepuh Golkar/Tokoh Jawa Barat), Yorrys Raweyai (Ketua Angkatan Muda Golkar), dan tokoh muda Indra J. Piliang (Ketua Litbang), Poempida, Agus Gumiwang Kartasasmita di Tugu Proklamasi untuk mempercepat Munas Golkar yang sesuai AD/ART pada Oktober 2014. Namun rekomendasi Munas 2009 di Riau diundur April–Mei 2015. Bola terus bergulir dukungan juga dari Agung Laksono (Waketum) yang digadang-gadang bakal menggantikan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum. Begitu juga dengan M.S. Hidayat dan Fadel Muhammad mulai berkomunikasi dengan Kubu JK. Hal ini persis seperti tahun 2004 ketika JK Wapres juga sekaligus Ketum Golkar, sehingga SBY sebagai Presiden aman. Jika JK segera konsolidasi mendukung Kubu Fahmi Idris cs, tentu hal itu bukan hal mustahil, karena dasarnya AD/ART Golkar, bahwa Munas seharusnya pada Oktober 2014. Sementara Aburizal Bakrie dianggap gagal memperjuangkan amanat Munas 2009, karena perolehan Partai Golkar hanya 91 kursi (padahal pada tahun 2009 memperoleh 106 kursi), begitu juga gagal menjadi capres dan cawapres, dst.?

Golkar dalam pengaruh JK siapapun Ketumnya adalah keniscayaan, karena Kubu Aburizal Bakrie sangat eksklusif, tidak didukung senior  Golkar dan DPW Tingkat II (pemangku kepentingan). Sementara dukungan Akbar Tandjung (AT) hanya untuk Pilpres sesuai amanat partai, yang bersangkutan sudah bicara bahwa Prahara gagal penyelamatan Golkar tidak prioritas. Artinya dukungan AT terhadap M.S. Hidayat juga tidak akan all-out tapi lebih mengutamakan konsolidasi Golkar. Dengan kata lain, siapapun Ketua Umumnya, yang penting Golkar ikut memerintah, dan tidak sebagai oposisi.

Golkar sudah hancur secara ideologi, Pancasila yang seharusnya “domain Golkar” dengan stigma Soeharto/Orde Baru justru dicuri Jokowi–JK, sehingga Aburizal Bakrie dan Golkar nyaris tidak peduli ideologi selama berkuasa. Sistem rekrut ARB yang suka tidak suka, yang mayoritas Hipmi (DPP/DPW I) menyinggung perasaan kader (tiga kino), FKPPI (TNI), dan kader-kader senior Golkar, sehingga dukungan tidak diperoleh selama Pilpres untuk Prahara. Kalaupun FKPPI mendukung, itu karena Prabowo, buka karena ARB. Sahabat ARB, massa ARB selama kampanye ternyata tidak dapat diandalkan. Mesin partai Golkar hanya berfungsi 30%, karena legislator yang menggarap dapilnya tidak optimal untuk dukung Prahara.

III.4. Konsolidasi dan Kendalikan Legislatif!!!

Jika Munaslub Golkar bisa dipercepat, tentu Kubu Jokowi–JK (partai koalisi) yang saat ini didukung dengan kekuatan suara 40% di DPR, dengan bergabungnya Golkar, akan menjadi lebih dari 55%. Pragmatisme Golkar ini sangat menyatu karena “terbiasa di Pemerintahan”, agak terkejut jika tidak berkuasa. Jadi sangat dimungkinkan segera dapat melakukan konsolidasi di Legislatif (di Senayan). Hal ini penting jika Prahara kalah, dan tidak menerima kekuatan dari Legislatif sangat signifikan untuk manuver selain Yudikatif (Mahkamah Konstitusi).

Golkar yang dikenal berpengalaman dan mempunyai operator-operator politik handal jika dibandingkan PDIP, sangat diperlukan jika terjadi sengketa Pemilu. Dukungan ini sangat strategis selain dukungan rakyat (relawan – people power), dan juga media massa (publik opini). Saat ini, karena Kubu Jokowi–JK di bidang sosial media diminta untuk tidak terlalu keras, hal ini berbuntut dengan tidak intensifnya konsolidasi darat, selain himbauan untuk pasif dari SBY, juga suasana puasa, dan perhatian publik berubah pada konflik Gaza. Terlihat TV One gencar memberitakan konflik Israel dan Palestina ini.

Menggerakkan operator Legislatif tidak saja untuk kepentingan suara di Senayan (jika memutuskan sesuatu), tapi juga untuk lobby-lobby ke TNI, Polri, Eksekutif, dan pihak Yudikatif. Lebih jauh jika sengketa melebar ke ranah hukum dan konstitusi, tentu peran Legislatif sangat strategis. Jadi Golkar sangat signifikan perannya.

III.5. Konsolidasi Yudikatif dan Lobby

Mulai sekarang harus dibentuk publik opini bahwa Yudikatif (MK) harus netral karena keputusannya final, dan jika tidak bijak berpotensi kerusuhan. Penggalangan opini dari tokoh-tokoh Ahli Tata Negara sangat penting, seperti Yusril Ihza Mahendra (yang netral padahal partainya di Kubu Prahara), Prof. Saldi Isra, Prof. Refly Harun, yang menjadi referensi mengenai Tata Negara bagi masyarakat. Saat ini MK sedang rakor untuk penyelenggaraan sengketa Pemilu sesuai order SBY.

Lalu LSM dan Ormas di bidang hukum, agar penggiat-penggiat hukum mulai mengopinikan bahwa MK harus profesional dan netral. Jika perlu, digalang dalam bentuk pemasangan atribut-atribut di ruang publik, minimal akan menjadi peringatan bagi hakim-hakim MK jika berniat akan berbuat curang.

Secara politis pemerintah dan parpol (khususnya Golkar) sangat berperan menempatkan mereka di komisioner MK. Secara terbuka ada 2 kader partai di MK (Patrialis Akbar dari PAN yang diusulkan SBY), Ketua MK dari partai PBB. Sementara sisanya lebih dekat dengan SBY (Pemerintah) dan partai Kubu Prahara. Jadi besar potensinya keputusan akan berpihak kepada Kubu Prahara. Jika tidak diperingatkan, tentunya rencana tersebut tidak dapat diantisipasi, karena jika keputusan MK final, hanya protes masyarakat yang berpotensi rusuh, atau advokasi Mahkamah Internasional yang menjadi peluang untuk menuntut keadilan bagi Kubu Jokowi–JK.

Kecanggihan SBY dan Kubu Prahara menguasai hukum prosedural seringkali ditanggapi spontan oleh Kubu Jokowi–JK dengan tidak cerdas, diantaranya mentaati perintah SBY untuk tidak konsolidasi atau melakukan perayaan kemenangan, sehingga sebagian besar relawan (spontan) anti klimaks dan pasif. Mungkin saat ini hanya 30% yang bekerja melakukan pengawasan, massa cair yang tidak terikat organisasi bersifat pasif dan menunggu. Sementara Kubu Prahara yang kekuatannya di lobby elit, partai, Legislatif dan Yudikatif, serta LSM, Ormas binaan, tetap bekerja. Apalagi di bidang intelijen, Prahara jauh lebih kuat dari Kubu Jokowi–JK yang terlambat mengantisipasinya.

Kekuatan relawan sebagai people power seakan digembosi melalui himbauan SBY. Konyolnya, petinggi Kubu Jokowi–JK (khususnya PDIP) menganggap SBY bijak. Ditambah lagi ketika deklarasi koalisi permanen Kubu Prahara di Tugu Proklamasi, Partai Demokrat hanya mengirim Ketua Partai Demokrat Jakarta, Nachrowi. Seolah-olah Partai Demokrat dengan SBY khususnya, netral dan ingin Pilpres 2014 berhasil baik agar namanya tetap harum di kancah politik internasional karena berhasil menyelenggarakan Pemilu 2 periode secara baik.

III.6. Kuasai Publik Opini

Dasar informasi yang sangat perlu diyakini para publik, minimal pendukung Jokowi–JK adalah:

  1. Bahwa Quick Count bersifat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka, serta telah menjadi alat pengawal demokrasi atas kecurangan dalam Pemilu, karena quick count adalah anak kandung demokrasi. Walau sudah digradasi oleh SBY dengan alasan stabilitas nasional, tapi hal ini tetap perlu disosialisasikan sebagai publik opini. Jangan sampai Quick Count menjadi korban sehingga tidak kredibel di mata publik, baik untuk Pilkada maupun Pilpres.
  2. Tahapan rekapitulasi KPU yang sudah sampai tingkat Kecamatan, dan final hari ini tetap memenangkan Jokowi–JK, harus jadi pegangan dasar untuk publik. Sekarang tinggal pada 2 tahapan, yakni rekapitulasi di tingkat Kabupaten/Kota/Provinsi dan KPU Pusat penghitungan manual, 20–21–22 Juli 2014 mendatang. Secara logika tidak mungkin ada perubahan karena dasarnya adalah formulir C1, baik di tingkat KPS/KPK margin kemenangan Jokowi–JK tetap 5%-6% atau 7 juta–9 juta suara. Dengan error yang terjadi dalam proses rekapitulasi, tidak mungkin terjadi perubahan yang mencapai 5%-6%. Kecuali dilakukan secara masif, dan melibatkan oknum panitia Pemilu (KPPS, KPPU, KPUD tingkat I dan II, serta KPU Pusat). Informasi dan data seperti ini perlu disosialisasikan, karena media massa dilarang SBY (melalui KPI), tapi bisa di sosial media dan forum-forum relawan. 
  3. Di media masa fokus pada publik opini memberi peringatan bagi oknum-oknum, baik di KPU, MK (jika terjadi sengketa) jika Jokowi–JK dikalahkan KPU. Selain itu tetap merilis hasil diskusi-diskusi mengenai apa itu Quick Count, seperti tulisan Hamdi Muluk di Kompas hari ini (15 Juli 2014). Karena dengan mendegradasi hasil Quick Count, menghancurkan juga sendi-sendi demokrasi yang sedang dibangun, karena Quick Count mengawal dan alat demokrasi anti Pemilu curang.
  4. Galang kembali relawan dan aktif kampanye fakta di sosial media, adalah hal yang dapat dilakukan daripada pasif di minggu penentuan ini, selain mengawal (push–pull) di tempat rekap sesuai tahapan. Jika penghitungan manual (20 – 21 – 22 Juli 2014) menjadi final, apakah KPU akan menyampaikan hal yang sama sesuai Quick Count yaitu Kemenangan ada pada Jokowi–JK. 
  5. Dibuat aksi khusus demo ke Mahkamah Konstitusi untuk netral, dan menggalang opini ahli Tata Negara bahwa ketidaknetralan Mahkamah Konstitusi tidak saja mematikan demokrasi, berkhianat dengan rakyat Indonesia, dan sekaligus memupus rasa keadilan masyarakat sebagai lembaga hukum final untuk sengketa Pemilu. Mahkamah Konstitusi akan tidak kredibel lagi, karena kasus Akil Mochtar (Ketua MK) mencerminkan hakim Mahkamah Konstitusi dapat dibeli untuk tingkat Pilkada, kenapa tidak untuk Pilpres.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar