Rabu, 02 Juli 2014

Revolution By Social Media



Ibarat anak ayam mati di lumbung padi. Itulah pepatah lama yang terdengar klise, namun tetap relevan untuk menggambarkan kondisi bangsa kita sekarang ini. Bagaimana tidak? Angka kemiskinan di daerah-daerah kaya sumber daya alam, seperti Papua, Kalimantan Timur, Sumbawa, dan Riau, masih terhitung tinggi. Sedangkan setiap harinya sumber-sumber kekayaan itu, seperti minyak, emas, batubara, timah, bauksit dan masih banyak lagi dikeruk hingga tandas, tak jauh dari pemukiman warga miskin yang dalam waktu tertentu hanya kecipratan bantuan langsung tunai.
Sebenarnya, itulah musuh utama bangsa kita. Biang keladinya adalah hadirnya pemimpin-pemimpin di segala level kekuasaan yang lebih menghamba kepentingan asing ketimbang kepentingan bangsanya. Bagi pejabat yang berasal dari Parpol kenapa kongkalingkong dengan asing? Sebab, sesungguhnya mereka lebih berkepentingan membesarkan kantong pribadi dan parpolnya ketimbang mensejahterakan rakyatnya. Maka Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq pun mengutip Rp 5000 per kilogram daging impor yang masuk ke Indonesia. Selain sektor sumber daya alam, memang sektor pangan yang tidak berdaulat juga menjadi persoalan besar bangsa ini.
Bahkan, jejak kepentingan asing di sektor pangan terlihat jelas sejak hulu ke hilir. Di sektor hulu, sebut saja kelapa sawit (Walhi, 2011) sudah 50% dikuasai asing. Petani di Jawa rata-rata hanya menguasai 0,25 ha lahan. Sedangkan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah No .18 Tahun 2010 tentang Sistem Budidaya Tanaman, ternyata hanya karpet merah bagi perusahaan besar (biasanya asing) untuk mengambil alih sektor pertanian. Belum lagi di sektor bibit yang dikuasai oleh segelintir perusahaan multi-nasional seperti Mossanto. Sudah itu, impor pangan juga terhitung gila-gilaan, dan muaranya ternyata fee yang dibagi-bagi di antara pimpinan partai politik dan pejabat yang berwenang.
Oleh karenanya, meskipun Parpol memegang kendali penting dalam proses sejak rekruitmen calon-calon pejabat publik, kendati pun kader parpol yang di DPR memiliki kewenangan legislasi, anggaran dan pengawasan, serta kader parpol di pemerintahan bertugas mengeksekusi kebijakan yang payung hukumnya sudah dibuat DPR, dengan maraknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan kader-kader parpol, sudah pasti parpol sulit diharapkan menjadi lokomotif perubahan. Apalagi Undang-undang yang dibuatnya, sebagian besar terindikasi disusupi oleh kepentingan asing.
Bila Parpol sulit diharapkan, bagaimana dengan peran media massa? Setali tiga uang. Pasalnya, struktur kepemilikan media massa –sebut saja televisi, di antara 10 stasiun televisi nasional hanya dimiliki oleh empat Orang. Harry Tanu Soedibyo sendiri memiliki 3 stasiun televisi, Chairul Tandjung 2 televisi, Grup Bakrie 2 stasiun televisi, SCTV dan Indosiar pemiliknya sama, dan Surya Paloh 1 televisi. Begitu juga media cetak nasional yang juga dimiliki oleh sedikit orang. Maka sulit pula mengharapkan perubahan dari media massa nasional, selain tayangan kehebohan yang tidak membawa manfaat apa-apa bagi perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa ini ke depan.
Birokrasi pemerintahan pun cenderung partisan, membela siapa pun bosnya yang kebanyakan berlatar-belakang parpol, dan kalau pun tidak parpol pasti orang dekat Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, atau Menteri. Hal itu terlihat jelas, setiap pengungkapan kasus korupsi, sebelum bos besarnya kena, lebih dulu para birokrat ini yang kena ciduk KPK. Sedangkan birokrat yang bersih jumlahnya kecil dan biasanya pula tidak menduduki posisi jabatan penting.
TNI sendiri, sejauh ini bersikap netral, kendati kerusuhan sosial hampir setiap hari ditayangkan stasiun televisi. Ini berbeda dengan karakter TNI di era Orde Baru. Kendati dicitrakan sebagai anjing penjaganya kekuasaan Soeharto, tidak selamanya TNI bersikap loyal habis-habisan kepada Soeharto. Terpentalnya Benny Moerdani, atau sebelumnya perwira-perwira TNI-AD yang bergabung dalam Forum Study Angkatan Darat, menunjukkan bahwa TNI masih bisa bersikap kritis terhadap Soeharto. Singkatnya, perwira TNI yang ada sekarang ini sulit pula diharapkan menjadi kekuatan perubahan.
Toh begitu, bukan berarti kondisi kepemimpinan yang ada sekarang ini, kepemimpinan yang terang benderang menjadi pembela terdepan kepentingan asing, bisa tidur nyenyak tanpa perlawanan. Paling tidak, sejumlah tokoh dari lintas agama, di antaranya yang aktif Dien Syamsuddin, Syafii Maarif, Salahuddin Wahid dari kelompok Islam, ditopang para pastur, pendeta, pedanda dan biksu, pernah membuat gerakan anti-kebohongan yang langsung menghujam kredibilitas personal SBY. Muncul pula olok-olok spanduk Negara ‘Auto Pilot’ yang menihilkan kerja-kerja pemerintah, dan masih banyak lagi.
Kendati gerakan kaum agamawan itu tidak menggulingkan kekuasaan, karena memang bukan itu tujuannya, setidaknya gerakan itu menginspirasi gerakan-gerakan lainnya, baik yang bersifat politik nasional maupun sektoral. Api perlawanan terhadap penguasa yang antek asing dan terbukti korup di segala levelnya, terus berkobar di dada kebanyakan anak muda. Meskipun memang perlu diakui, gerakan-gerakan itu masih bersifat sporadik dan sulit disatukan dalam satu kepemimpinan yang disiplin dan terorganisir. Satu komando satu perlawanan, baru terhenti sekadar menjadi slogan aksi jalanan yang paling banyak melibatkan 10 ribu orang dalam aksi yang tidak berkelanjutan.
Kelompok Partai Rakyat Demokratis (PRD) dengan didukung sejumlah elemen kritis di Jakarta pernah melakukan aksi pendudukan pintu depan gedung DPR. Tapi aksi advokasi petani korban penyerobotan lahan di Jambi dan Riau itu hanya bertahan tidak sampai satu bulan. Karena memang, gerakan perlawanan yang mereka ikhtiarkan belum mendapat simpati publik dalam bentuk nyata, sehingga stamina gerakan kendor dan menunggu lagi adanya peristiwa yang membangkitkan lagi gairah perlawanannya. Tujuan dari gerakan itu, tentu saja diciptakannya momentum yang memungkinkan gerakan mendapat dukungan publik yang lebih nyata dan besar.
Toh demikian, upaya-upaya seperti yang dilakukan kawan-kawan PRD dan kelompok-kelompok kritis yang masih berdiri di luar pagar kekuasaan itu tetap perlu didukung. Tidak pula semua ikhtiar yang dilakukan kawan-kawan gerakan yang saya sebut “non-parlementer’ itu gagal total. Dengan adanya gerakan itu, setidaknya pemberlakuan harga BBM sesuai harga pasar yang mestinya berlaku sejak 2010 lalu, hingga kini tidak diberlakukan. Rakyat tetap menikmati harga BBM yang murah itu. Selain itu, dimenangkannya Opsi C dalam kasus Century juga tidak terlepas dari hingar-bingarnya gerakan ekstra parlementer. Tanpa adanya tekanan masyarakat yang kuat, niscaya bukan tidak mungkin parpol-parpol yang semula kritis cepat balik badan.
Penting pula dikedepankan di sini, tentang ampuhnya peran social media (media sosial), seperti twitter, facebook, BlackBerry (BB), dan jaringan-jaringan website interaktif. Kemenangan Jokowi–Ahok yang pada survey awal hanya 17% dan mampu meraih 42% sehingga maju ke putaran kedua, tidak terlepas dari pengaruh media sosial. Begitu juga dengan kasus Prita, kasus nenek yang mencuri semangka, dan terakhir kali kasus ibu-ibu korban kecelakaan yang dijadikan polisi sebagai tersangka, berangkat dari berita lokal yang disebarluaskan oleh jaringan sosial media, kasus itu menjadi perhatian publik secara luas. Sehingga kasus-kasus itu dimenangkan oleh Prita, sang nenek pun meskipun divonis bersalah namun tidak dipenjarakan, dan status tersangka ibu-ibu si korban kecelakaan dicabut oleh polisi.
Media sosial pula yang menghancurkan politik pencitraan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, sehingga publik merasa dibohongi oleh jargon-jargon kedua partai itu. Media sosial juga yang membuat kepercayaan publik terhadap parpol, DPR dan pemerintah runtuh. Artinya, di tengah gulitanya situasi akibat pemimpin yang bertekuk lutut kepada kepentingan asing, masih ada setingkap cahaya terang yang dihadirkan kaum agamawan, kelompok-kelompok perlawanan, dan munculnya social media yang ibarat berkah dari Tuhan, mampu menelanjangi kebohongan penguasa.
Di situ pula tergambar, bahwa perubahan tidak bisa dilakukan melalui politik formal, atau Pemilu 2014 yang tinggal tersisa 14 bulan lagi. Perubahan tidak bisa dilakukan melalui bilik pemilu yang kemungkinan besar menghasilkan pemimpin yang sebelas-dua belas dengan kepemimpinan sekarang ini. Perubahan hanya bisa dilakukan melalui gerakan ekstra-parlementer, baik melalui aksi-aksi jalanan dari ‘ksatria-ksatria’ perubahan yang tersisa, kaum agamawan, akademisi dan desakan masyarakat luas yang digaungkan melalui jaringan media sosial.
Media sosial bukan kunang-kunang, melainkan berkah Allah SWT yang diturunkan dari langit untuk membasmi kepongahan Kapitalisme Global yang sudah mentahbiskan diri sebagai pemenang tunggal peradaban. Kun fayakun, kalau Allah sudah berkehendak, siapa pun tak bisa menghalanginya. Oleh karenanya kita tunggu saja revolutions by social media, apapun bentuk dan aktualisasinya. 


Tulisan: Marlin Dinamikanto (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar