Jumat, 04 Juli 2014

Dibutuhkan Karakter Capres Berdikari



Tuntutan atas Indonesia yang lebih adil dan berdaulat, serta bersih dari kasus-kasus korupsi, tampaknya akan mengedepan pada Pemilu Presiden 2014 nanti.  Siapa sosok yang pantas tampil? Tentu saja bukan sosok-sosok yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai Calon Presiden. Karena memang, berdasarkan hasil jajak pendapat sejumlah lembaga survey, sosok-sosok yang kendati sudah bekerja keras mem-branding diri lewat berbagai media itu, sory-sory saja, tidak diminati rakyat.
Itulah sesungguhnya peluang untuk tampilnya sosok-sosok yang lebih fresh from the open. Tidak tercemar berbagai kasus yang membuatnya tidak disukai rakyat. Persoalannya, relakah partai-partai politik yang ada, sebut saja PDI Perjuangan menampilkan sosok Joko Widodo, atau partai-partai politik lainnya menampilkan sosok-sosok yang lebih peduli rakyat, berdaulat dan bersih dari korupsi? Kalau tidak ada terobosan ke arah itu, kita akan mengulang Pemilu yang sudah-sudah. Rakyat pun akan ogah-ogahan datang ke bilik pemilu.
Tentang pemimpin yang berdaulat pun, jauh-jauh hari sang proklamator dan presiden pertama RI  Soekarno sudah mengingatkan, bangsa ini dapat maju, dan tidak dipermainkan oleh bangsa asing jika  memegang teguh ajaran  berdikari. Filosofi moral berdikari yang sering di sebut “Tri Sakti” itu diartikan sebagai bangsa yang memiliki kemandirian dalam tiga bidang, yakni berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Ketiga-tiganya prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdikari dalam ekonomi. Dengan berdaulat dalam bidang politik, bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh siapa pun. Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa pengemis untuk mendapatkan utang. Lebih-lebih, jika utang baru diajukan kepada negara-negara kapitalis, yang di sana pusat bercokol perusahaan raksasa Multi Nasional Corporation (MNC), yang dengan daya upayanya dapat membeli ataupun mempengaruhi kebijakan pemerintah di suatu negara.
Berdikari dalam bidang ekonomi dapat juga diartikan segala upaya yang  bersandar pada kekuatan dana dan tenaga yang  ada di tangan sendiri. Kekayaan alam yang ada di bumi Nusantara harus digunakan untuk kemakmuran bersama. Jadi, Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati di lumbung padi’, karena tanah air Indonesia sesungguhnya kaya raya.
Bung Karno selalu menekankan arti pentingnya sebuah bangsa  berkepribadian dalam kebudayaan. Karena bagaimanapun juga budaya lokal yang tersebar di seluruh Tanah Air, selain jumlahnya sangat banyak, juga belum digali maksimal. Budaya lokal ataupun kearifan lokal sesungguhnya dapat menjadi perisai ketika budaya global menggerus tatanan moral yang sudah dibangun ratusan tahun di kepulauan Nusantara ini.
Ketergantungan Indonesia terhadap intitusi keuangan asing seperti International Monetery Fund (IMF) maupun lembaga keuangan lainnya, dalam rangka mendapatkan utang yang dilakukan  sejak rezim Orde Baru hingga sekarang, menjadikan Indonesia tidak memiliki kemandirian ekonomi. Negeri ini  terus terbelenggu jerat utang yang semakin menumpuk. Ekonomi Indonesia seolah tumbuh namun pertumbuhan itu sebenarnya semu. Apa lagi setiap tahunnya harus membayar cicilan luar negeri yang jumlahnya berkisar Rp.150 – 200 triliun.
Pengamat ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menyebutkan, utang pemerintah dari tahun ke tahun terus  mengkhawatirkan.  Kini, utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 2000 triliun. Itu aneh, sebab ekonomi tumbuh rata-rata 6% per tahun. Artinya struktur pertumbuhan yang mengandalkan sektor finansial,  row material dan konsumsi rumah tangga, memang tidak memberi dampak kesejahteraan apa pun kepada rakyat.
Indonesia yang dikarunai kekayaan sumber daya alam melimpah, letak geografis yang menguntungkan, juga jumlah penduduk banyak sebagai pasar potensial, sebetulnya merupakan potensi. Dan ini dapat dijadikan modal untuk meningkatkan daya saing (competitive advantage)
Reformasi yang seharusnya memberikan  tatanan ekonomi yang lebih baik bagi kemakmuran rakyat, kini malah bertolak belakang. Perekonomian nasional  pasca-reformasi justru telah membuahkan jurang ketimpangan yang semakin menganga antara si kaya dan si miskin. Pengelolaan sumber daya alam lebih banyak dipercayakan kepada asing daripada bangsa sendiri. Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat, namun hanya kelompok tertentu saja yang menikmati kue pertumbuhan itu.
Penandatangan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF hanyalah menguntungkan jaringan kapitalis global. Dengan segala tipu-dayanya IMF berhasil menyakinkan Soeharto agar Indonesia, jika ingin sembuh dari krisis, harus mematuhi skema usulan yang diajukan IMF.
Terbukti pada saat ini banyak UU produk reformasi banyak yang tidak pro-rakyat, dan akhirnya setelah berjalannya waktu, sejumlah UU  yang  diuji materi MK  bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.  Perubahan UU maupun peraturan pemerintah yang dibuat dengan biaya dari intitusi keuangan asing (ADB) ini memang sengaja dibuat untuk mengeruk sumber daya alam, memecah belah keutuhan bangsa dengan kedok otonomi daerah, serta menerapkan demokrasi ala Barat yang nyata-nyata sulit membuahkan pemimpin yang amanah sesuai dengan harapan publik.
Lahirnya pemimpin nasional maupun pemimpin daerah merupakan hasil dari rekayasa pencitraan di berbagai media massa, menghasilkan pemimpin yang instan, tidak mengakar, dan mudah dilupakan masyarakat. Produk pemimpin hasil pencitraan seringkali setelah berhasil duduk di kursi kekuasaan lupa akan janji-janjinya saat kampaye. Sejumlah Parpol dengan menghabiskan dana ratusan miliar kini sudah mulai ancang-ancang untuk menghadirkan calon presiden (capres) dan pasangannya, serta legislatif.  Kini, dari sejumlah parpol gurem, yang tak masuk dalam prakualifikasi faktual sudah mulai kasak kusuk, melalui transaksi,  untuk bergabung dengan parpol besar. Atau, mulai menyodorkan calon presiden alternatif.
Munculnya capres alternatif merupakan ketidakpuasaan publik terhadap capres yang lahir dari parpol. Meski UU Pilpres tidak memungkinkan adanya capres alternatif, namun fenomena ini merupakan antitesis dari adanya UU Parpol yang membuka ruang bagi tumbuhnya oligarki kekuasaan, serta mengebiri berjalannya demokrasi karena tak berhasil  menampung arus besar yang menginginkan munculnya capres altenatif. 
Akbar Tanjung, Ketua Pertimbangan Partai Golkar mengatakan, konstitusi di Indonesia mengharuskan capres alternatif tetap harus dicalonkan melalui partai, tak mungkin maju sebagai capres independen, karena tak ada yang menjamin. Karena konstitusi kita mengatakan calon presiden dicalonkan oleh partai politik, ujarnya beberapa waktu lalu.
Idealnya partai politik, sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945, adalah lembaga penjamin rekam jejak para calon pemimpin, khususnya di eksekutif dan legislatif. Namun fungsi itu tidak dijalankan, maka muncul desakan dari sebagian publik untuk menampilkan tokoh dari luar parpol. Pengertian independen di sini independen dari parpol. Bukan independen dari pengaruh kepentingan asing yang mampu membawa bangsa ini berdaulat, berdikari dan berkarakter sebagaimana digagas Bung karno.
Capres di luar parpol, lanjutnya, bisa mengajukan diri melalu jalur independen. Namun syaratnya sangat berat, terlebih dahulu harus ada perubahan pada Undang-Undang Dasar 1945.Kalau memang ada gagasan independen, ya diperjuangkan saja. Perjuangan itu tentu melakukan perubahan pada UUD 1945, tuturnya.
Hal paling mungkin dilakukan adalah mendesak parpol-parpol yang ada, agar melakukan penjaringan secara terbuka terhadap calon-calon presiden. Bukan justru ketua umumnya menutup pintu rapat-rapat sebab dia sendiri yang bakalan tampil. Tradisi sistem presidensial seperti di Amerika Serikat, tidak ada itu Ketua Umum Partai Republik atau Ketua Umum Partai Demokrat mencalonkan dirinya menjadi Presiden. Ini lain dengan tradisi parlementer, bila partainya memenangkan pemilu dan mampu menggalang koalisi mayoritas biasanya pula Ketua Umumnya menjadi Perdana Menteri.
Memang, kadang manipulasi persepsi publik (pencitraan) berbiaya mahal, turut menyertai sukses calon presiden. Namun ada kalanya pula, pencitraan tidak laku dijual. Dalam tradisi demokrasi liberal, ada saat-saat tertentu yang menghadirkan moment of truth, seperti saat munculnya JF Kennedy, Ronald Reagent dan terakhir kali Barrack Obama. Di situ masyarakat yang justru antusias bekerja menjadi relawan dan bahkan menyumbang donasi untuk calon presidennya.
Dan sekarang ini, seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, muncul pula jejaring-jejaring sosial yang dengan cepat membuka borok-borok calon penguasa. Dengan begitu publik dapat langsung memutuskan pilihan, siapa saja di antara calon-calon yang ada yang dapat mereka percaya. Kalau yang ada orang-orang itu saja, bilik suara pun akan sepi seperti kuburan.
Indonesia yang  telah dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa memiliki peluang sebagai negara yang memiliki kemandirian ekonomi. Tapi tentunya dengan syarat, bagaimana sistem demokrasi yang ada mampu melahirkan pemimpin-pemimpin di segala level yang tidak terindikasi antek asing, mau bekerja untuk rakyat dan tidak pernah korupsi.
Untuk mengetes apakah calon pemimpin itu bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih berdaulat, pertama-tama, dia harus berkomitmen menjalankan Pasal 33 UUD 1945 dalam visi ekonominya. Dengan begitu dia akan bertekad mengkonsolidasi sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan justru menjual konsesi lahan perkebunan, pertambangan atau meneken liberalisasi perdagangan yang ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat.
Ukuran keberhasilan Pilpres 2014, dengan mempertimbangkan desakan-desakan publik yang ada sekarang ini, tidak lain adalah lahirnya sosok nasionalis sejati yang lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan asing atau kapitalis global. Ia akan memimpin rakyat dengan jumlah  250 juta jiwa, yang bukan sebagai beban, namun jika digerakkan melalui gelora semangat kebangsaan, nasionalis fanatik akan menjadi kekuatan maha-dahsyat bagi pembangunan bangsa.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X menyarankan agar masyarakat lebih kritis khususnya dalam memilih calon pemimpin pada Pemilu 2014. Hal ini agar masyarakat tidak lagi dikecewakan di kemudian hari. Sebab, selama ini menurutnya, bangsa Indonesia tidak pernah memilih seorang pemimpin. Maka jangan  harap perubahan dapat terwujud jika yang dipilih adalah seorang manager, tuturnya pada Seminar Nasional Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI, Merajut Kembali Semangat Kebangsaan, beberapa waktu lalu di  UGM.
Perubahan terhadap kondisi bangsa hanya bisa dilakukan seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin yang sesungguhnya akan selalu berkeinginan membuat sejarah baru bagi bangsanya. Menurutnya, pemimpin sejati bukan yang setiap hari muncul di dalam berita, surat kabar maupun televisi, kalau itu yang terjadi maka itu tidak ubahnya layaknya seorang selebriti.
Sosok pemimpin harus memiliki moral yang sudah teruji melalui jejak kehidupannya. Ia juga mampu  menggerakan dan memberikan semangat nasionalistis, serta memiliki keberpihakan kepada masyarakat.  Maka, selain ia harus memiliki karakter yang kuat, tegas dalam menentukan sikap, juga berani menolak segala bentuk kolonialisme dalam kedok apapun.
Era Baru Asia
Indonesia memiliki peluang menjadi negara yang disegani di kawasan Asia, jika pemimpin negara ini tidak disibukan dengan urusan-urusan yang membelengu, seperti korupsi. Oleh karenanya, perlu adanya rekam jejak yang jelas sebelum ditampilkan ke publik. Dan pekerjaan parpol adalah menyaring lahirnya potensi-potensi itu, tanpa disertai pamrih bila berkuasa nanti bakalan membesarkan parpolnya.
Sebab, seorang Presiden begitu dia terpilih bukan lagi menjadi milik Parpol, melainkan milik bangsa dan Negara Republik Indonesia. Hal itu sudah ditunjukkan oleh Soekarno. Begitu dia terpilih menjadi Presiden, dia lepaskan atribut Partai Nasional Indonesianya. Dengan tampilnya pemimpin yang berdaulat, berdikari dan berkarakter, niscaya pula Indonesia akan disegani, setidaknya di kawasan Asia. 
Dari data yang dilasir dari World Economic Forum/WEF (2012) menyebutkan, PDB Indonesia  pada 2011  mencapai USD845,7 miliar dengan PDB per kapita USD3.509. Jumlah PDB Indonesia tersebut mencapai 1,43% dari total PDB dunia. Pada 2010, PDB Indonesia baru USD706,7 miliar sedangkan PDB per kapita USD3.015. Besaran PDB tersebut menyumbang 1,39% dari PDB Dunia. 
 
Artinya, peran  Indonesia dalam perekonomian global semakin nyata. Jumlah PDB itu sebagian besar disumbang oleh sektor konsumsi swasta, berada di atas 50%. Peranan sektor konsumsi juga begitu terasa saat krisis melanda perekonomian nasional. Apalagi, bangsa ini telah berhasil melewati krisis ekonomi global yang menjadikan kepercayaan dan jati diri bangsa semakin naik.
Setidaknya ada dua alasan utama mengapa Indonesia dapat lulus dari ujian krisis ekonomi. Masyarakat Indonesia masih menyisihkan sebagian uangnya untuk menabung di bank, dan 80 persen ekonomi Indonesia  berada di sektor riil. Hal ini  berbanding terbalik dengan negara maju yang struktur keuangannya ditopang melalui lebih banyak dikendalikan melalui mekanisme pasar.
Indonesia dengan  penduduk 250 juta jiwa merupakan kekuatan raksasa, khususnya sektor konsumsi. Jumlah kelas menengah yang terus meingkat menjadikan pasar dalam negeri diserbu barang impor, dan ini tak bisa dimungkiri sebagai salah satu mesin penggerak bisnis baru. Beberapa bisnis itu membentuk pusat-pusat ekonomi baru, seperti pusat perbelanjaan, hiburan, kesehatan maupun kebugaran. Kelas menengah merupakan sasaran empuk kapitalis global, yang produk-produknya dikemas melalui budaya kontemporer.
Bukan hanya itu. Indonesia juga memiliki banyak potensi lainnya yang belum  dikembangkan untuk menggerakkan perekonomian nasional, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun SDM. Jika  potensi yang ada ini dioptimalkan, Indonesia  bisa lebih maju dari sekarang dan bukan hanya kemandiri ekonomi yang dapat diraih, juga masyarakat miskin dapat dikurangi.
Sayangnya, rendahnya political will baik dari pemerintah pusat maupun daerah, termasuk di sektor pertanian menjadikan negara ini terus melakukan impor terhadap sejumlah komoditas pangan. Sektor pertanian yang mencakup 40 persen dari total angkatan kerja, luput dari perhatian penyelenggara negara  yang lebih menyukai impor daripada membangun kedaulatan di sektor pangan.
Kini, Asia bukan lagi kawasan yang identik dengan  keterbelakangan maupun  kemunduran, tetapi memasuki 'musim semi baru' lahirnya para raksasa dunia yang siap melakukan suksesi dalam memimpin peradaban baru dunia yang bermartabat. 
Banyak titik penting yang bisa dijadikan penanda lahirnya poros baru Asia. Dalam bukunya, Kishore Mahbubani bertajuk Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak Terelakkan, menyimpulkan bahwa Asia akan memasuki era baru seiring dengan melemahnya dominasi Barat. 
Sejak pertengahan abad ke-20, bangsa-bangsa Asia mulai melepaskan diri dari cengkeraman Barat. Kedaulatan yang diperoleh menjadi penanda penting lahirnya peradaban baru Asia kala memasuki abad ke-21. Walaupun tidak sedikit yang mengalami pukulan krisis ekonomi kala senja abad ke-20 hampir menyingsir, tetapi tak menghalangi kesadaran baru bangsa Asia untuk berperan penting dalam peradaban dunia. 
Jepang merupakan negara Asia yang telah memulai kebangkitan Asia. Retorasi Meiji menandai kebangkitan peradaban Jepang 150 tahun lebih awal. Meskipun restorasi Meiji awalnya hanya sebuah upaya untuk meluputkan Jepang dari ancaman kolonialisasi dan dominasi Barat yang melanda seluruh dunia saat itu, namun para penggagasnya, justru telah lebih awal menemukan praktik-praktik terbaik Barat. 
Apa yang dilakukan Jepang diikuti China dan India dengan gaya masing-masing. China mengalami kemajuan dengan kepemimpinan Deng Xiaoping. Dia memberikan arah kepada rakyatnya ke mana masa depan mereka dibawa yakni ke march to modernity. Bagi China, modernitas  bukan aliran budaya baru, tetapi  sebuah upaya bersama untuk  dapat melakukan pengentasan kemiskinan. Dan bukan  sekadar retorika sosok pemimpin yang ingin merebut hati rakyatnya, tapi merupakan langkah kongrit yang dilakukan Deng. 
India, selain faham demokrasi dilakukan secara konsisten, juga membangun lembah silikon yang menjadi simbol kemajuan sains dan teknologi. Ledakan riset Asia dalam sains dan teknologi merupakan hasil dari beberapa keputusan visioner yang dibuat Perdana Menteri India pertama, Jawaharlal Nehru. Sosok pemimpin brilian ini mendorong pendirian Indian Institute of Technology (IIT). Kampus yang didirikan di Kharagpur tahun 1951 ini, menghasilkan otak-otak cemerlang, di mana mereka kemudian dibajak oleh lembaga-lembaga kaya AS dan Eropa. 
Bangsa Arab sekarang juga sedang bangkit. Revolusi bangsa Arab menandai kesadaran akan pentingnya nasionalisasi  terhadap hegemoni Barat di Timur Tengah yang menggerogoti sumber minyak.  Kebangkitan negara-negara ASEAN bagaikan air bah yang tak bisa dibendung oleh kekuatan Barat sekalipun. ASEAN sedang menjadi pasar baru dunia setelah keluar dari krisis ekonomi, dan kebangkitan ASEAN  menunjukkan perkembangan yang luar biasa. 
Titik-titik penanda kebangkitan peradaban Asia sudah mulai tampak dari China dan India. Dan ini merupakan bukti bahwa Asia akan mendapatkan kembali nasionalisme yang hilang, dan akan segera menggenggam dunia. Barat semenjak dilanda krisis finansial akut, sudah tidak lagi kompeten untuk  memimpin dunia.
Pasar bebas, liberalisme, kapitalisme kini sedang menggali kuburnya jika melihat pada krisis yang menimpa negara-negara Barat dan Amerika. Hugo Chavez, presiden Venezuela  sedang berupaya membuktikan, bahwa kapitalisme bukan jalan terbaik untuk mensejahterakan masyarakat. Melalui  nasionalisasi asset perusahaan-perusahaan asing yang mengelola sumber daya alam di negerinya. Saya yakin jalan menuju dunia baru yang lebih baik dan memungkinkan adalah sosialisme, bukan kapitalisme, katanya.
Pertanyaanya, apakah bangsa Indonesia cukup berani melakukan nasionalisasi terhadap sumber daya alam, dan kemudian dipergunakan sebagai modal kemandirian ekonomi? Atau, apakah SDA yang sekarang dikuasasi asing akan dibiarkan untuk menambah pundi-pundi kekayaan para kapitalis global seserta antek-anteknya? Sementara rakyat Indonesia yang seharusnya berhak mendapatkan sumber kekayaan dibiarkan dihimpit kemiskinan struktural.
Bagaimanapun para pemimpin yang harus bertanggung jawab manakala penduduknya melakukan bunuh diri lantaran tidak sanggup lagi menderita akibat sulitnya mendapatkan sesuap nasi. Alih-alih mencerdaskan melalui pendidikan, yang terjadi akibat tidak adanya kemandirian ekonomi, sektor pendidikan maupun kesehatan diperuntukkan bagi kalangan mampu saja.
Yang pasti, para pemimpin kita sudah melupakan kebesaran dan kejayaan masa lalu yang dulu  diperjuangkan Samudra Pasai, Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram dan sebagainya. Kala itu, bangsa ini memiliki kemandirian di bidang ekonomi, dan memiliki  sosok  pemimpin  yang tegas, amanah, sehingga dapat menyatukan Nusantara.  
 


Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar