Kamis, 03 Juli 2014

Demokrasi Jejaring Sosial



Demokrasi sudah terlanjur menjadi pilihan dalam sistem politik dan ketata-negaraan kita. Bahkan, banyak yang menganggap bahwa sistem demokrasi merupakan satu dari sekian banyak sistem yang paling kompatibel dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Namun pertanyaannya, sudahkah sistem demokrasi yang telah dijalankan sejak bangsa ini merdeka mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat? Faktanya, kesenjangan antara yang kaya dan miskin hingga kini masih amat lebar. Negara, hingga kini belum mampu menyelesaikan problem kemiskinan dan pengangguran. Perilaku korupsi menyebar secara masif di kalangan elite penguasa, tidak saja di kalangan tua, bahkan menghinggapi kalangan generasi muda.
Dalam sebuah tulisan di sebuah media (20/02/2013), pengamat politik Yudi Latif menguraikan, para arsitek demokrasi pada era reformasi sepertinya melupakan prasyarat demokrasi. Mereka secara mentah-mentah mengadopsi institusi demokrasi liberal yang sesungguhnya tidak sepenuhnya kompatibel dengan kondisi sosio-historis Indonesia.
Menurut Yudi, kegagalan paling nyata dari desain demokrasi cangkokan ini adalah ketidakmampuan institusi demokrasi menciutkan kesenjangan sosial guna menghadirkan kondisi kesetaraan sebagai prasyarat demokrasi.
Lebih-lebih, dengan institusi demokrasi yang menggelembungkan biaya politik untuk meraih kekuasaan, kekuatan modal akhirnya mendikte demokrasi. Prosedur demokrasi alih-alih menjadi sarana untuk mengatasi ketidaksetaraan rakyat dalam perekonomian, justru semakin memperkuat ketidaksetaraan. Parpol yang kuat identik dengan kuatnya modal. Akhirnya korupsi politik pun tak terelakkan.
Yudi menegaskan, demokrasi di Indonesia saat ini tengah menuju ke jalan buntu. Menurutnya, yang harus dilakukan adalah revolusi terhadap sistem demokrasi yang tengah di jalankan saat ini. Caranya, dengan kembali kepada sistem milik kita sendiri, yang pada masa kemerdekaan telah dirancang secara tulus dan seksama oleh para founding father negeri ini. Namun, kita perlu melakukan penyempurnaan di berbagai sisi yang pada masa lalu menjadi sumber penyimpangan.
Pemanfaatan Teknologi untuk Demokrasi
Salah satu keberhasilan dalam sistem demokrasi adalah meningkatnya partisipasi rakyat dalam penentuan kebijakan-kebijakan penting oleh pemerintahnya. Sebab, hakikat demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Teknologi, khususnya jejaring sosial sangat mungkin dimanfaatkan untuk memaksimalkan partisipasi publik dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Dengan catatan, harus dibuat sistem dan regulasi yang baik dan memadai serta bisa dipertanggungjawabkan, juga harus bebas dari tindak manipulasi pihak-pihak tertentu. Catatan lain, pelaksanaan ini harus bertahap dengan mempertimbakan kultur sosial masyarakat dan keterjangkauan masyarakat terhadap teknologi.
Menurut data statistik, penggunaan internet dan sosial media di Indonesia dapat dilihat dari kisaran jumlah pengguna internet dan pengguna Facebook serta Twitter sebagai top of mind situs jejaring sosial dan microblogging. Menurut data Internet World Stats (2012), pada Desember 2011, jumlah pengguna Internet di Indonesia berkisar pada angka 55 juta pengguna dari estimasi populasi sebesar 245 juta jiwa. Hal tersebut menunjukkan jumlah pengguna Internet negeri ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2000 yang hanya sebesar 2 juta pengguna.
Sementara, data jumlah pengguna Facebook menurut Checkfacebook.com (2012), Indonesia menempati urutan keempat setelah Amerika Serikat, India dan Brazil dengan jumlah pengguna sebesar 43.514.840 pengguna.
Memang angka itu masih jauh dari ideal, misalnya jika dibanding dengan perkiraan jumlah pemilih pada pemilu 2014 yang bakal mencapai lebih dari 185 juta orang. Kendati demikian, teknologi masih akan terus berkembang dalam batas yang tidak bisa diperkirakan dan bakal menyentuh lebih banyak lagi kalangan. Seiring dengan itu, perkembangan teknologi harus dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat bagi rakyat. Di sejumlah negara, piranti teknologi telah dimanfaatkan untuk mendukung sistem demokrasi, seperti untuk melakukan e-voting dalam pemilu.
Di Indonesia sendiri, e-voting bukan belum dikenal. Di Kabupaten Jembrana Bali, sebuah kabupaten kecil yang “miskin” sudah menerapkan sistem teknologi yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan praktik demokrasi langsung. Yakni pada pemilihan kepala dusun hingga pemilihan bupati secara elektronis.
Program itu dimulai ketika bupati Jembrana I Gede Winasa menggandeng Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TIK-BPPT) untuk membangun jejaring Jimbarwana Network atau JembranaNet pada tahun 2001.
Hebatnya, pembangunan JembranaNet terlaksana hanya berbekal komitmen pemimpin dan kebersamaan atau gotong-royong masyarakat. Untuk membangun jejaring, tiap simpul, baik di kantor desa maupun perguruan tinggi dan sekolah-sekolah hingga SD, sukarela merogoh kocek sendiri beberapa juta rupiah untuk menyediakan seperangkat komputer dan akses ke internet serta telekomunikasi hingga membentuk telecenter.
Infrastruktur jaringan TIK itu merupakan pintu masuk bagi pengembangan aplikasi, bukan sekadar untuk mengakses informasi dan telekomunikasi, melainkan juga administrasi perkantoran serta layanan publik, seperti pengurusan surat identitas kependudukan hingga layanan kesehatan dan pendidikan secara elektronis.
Di Jembrana diberlakukan satu nomor identitas untuk satu orang penduduk, untuk berbagai urusan administrasi. Nomor dan data itu dimuat di kartu chip. Dalam kartu ukuran 1x1 sentimeter persegi itu tersimpan beragam data, termasuk data biometrik, seperti sidik jari. Data ini bisa terus diperbarui sesuai kebutuhan pemegang kartu.
Kartu dilengkapi pengaman berupa sistem enkripsi atau pengacak guna melindungi akses transaksi uang dan info penting lainnya agar informasi dalam kartu tidak disadap.
Kartu itu juga diaplikasikan sebagai tanda bukti keabsahan seorang pemilih dalam pilkada. Kartu chip inilah kunci penerapan sistem elektronik pada pemungutan suara (e-voting), termasuk pada pilkada.
Kartu digunakan untuk verifikasi pemilih sehingga penyimpangan dalam proses pemilihan dapat dihindari. Ini didukung Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. Sekali seseorang telah memberikan suaranya, maka kartu akan ditolak kotak verifikasi jika ia akan memilih di tempat lain.
Cara memilih pun sederhana, yaitu dengan menyentuhkan jari pada layar sentuh tepat di tanda gambar calon kepala daerah yang dipilihnya.
Cara ini memudahkan penduduk, termasuk yang awam sekalipun, dan mempercepat proses pemilihan dan penyelenggaraan pilkada. Tiap pemilih hanya butuh waktu 20 detik untuk memberikan suaranya sehingga waktu pemilihan jadi singkat. Waktu penghitungan suara pun singkat karena dilakukan secara online. Jembrana sukses menerapkan e-voting pada pemilihan kepala dusun (pilkadus) sejak Juli 2009. Selain cepat pemungutan suara secara elektronis juga mampu menekan biaya pilkada.
Karena berbiaya murah, sebetulnya pada tahap berikutnya, pemungutan suara elektronis ini tidak saja bisa dimanfaatkan untuk pemilihan pemimpin atau wakil rakyat, tetapi bisa juga untuk voting (semacam survei) dalam menentukan kebijakan pemerintah yang sangat penting dan terkait erat dengan kebutuhan rakyat. Jika ini bisa dilakukan maka rakyat dapat mengontrol para pemimpinnya atau para wakilnya yang ada di parlemen, agar tidak mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
Parpol nantinya, tidak bisa seenaknya memanfaatkan suara rakyat pada saat pemilu saja. Pemimpin terpilih pun demikian, akan lebih berhati-hati dengan kebijakan-kebijakannya, sebab rakyat bisa melakukan voting aspirasi jika kebijakan pemimpinnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat misalnya.
Penggunaan e-voting pertama kali dikenal dengan nama Cybervote oleh Midac (Microprocessor Inteligent Dara Acquisition and Control) pada tahun 1995 dalam suatu pemungutan suara berbasis web untuk jajaj pendapat (petisi) mengenai uji coba nuklir Perancis di wilayah Pasifik. Hasil petisi dikirimkan ke pemerintah Perancis melalui syquest removable hard disk.
Oktober 2001 e-voting telah digunakan pertama kali dalam pemilihan anggota parlemen Australia.  Pemilu tersebut diikuti oleh 16.559 pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara elektronik di empat pemilihan suara (TPS).
Namun demikian, sebagaimana teknologi yang lain, sistem e-voting juga tidak lepas dari berbagai kelemahan, misalnya soal akurasi data, ketidaksiapan teknologi, ketidaksiapan masyarakat dan sebagainya. Menurut penelitian IFES, ada 30 negara yang telah menggunakan e-voting untuk hasil pemilu yang mengikat. 9 negara melakukan uji coba dan kemudian dihentikan, 7 negara sedang berlangsung pengujicobaannya, 11 negara saat ini menggunakan e-voting (3 untuk keseluruhan pemilihan), 3 negara menghentikan.
Menguatnya Demokrasi Partisipatoris
Pemanfaatan teknologi hanyalah salah satu cara, sementara tujuannya adalah agar partisipasi publik atau masyarakat dalam demokrasi dapat maksimal. Tidak saja dalam pemungutan suara, tetapi dalam penentuan kebijakan, pembuatan undang-undang, bahkan hingga pada hak menurunkan pemimpin terpilih jika dia gagal.  
Tujuan dari semua sistem yang dibuat, bukan saja e-voting, adalah kebebasan sebagai esensi demokrasi. Tidak hanya kebebasan politik seperti bebas bicara, memilih, berkumpul, berorganisasi, tetapi juga bebas secara politik sosial-ekonomi yakni bebas dari ketidakadilan, kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan dan sebagainya.
Di Indonesia potensi mengembangkan demokrasi ke arah yang lebih substansial, tidak sekadar prosedural dengan memanfaatkan potensi teknologi sangat terbuka. Indikasinya, pengguna jejaring sosial semakin meningkat yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dapat menerima teknologi baru dengan baik.
Indikator lain, tingkat pendidikan masyarakat Indonesia juga semakin baik. Artinya semakin banyak masyarakat yang akan peduli dengan persoalan-persoalan publik yang selama ini tidak pernah disuarakan. Lembaga-lembaga non pemerintah dan non partisan juga berkembang dengan baik. Mereka menjadi corong masyarakat untuk melakukan kritik kebijakan pemerintah yang secara transparan bertentangan dengan kehendak masyarakat banyak.
Sebagai bukti, ketika kalangan menengah atau kalangan berpendidikan dan organisasi-organisasi non pemerintah menyuarakan kritik terhadap pemerintah melalui berbagai media, baik media massa maupun media sosial, mampu menggerakkan masyarakat lain yang awalnya tidak memiliki perhatian khusus terhadap kinerja pemerintah untuk bersikap. Lihat saja misalnya, gerakan media sosial dalam kasus kenaikan BBM atau KPK Vs Polri, setidaknya sudah mampu membuat Presiden risau dan melakukan sesuatu.
Terlepas dari berbagai kelemahannya, perkembangan teknologi menyimpan potensi luar biasa yang apabila dimanfaatkan dapat menciptakan situasi demokrasi yang lebih substansial, ketimbang sekadar melaksanakan proses formal prosedural demokrasi, yaitu pemilu lima tahunan. Tapi pertanyaanya, apakah kita siap? 


Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar