Selasa, 01 Juli 2014

Di Bawah Rezim Neolib



Kapitalis global telah meluluhlantakan sendi-sendi ekonomi bangsa. Ia masuk dengan cara mempraktekkan prinsip ekonomi liberal, di mana persaingan bebas dan pasar bebas menjadi jargon di segala tindakannya. Bagi negara yang pemimpinnya pro-liberalisasi, ekonomi mengalami pertumbuhan,  namun yang menikmati hanya segelintir orang saja. Jurang antara kaya-miskin melebar, kekayaan sumber daya alam yang seharusnya dinikmati rakyat diperas habis dan kemudian mengalir ke pusat pemilik modal.
Kepemimpinan nasional pada rezim liberalis selalu mengejar pertumbuhan ekonomi. Alih-alih memberi perlindungan terhadap nasib ekonomi rakyat, yang terjadi adalah ketimpangan.  Atas nama perdagangan bebas, serbuan produk-produk asing dibiarkan begitu saja menggerus industri rakyat hingga satu per satu menemui ajal. Sementara, daya kreativitas rakyat menjadi mandek. Pemerintah lebih banyak melakukan langkah-langkah pragmatis. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemerintah lebih menyukai impor daripada membangun sektor pertanian maupun peternakan.
Sejak pemerintah Orde Baru mengawali pemerintahannya, benih-benih liberalisasi ekonomi sudah mulai nampak. Untuk melakukan rehabilitasi ekonomi, Soeharto dengan kebijakan pro-asing mengundang sejumlah investor asing dan mendekati berbagai sumber keuangan seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Pembangunan Asia (ADB), untuk mengajukan utang. Juga negara-negara industri maju yang tergabung dalam konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) didekati  agar memberi pinjaman kepada Indonesia.
Gali lobang tutup lobang, merupakan kebijakan yang dilakukan kepemimpinan Soeharto dengan rezim Orba-nya. Alih-alih mengupayakan agar ekonomi dapat berdikari, tidak tergantung pada utang luar negeri, para teknokrat Orba yang dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” justru  mendorong  pemerintah untuk terus menggali utang sebanyak-banyaknya serta melakukan impor barang modal. 
Sumber daya alam sudah dikapling-kapling saat Soeharto menjabat presiden. Pada 1967, melalui  utusannya  Widjojo cs bertemu dengan raja minyak Rocefeller di Jenewa Nopember 1967 untuk membicarakan pengelolaan minyak dan sumber daya lainnya. Pengkaplingan SDA pun berjalan mulus.  Freeport mendapat Tembagapura, konsorsium Eropa mendapat nikel Papua, Alcola dapat bauksit. Perusahaan USA, Jepang dan Prancis mendapat hutan-hutan Sumatera, Papua, dan Kalimantan.
Data Internasional Global Justice (IGJ) menyebutkan, kini sebanyak 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. SDA dieksploitasi secara ugal-ugalan. Lingkungan sekitar tambang rusak parah, kemiskinan pun menyebar begitu rupa. Kekayaan mengalir ke pusat-pusat kapitalistik dan dinikmati pengusaha-pengusaha yang berkolusi dengan para pejabat.
Awal 1990-an ekonomi Indonesia  terseok-seok. Kebijakan ekonomi Indonesia  dibawa ke arah liberalisasi ekonomi yang sudah menjelma menjadi neoliberal. Predator asing menguasai berbagai bidang strategis, yakni keuangan, migas, industri, maupun perdagangan.
Neolib merupakan anak kandung globalisasi yang menghendaki pasar dibuka seluas-luasnya untuk kepentingan negara asing. Bagi faham neolib, negara tidak berhak melakukan intervensi pasar sehingga yang berlaku adalah prinsip-prinsip laizzez faire.
Kebijakan Oktober 1988, atau yang dikenal Pakto 88 yang kemudian di susul dengan kebijakan liberalisasi di sektor lainnya, merupakan tonggak kebijakan pro-liberal yang semakin menggila. Industri perbankan di buka seluas-luasnya, para pedagang kelontong pun saat itu dapat memiliki bank. Jumlah bank tumbuh pesat. Transaksi utang luar negeri oleh swasta meningkat secara dratis, tanpa dilakukan  perlindungan. Ekonomi Indonesia pun berjalan dengan kecepatan penuh. Dalam kondisi over heating ini ekonomi mengelembung, namun akhirnya pecah di tahun 1997.
Krisis moneter menghempaskan hampir seluruh sendi-sendi perekonomian. Kekuasaan Soeharto yang dibangun selama 32 tahun akhirnya terjerembab jatuh. Nyanyian reformasi masih terus bergema, menuntut agar reformasi memberi kehidupan yang lebih baik. Namun suara reformasi tampaknya tak mengikis sisa-sisa kekuasaan Soeharto: sebuah rezim liberalis yang telah berganti baju menjadi neolib.
Krisis mengundang campur tangan asing untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Dalam situasi negara  karut-marut, IMF masuk untuk memberikan “resep” penyembuhan. Namun sesunguhnya di balik itu terdapat maksud terselubung: menguasai bangsa melalui perubahan undang-undang.
Indonesia adalah negara realestate dunia, yang sudah diincar  Amerika, basis IMF sejak dulu. Sejak   Richard Nixon sebagai presiden negara adidaya ini, AS menginginkan kekayaan alam Indonesia mengalir untuk kepentingan mereka. Untuk itu, Indonesia  jangan sampai  jatuh ke tangan Uni soviet atau China.
Charlie Illingworth, seperti dikutip B Shambazy dalam buku John Perkins “Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional” menuliskan, “Aku akan bekerja membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman sehingga negara-negara itu selamanya akan terjerat utang. Setelah itu, mereka akan jadi sasaran empuk kepentingan kami (USA). Termasuk dengan pangkalan militer, hak suara di PBB, akses ke minyak bumi atau sumberdaya alam lainnya,” (John Perkins: “Confenssion of An Economic Hit Man”).
Salah satu resep yang diajukan IMF adalah, Indonesia harus segera melakukan  amandemen Undang-undang Dasar, undang-undang serta peraturan pemerintah. Liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi agar penyakit yang diidap ekonomi Indonesia segera sirna. Michael Camdesus, Managing Direktor IMF pun bersedakap dengan pongahnya di samping Soeharto yang sedang mendatangani dokumen letter of intent (LoI) Indonesia dengan IMF.
Akibat liberalisme yang jor-joran, kehidupan rakyat kecil semakin terseok-seok. Kapitalis global telah menggerus industri kecil dan pasar tradisional yang dihadapkan dengan pasar modern. Kota-kota besar  dijejali hypermarket dan supermarket yang komisarisnya kalangan pemodal dengan perlindungan komisaris para jenderal.
Jumlah mall akan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Di Jakarta, misalnya, sekarang sudah ada 80-an dan tahun depan akan menjadi 90-an. Sementara pasar tradisional yang dikelola PD Pasar Jaya tinggal 150-an dalam keadaan sekarat. Penghuni pasar tradisional yang mayoritas usaha kecil mengeluhkan pendapatannya yang terus melorot akibat penetrasi pasar modern.
Minyak, gas, emas,batubara, tembaga dieksploitasi secara massif oleh imperalis asing, dengan   meninggalkan berbagai kerusakan lingkungan di sejumlah daerah pertambangan. Bahkan penduduk sekitar tambang yang seharusnya menikmati kekayaan hasil tambang, dihimpit kemiskinan struktural.



Daerah Provinsi Kalimantan Timur, misalnya, sebagai daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah  namun kemiskinan dan pengangguran masih merebak di daerah ini. Hal ini terlihat dari persentase angka kemiskinan di Kaltim yang saat ini mencapai 7,66 persen. Sementara, untuk persentase keseluruhan secara nasional, saat ini mencapai 14,15 persen.
Dilihat dari persentase tersebut, jika dilihat berdasarkan kabupaten/kota masih terdapat beberapa daerah yang justru melebihi rata-rata nasional yaitu di Kabupaten Bulungan dan Malinau yakni mencapai angka kemiskinan 14,58-15,31 persen.
Sadar atau tidak, kapitalis global yang masuk berbaju neolib lebih berbahaya dari penjajahan zaman dulu. Akibat tidak memiliki kemandirian di bidang pangan serta gagalnya sektor pertanian, Indonesia juga melakukan impor komoditas pangan seperti gula sebanyak 1,6 juta ton, 1,8 juta ton kedelai, 1,2 juta ton jagung, 1 juta ton bungkil makanan ternak, 1,5 juta ton garam, 100 ribu ton kacang tanah, bahkan pernah mengimpor sebanyak 2 juta ton beras. 
Kebijakan  pemerintah Indonesia menyangkut sektor pertanian lebih berpihak pada agen kapitalis yang bermain di balik penindasan yang terjadi terhadap para petani Indonesia ini, sementara para pejabatnya menjual-belikan surat izin impor karena mendapatkan rente. 
IMF melalui  jaringan global telah mendikte pemerintah Indonesia, kepentingannya harus tertuang melalui  keputusan presiden, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan lain sebagainya.  Setidaknya , terdapat 170 UU yang dibuat sejak reformasi yang dianggap melanggar konstitusi, ini berarti ada sekitar 80 persen undang-undang yang pro-asing, karena memang produk perundang-undangan dibuat atas pesanan dan dibiayai asing.
Berbagai program yang disodorkan pada intinya adalah untuk memperlancar masuknya kepentingan asing untuk menguasai ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, LoI yang ditandatangani 10 April 1998, Indonesia dipaksa untuk melakukan program privatisasi semua bank pemerintah, yaitu dengan cara  mengajukan amandemen Undang-Undang Perbankan pada Juni 1998. Dengan penghapusan batas kepemilikan swasta, maka swasta dapat menguasasi secara penuh bank pemerintah.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1999, di mana pihak asing boleh mengusai 99 persen saham perbankan. Indonesia saat ini menjadi negara paling liberal di sektor perbankan. Akibatnya pada 2011 kepemilikan asing pada 47 bank menguasasi ekuivalen 50,6 persen dari total asset perbankan nasional yang berjumlah Rp 3.065 triliun.
Ekonomi Indonesia di bawah kendali IMF. Pemerintah dibuat tak berkutik sehingga tidak mampu menjalankan agenda kebijakan yang pro-rakyat. Anggaran subsidi untuk rakyat semakin mengecil, sementara cicilan utang luar negeri porsinya cukup besar dalam APBN. Hingga akhir 2012 utang pemerintah tembus Rp 1.975,42 triliun atau nyaris mendekati Rp 2.000 triliun. Pinjaman ini naik Rp 166,47 triliun dari periode sebelumnya di 2011.
Syamsul Hadi melalui buku “Kudeta Putih” menulis, IMF menjadi aktor utama yang menjadikan bangsa ini menelan mentah-mentah liberalisasi ekonomi. Ketergantungan Indonesia terhadap IMF semakin kuat, lantaran untuk mengatasi krisis Indonesia harus menggali utang terhadap lembaga internasional.
Jumlah utang RI meningkat  hampir dua kali lipat sejak SBY menduduki kursi kepresidenan tahun 2004. RIzal Ramli mengatakan, kenaikan utang sudah tidak tepat lagi, dan lucunya bertolak belakang dengan membaiknya perekonomian serta rendahnya defisit anggaran di bawah 3%.
“Itu defisit kecil, walaupun direncana defisit 2% tapi kenyataannya ada sisa anggaran (surplus) 10% jadi tak perlu menambah pinjaman,” cetusnya.




Masuknya Indonesia dalam kancah WTO dan Perjanjian GATT semakin memperjelas bahwa pemerintah menganut rezim pasar bebas. Akibatnya, selain tidak  melindungi perusahaan lokal juga industri rakyat harus bertarung di pentas perdagangan global.
Liberalisasi juga mendorong agar sektor-sektor usaha yang mengusai hajat hidup orang banyak  dilakukan privatisasi. Harapannya adalah dapat mensejahterakan rakyat. Tapi kenyataannya berbalik sembilan puluh derajat, keuntungan tetap lari ke para pemilik modal yang memiliki akses kekuasaan maupun pembiayaan.
Bidang kehutanan, misalnya, akibat privatisasi maka yang menikmati para pemilik modal. Hasilnya lari ke luar negeri. Luas hutan tropis yang mencapai 143,7 juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia, pengelolaannya diserahkan kepada cukong-cukong melalui pemberian HPH. Rata-rata hasil eksploitasi  USD2,5 miliar setiap tahun. Tapi yang  masuk  ke  kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH.
Perlindungan negara terhadap kaum lemah semakin menurun setelah praktek ekonomi kapitalistik semakin berkembang. Semua diselesaikan melalui mekanisme pasar. Tugas dari negara hanyalah sebagai pengawas agar berjalannya persaingan bebas berjalan secara optimal.
Liberalisasi ekonomi yang dilakukan pemerintah SBY-Boediono dengan rezim neolibnya telah melenceng  dari amanat konstitusi. Sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia mengalir ke luar negeri, tidak untuk kemakmuran rakyat. 
Politik ketergantungan terhadap utang IMF, Bank Dunia, ADB, dan lembaga keuangan internasional lainnya, telah menjadikan pemimpin bangsa tidak lagi memiliki kemandirian. Pemimpin negara sulit  menolak usulan yang datang dari pihak asing. Sebaliknya, kebijakan pro-rakyat selalu mendapat teguran pihak asing dengan alasan melakukan intervensi pasar.
Kekuatan ekonomi bangsa telah terjebak dalam utang berkepanjangan (debt trap) hingga tak ada jalan keluar. Indonesia akan terus hidup bergantung pada utang selama menganut sistem liberal.
Bagaimanapun guna meluruskan jalannya ekonomi nasional sebagaimana yang dicita-citakan dalam  amanat konstitusi UUD 1945, diperlukan kepemimpinan yang tegas, tidak merupakan bagian dari rezim asing. Adalah kewajiban bagi setiap warga untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih pada Pemilu 2014 nanti, bukanlah pasangan calon pemimpin yang secara jelas mengimani dan mengamalkan neoliberalisme. Dukungan yang lebih besar harus diberikan kepada pasangan calon pemimpin yang secara jelas dan tegas mengungkapkan komitmen mereka untuk menyelenggarakan sistem ekonomi yang dapat menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan.
 



Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar