Jumat, 18 Juli 2014

EXIT STRATEGY KUBU JOKOWI – JK (2)



II.  Apa itu Quick Count?

Sungguh Quick Count (QC) itu hanya cara hitungan cepat berdasarkan fakta yang terjadi di TPS-TPS yang diambil secara random sebagai sampling. Jika secara metodologi benar, dan dilakukan oleh lembaga yang kredibel, pasti hasilnya sama dengan perhitungan KPU, dan margin error 1%–2%. Pada intinya, bahwa polling tidak sekuat QC, karena berupa bukti forensik, sementara polling opini seseorang terhadap tokoh yang dipilih dapat berubah dari waktu ke waktu, termasuk exit poll sekalipun (orang ditanya setelah memilih), karena ada human error, kerahasiaan, dan ketidak jujuran, dan seterusnya. Jadi hitung cepat adalah hitungan sesungguhnya (hasil tabulasi di TPS). Quick Count cukup memilih TPS yang tersebar dengan metode random sampling dengan penyebaran yang terukur dan merata, serta proporsional.

Data TPS yang mempresentasikan hasil 560.000 TPS di seluruh Indonesia minimal dari 2000 TPS – 4000 TPS di seluruh Indonesia, sudah merupakan bukti forensik secara faktual dan realita hasil Pilpres. Hanya saja, tentu secara formal domain resmi milik KPU.

Awamnya publik mengenai Quick Count membuat Jokowi–JK ditunda kemenangannya sampai dengan 22 Juli 2014, ironinya 2004 dan Pilpres 2009 kita meyakini hasil Quick Count dimana SBY terpilih. Hanya saja SBY tidak “ria” melakukan deklarasi dan hasilnya, persentase kemenangan cukup signifikan.

Quick Count dimulai pada tahun 1986 di Filipina sewaktu akhir Pilpres yang dilakukan Presiden Marcos, yang pada akhirnya digulingkan melalui people power. Lembaga itu dikenal dengan Namfrel (Philippines National Citizens’ Movement for Free Elections).  Hal ini muncul karena Marcos banyak sekali melakukan kecurangan.

Sungguh, bagi Kubu Jokowi–JK ini starting point indikator kemenangan, karena QC adalah alat kontrol dan anak kandung demokrasi. QC sangat kredibel, hanya masyarakat belum mengetahui secara baik hasilnya, proses dan kredibilitasnya. QC sangat ilmiah untuk hitung cepat yang dikenal dengan Central Limit Theorem dan Law of Large Number.

Prinsipnya, menarik sample dari hitungan besar (random) dengan asumsi semakin besar, semakin akurat datanya, dengan sample minimal 2.000 TPS. Bayangkan Puskabtis yang memenangkan Prahara hanya dengan 1.250 orang responden, ketika diminta hasil per TPS juga tidak dimilikinya. Sungguh ironi budaya demokrasi yang kita bangun dengan mempercayai hal tersebut. Asosiasi Persepi akhirnya mengeluarkan Puskabtis dari keanggotaan, karena tidak mau gelar materi dan metodologi

Secara objektif tidak keliru jika ada pernyataan bahwa “hanya kecurangan yang bisa mengubah hal tersebut”, yang dinyatakan Burhanuddin Muhtadi. Tapi karena keterlibatannya jadi subjektif karena kabarnya kebenaran di saat terjadi konflik. Polemik bersifat perang semantik, bukan hal substantif karena:

Kubu Jokowi–JK tidak memahami arti Quick Count dengan baik, sehingga terpaksa diam ketika publik opini menganggap arogan dengan mengumumkan setelah penghitungan baru berproses 80% langsung perayaan kemenangan di Hotel Indonesia oleh Relawan yang dihadiri Jokowi, lalu berlanjut di Tugu Proklamasi.

Dengan kata lain, Jokowi–JK tidak menggalang publik opini yang optimal untuk meyakinkan masyarakat bahwa Quick Count delapan lembaga riset bersifat independen dan tidak terkait seperti 4 lembaga riset dengan Prahara. Seharusnya di titik 9 Juli 2014 publik mengakui dulu bahwa Jokowi–JK adalah pemenang.

Sementara Kubu Prahara merasa itu arogan dan tidak elok untuk pembangunan budaya politik, dengan ancaman stabilitas nasional SBY turun tangan, pada saat malamnya meminta kedua Capres ke Cikeas. Masyarakat bilang, “Koq tumben SBY secekatan dan secepat ini antisipasinya”. Lalu beberapa hari kemudian, partainya mendeklarasikan diri mendukung Prahara. Konyolnya, petinggi PDIP menganggap SBY sangat bijak???

Manuver SBY berlanjut dengan mengontak KPU (melalui Husni Kamil–Ketua) agar kerja adil, jujur, dan menjaga kesuksesan Pemilu. Yang lebih hebat lagi, SBY menyatakan bahwa jangan sampai asing terlibat dalam sengketa Pemilu Indonesia. Artinya, SBY sudah “mengendus” akan ada sengketa, potensinya perusuh hanya dan bisa dipastikan dari 2 kubu Capres. Jika asumsi SBY yang akan rusuh dari Kubu Jokowi–JK berarti dicurangi oleh Kubu Prahara dan pendukung tidak terima, lalu membuat pengaduan, advokasi ke negara asing. Negara asing pasti Amerika Serikat. Aneh juga, SBY bisa membuat pernyataan tersebut, karena itu risiko yang tidak pernah diambilnya selama ini. Bahkan kita meyakini dia boneka asing yang baik selama 10 tahun ini. Kita juga mengetahui bahwa Prabowo tidak sedekat Jokowi–JK dengan Amerika Serikat, karena Prabowo bermasalah dengan HAM. Sementara Kubu Jokowi–JK pernah menyatakan melalui T. Mulya Lubis bahwa jika dicurangi akan mengadu kepada Mahkamah Internasional. Kita juga mengetahui Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi lembaga final sengketa Pemilu, dikenal lebih dekat dengan Kubu Golkar, PBB, PAN, dan apalagi SBY. Jelas pernyataan Lubis karena hal tersebut di atas.

Sinyalemen Rusuh

Jika Kubu Prahara dikalahkan hasil akhir 22 Juli 2014 dari KPU juga disinyalir rusuh. Hal itu pernyataan dari SBY dan Menkopolhukam, sementara Kapolri menganggap aman. TNI lebih netral namun kita tahu bahwa SBY adalah Komando tertinggi dan partainya, Partai Demokrat mendukung penuh Prahara. SBY juga sangat canggih dalam memanipulasi hasil Pilpres (2004) melalui IT yang disiapkan konsultan asing dan pansus KPU saat itu sangat tertutup, tidak transparan seperti saat ini. Kontestan Presiden juga tidak siap dengan saksi, sehingga kecurangan mudah dilakukan. Jadi SBY sangat strategis perannya dengan penundaan pengakuan kemenangan Jokowi–JK sebagai Presiden RI 2014–2019, yang merupakan umpan lambung untuk Kubu Prahara dengan menyediakan ruang dan waktu leluasa “menggarap” KPU.

Dengan meyakinkan publik bahwa “stabilitas nasional terancam dengan siaga satu”, maka dari itu seolah-olah belum ada pemenang, dan tunggu tanggal 22 Juli 2014. Padahal SBY mengetahui dengan pasti kredibilitas 8 lembaga survey yang memenangkan Jokowi–JK di Quick Count, dan juga mengetahui bahwa 4 lembaga lainnya yang memenangkan Prahara itu abal-abal. Dengan meminta Jokowi–JK untuk tidak “ria” terlebih dulu dengan kemenangannya, SBY berperan menyiapkan mental “akseptabilitas publik” nantinya jika Prahara dimenangkan.

Dunia mengakui bahwa Quick Count sebagai alat pengawas demokrasi dan Pemilu curang. Lalu SBY mengantisipasi jika Kubu Jokowi–JK ribut akan mengadu ke Mahkamah Konstitusi (yang dikuasai), dan di situlah nanti perangkap bagi Kubu Jokowi–JK. Lebih jauh diantisipasi jika tidak puas di MK, akan mengadu ke Mahkamah Internasional, juga sudah dicegah terlebih dahulu untuk memperjuangkan keadilan bagi Kubu Jokowi–JK. Lebih lanjut, tentu rasa tak puas Kubu Jokowi – JK yang didukung spontan oleh relawan sangat berpotensi rusuh atau dibuat rusuh, tergantung skenario berikutnya?

Lalu siapa yang diuntungkan jika rusuh??? Dari kubu manapun yang rusuh keduanya diuntungkan Prahara dimenangkan jika SBY dan aparat hukum tidak netral. Yang rugi tidak hanya PDIP dan partai-partai koalisinya atau Jokowi–JK, tapi:

  • Rakyat Indonesia, karena ditontonkan hal ketidak pastian dan keributan sosial.
  • Budaya demokrasi Indonesia 
  • Ekses ke ekonomi – bisnis dan kesejahteraan rakyat.
Sungguh, budaya demokrasi korporatif yang dibangun hanya akan melahirkan pimpinan nasional yang punya power dan didukung finansial yang kuat. Implementasinya sangat buruk di prosesnya, karena semua bentuk penggalangan itu berupa “uang” melalui transaksional yang menyandera objektifitas dalam pengambilan keputusan. Buruknya, hal ini bukan terjadi di level voters saja (serangan fajar atau apa?), tapi juga pada panitia (infrastruktur Pemilu), baik di level TPS, KPPS, KPU, KPUD, dan bahkan juga di KPU Pusat. Sistem demokrasi ini sangat membantu incumbent atau yang didukung, kekuatan konglomerat hitam dan parpol-parpol bermasalah yang ingin menutupi borok-boroknya untuk terus berkuasa, sehingga kita jauh dari budaya musyawarah dan mufakat sesuai nilai-nilai Pancasila yang ditanamkan pendiri Republik ini.

Tidak terbayangkan jika orang sekelas Aburizal Bakrie (Golkar), Anis Matta (PKS), M.S. Kaban (PBB), Hatta Rajasa (PAN), Surya Dharma Ali (PPP), Prabowo (Gerindra), dan SBY (Demokrat) bisa berlaku sekanak-kanak seperti ini (memutar balikkan fakta) dengan yakin dan tampil tidak layak di layar TV untuk kekuasaan dan melindungi diri karena takut ancaman hukum? Khususnya KPK. Jujur, mereka telah memberi pelajaran buruk bagi bangsa Indonesia, dan semua hanya karena kekuasaan yang rakus dan tanpa batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar