Kamis, 17 Juli 2014

EXIT STRATEGY KUBU JOKOWI – JK (1)



I.   Basic Fact & Field Analysis

Saat ini (H-7) final perhitungan KPU baru tahap final rekapitulasi di tingkat PPK (Kecamatan), dari form C1 real count JW–JK unggul 53% di 22 provinsi di Indonesia. Kecenderungan ini memperkuat temuan quick count bahwa kemenangan Kubu JW–JK di pilpres 2014 semakin mendekati kenyataan. Namun realita politik dari Kubu Prahara gencar melakukan publik opini untuk mendegradasi  kemenangan melalui quick count tersebut. Tercatat dari mulai 10 Juli 2014 di lapangan:

    1. Di Social Media, secara terorganisir terus menerus mengkampanyekan bahwa Jokowi Komunis, non Muslim dan akan meluluhlantakkan sistem politik dan ekonomi Indonesia jika menang, karena keterbatasan kapasitas dan didukung oleh asing melalui konglomerat hitam dan jenderal-jenderal  antek asing. Selain itu hacker Kubu Prahara gencar “ngebom” akun Facebook, Twitter, Blog dari Kubu Jokowi sehingga tidak dapat beroperasional dengan layak. 
    2. Di Media Massa, secara serius melakukan pendegradasian kemenangan Jokowi–JK dalam konteks publik opini. Hal ini karena kecerobohan MSP yang segera mendeklarasikan hal tersebut di publik, sementara penghitungan cepat baru berlangsung rata-rata 80%. Publik dan sebagian elit yang tidak mengerti proses dan methodologi menganggap ini arogan dan penyesatan informasi. Kubu Prahara memanfaatkan hal ini dengan mendeklarasikan juga 4 quick count yang dilakukan oleh Kubu Prahara: LSN (Lembaga Survey Nasional) milik Ketua Timses Prahara, Mahfud MD; IRC (Indonesia Research Center) dibiayai oleh Hary Tanoe) dan berkantor di Gedung MNC Tower Lt. 26, binaan Deyung mantan Jurnalis Sindo MNC Group; lalu dari Puskabtis (binaan Akbar Tandjung) yang terkenal dengan polling abal-abal untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas seorang tokoh Puskabtis yang pernah bermasalah secara pidana pada Pilkada Sumatera Selatan dan Kota Palembang. Tekanan yang begitu besar dari media massa dan asosiasi (Persepi) membuatnya mulai tanggal 13 Juli 2014 menyatakan quick count kemenangan Prahara adalah rekayasa, dan dijelaskan oleh Y. Yazid– Direktur lembaga ini.

Berikutnya, riset JSI (Jaringan Survey Indonesia) yang didukung oleh Prof. Didik J. Rachbini yang konon juga dibiayai oleh Hary Tanoe, dan kepengurusan lembaganya bukan dari pelaku profesional di bisnis ini. Namun key words mendahului “kebenaran”, maka publik melalui opini publik di media massa dipaksa menunggu hasil resmi dari KPU tanggal 22 Juli 2014.


Emosi yang ditunjukkan Prabowo ketika mendeklarasikan kemenangan dengan dasar 4 riset abal-abal telah mampu meyakinkan publik untuk menunggu hasil resmi. Bahkan SBY pun segera memanggil Jokowi–JK dan Prabowo–Hatta ke Cikeas untuk memastikan bahwa jangan dulu mengadakan perayaan kemenangan, karena berpotensi  konflik horizontal di lapangan, dengan meneruskan situasi siaga satu agar “waktu dan ruang” yang ada untuk Kubu Prahara mengubah situasi, baik setting publik opini maupun “kerja dalam proses penghitungan di KPU”. Hal ini terbukti bahwa di lapangan frekuensi (KPU data C1) kecurangan ditemui 80% dari Kubu Prabowo–Hatta dan 20% dari Kubu Jokowi–JK.


Keberhasilan SBY/Pemerintah untuk meyakinkan keadaan bahwa “tunggu tanggal 22 Juli 2014” adalah pemberian ruang kepada Kubu Prahara untuk melakukan kecurangan dalam penghitungan data. Dimana ingin dibalik bahwa yang menang 52% adalah Kubu Prahara, sementara satu-satunya yang menyatakan angka seperti itu hanya Puskabtis yang sudah menganulir hasilnya ??? Namun elit dan publik berpikir lebih baik menerima permintaan Presiden RI untuk “tunggu tanggal 22 Juli 2014” dari pada ribut.


Pada hari ketiga pasca 9 Juli 2014, Kubu Jokowi–JK merilis hasil hitung cepat melalui IT milik Nasdem yang sudah direkap hampir 70% dengan kemenangan di Kubu Jokowi–JK 53%. Tak mau kalah, Kubu Prahara juga melakukan hal yang sama dengan merilis kemenangan melalui IT PKS dimana Prahara menang tipis 52,87%. Kembali score 1–1. Ini bagian strategi defensif Kubu Prahara dalam propaganda dan agitasi.

Bahkan Kubu Prahara melalui Fadli Zon (Sekretaris Timses Prahara) melakukan manuver dengan mengadukan ke Mabes Polri pada Selasa, 15 Juli 2014:

    1. RRI, karena milik BUMN menggunakan APBN untuk Quick Count
    2. Indikator dan Buhanuddin Muhtadi, karena menyatakan “Jika Jokowi–JK kalah di 22 Juli 2014 berarti KPU ngawur”; 
    3. Akbar Faisal, karena membuat pernyataan “Jokowi – Presiden Republik Indonesia” tanpa menyebut versi quick count, karena SBY masih Presiden RI.
    4. LSI – Denny J.A., yang mensosialisasikan awal bahwa “Jokowi – JK memenangkan Pilpres 2014”. 

Hal ini bertujuan bahwa 8 pelaku quick count yang memenangkan Jokowi – JK juga rekayasa. Bagi publik awam, ternyata hal ini sangat efektif, apalagi sentimen itu disosialisasikan melalui sosial media secara gencar. Kelemahan pengetahuan publik mengenai quick count mengakibatkan hal ini kembali diterima publik secara publik opini. Jika yang mengerti hal ini, sebenarnya Kubu Prahara sudah masuk “danger zone”, karena hasil akhir jika dilakukan proses rekapitulasi dan tidak ada pemalsuan form C1, tidak akan ada perubahan hasil. Prahara ingin mengoptimalkan perang dengan memanfaatkan “ruang dan waktu” untuk bermain di proses penghitungan suara. Harus diakui bahwa Kubu Prahara lebih unggul dalam hal ini, sementara Kubu Jokowi–JK pasif dengan hanya mengawasi dan mengantisipasi.

Kubu Jokowi – JK tidak optimal mengartikulasikan apa itu Quick Count.

Sebenarnya hasil Quick Count jika dilakukan oleh lembaga kredibel, metodologi yang benar, sampling yang tepat, dan aparat lapangan bekerja sesuai sistem dan methodologi, pasti hasilnya sama dengan penghitungan KPU 22 Juli 2014. Sayangnya situasi ini sudah diperkuat dengan deklarasi dan tangis MSP di saat penghitungan cepat 9 Juli 2014 yang lalu. Situasi ini langsung di-manuver oleh Kubu Prahara, dan di-endorsement oleh SBY. Sungguh kerjasama yang “cantik” dengan alasan stabilitas nasional. Lalu diperkuat pernyataan Prabowo, apapun hasil 22 Juli 2014 akan dia terima, sementara Kubu Jokowi–JK tidak pernah menyatakan hal tersebut. Kenyataannya itu strategi licik untuk memberi ruang dan waktu untuk oknumnya bekerja dalam proses rekapitulasi suara di KPU.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar