Kamis, 26 Juni 2014

Bangsa Kehabisan Stok Pemimpin

Harapan terhadap Jokowi-JK mengenai Kepemimpinan dan Demokrasi:



Era reformasi selain membawa dampak yang luar biasa terhadap kebebasan berpolitik setiap warga negara, namun juga membawa masalah tersendiri, khususnya bagi proses pemilihan seorang pemimpin. Masyarakat merasa bebas menentukan pilihan tanpa adanya tekanan dari pihak berkuasa sebagaimana di era-era sebelumnya. Kondisi ini tentu sangat positif. Tapi sayangnya, masyarakat yang sedang bersemangat belajar berdemokrasi disuguhi pilihan-pilihan yang kadangkala menipu. Sehingga bisa dibilang, sekarang orang yang tidak jelas juntrungan-nya sekalipun bisa tiba-tiba terpilih menjadi pemimpin karena dia populer di mata masyarakat.
Sejumlah fakta memperlihatkan, betapa seorang artis yang tidak memiliki track record di dunia politik sekalipun bisa tiba-tiba terpilih menjadi bupati, walikota, gubernur, atau anggota dewan. Sementara, aktivis organisasi kemasyarakatan atau aktivis parpol yang puluhan tahun berkubang di dunia organisasi, mereka digembleng menjadi seorang pemimpin justru tergusur begitu saja karena tidak populer atau tidak mampu mempopulerkan dirinya.
Tapi pada akhirnya, bisa ditebak bagaimana kualitas kepemimpinan orang-orang yang dipilih secara “karbitan”  itu. Rakyat lalu kecewa, tapi hanya bisa pasrah dan tak mampu berbuat apa-apa, sebab sistem demokrasi telah membuat pemimpin yang dipilihnya secara langsung itu begitu kuat kuasanya.
Pangkal masalah dari munculnya para pemimpin “karbitan” ini sesungguhnya adalah institusi yang mencalonkannya, dalam hal ini tentu partai politik. Kenapa mereka mengajukan nama-nama calon pemimpin yang “ngasal”, sementara sebagai lembaga politik formal, parpol seharusnya mempunyai kader-kader mumpuni yang bisa dipertanggungjawabkan kemampuannya.
Bayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat jika misalnya Julia Perez berhasil menjadi Bupati Pacitan, Emilia Contessa menjadi Bupati Banyuwangi, Inul Daratista menjadi Bupati Pasuruan, Ayu Azhari menjadi Bupati Tasikmalaya, dan sebagainya? Bayangkan pula, bagaimana nanti mereka berdebat dengan anggota legislatif ketika membahas APBD. Untung, masyarakat kita masih punya nalar untuk mencegah “musibah” itu terjadi.
Fenomena munculnya sejumlah nama calon pemimpin yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kapabilitasnya dalam kontestasi pemilu, merupakan cermin bahwa saat ini bangsa yang dihuni lebih dari 250 juta jiwa manusia ini, tengah kesulitan mencari sosok seorang pemimpin. Krisis kepemimpinan telah terjadi sedemikian rupa pada bangsa ini.
Pada tingkat nasional misalnya, figur-figur lama tampaknya masih akan mewarnai ajang kontestasi kepemimpinan nasional di 2014 mendatang. Kalaupun ada nama atau figur baru, ketokohan dan karakter kepemimpinannya juga masih perlu dipertanyakan.
Sejak pemilu pertama di era reformasi, yaitu tahun 1999 nama-nama calon presiden republik ini seolah tidak jauh dari orang-orang yang sama. Megawati Soekarnoputri misalnya, yang pada tahun 1999 ikut dalam kontestasi capres yang dipilih MPR melawan Abdurrahman Wahid atau Gusdur, hingga kini masih disebut-sebut sebagai capres yang akan maju di 2014.
Pada Pemilu Presiden 2004, pemilu pertama dengan sistem pemilihan langsung, muncul sejumlah nama yang sebetulnya wajah lama. Nama Wiranto dan Salahuddin Wahid muncul sebagai capres dan cawapres dari Partai Golkar, Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi dari PDI-P, Amien Rais dan Siswono Yudohusodo dari PAN, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dari Partai Demokrat dan gabungan parpol lain, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar dari PPP dan gabungan parpol lain. Dalam Pemilu ini, SBY-JK meraih kemenangan spektakuler.
Pemilu berikutnya, tahun 2009 nama-nama calon pemimpin berikutnya tidak beranjak dari nama-nama pada pemilu sebelumnya, hanya saja mereka mencoba bertukar-tukar posisi untuk meraih dukungan massa. Kali ini incumbent Susilo Bambang Yudhoyono maju kembali berduet dengan mantan Gubernur BI Boediono dengan bendera Partai Demokrat. Lalu, mantan koleganya Jusuf Kalla berduet dengan Wiranto diusung oleh Partai Golkar. Dan satu pasangan lagi, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dari PDI-P. Pasangan SBY-Boediono berhasil meraih kemenangan dalam satu putaran dengan perolehan suara 60,80%.
SBY yang sudah menang dua kali dipastikan tidak akan mencalonkan diri lagi pada Pilpres 2014 karena terganjal oleh undang-undang. Namun, nama-nama lain naga-naganya masih tergoda untuk maju karena didorong-dorong oleh parpol yang belum menemukan sosok yang mempunyai elektabilitas tinggi untuk dicapreskan.
Walhasil, Megawati Soekarnoputri kemungkinan masih akan dicapreskan oleh PDI-P karena dianggap elektabilitasnya masih tinggi. Kemudian Jusuf Kalla, mesti tidak mungkin lagi diusung Partai Golkar karena Ketua Umumnya, Aburizal Bakrie sudah mendeklarasikan diri sebagai capres, namun banyak parpol lain yang melirik saudagar Makasar ini. Wiranto, Prabowo Subiyanto, kemudian nama-nama lain yang dulu sempat mencuat seperti Sri Sultan Hamengkubuwono X, Surya Paloh, dan sebagainya kemungkinan masih akan menampilkan wajah jika ada parpol yang mengusungnya. Secara resmi tokoh-tokoh ini belum ada yang menyatakan bahwa dirinya tidak bersedia dicapreskan.
Nama-nama baru memang muncul, seperti Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Dahlan Iskan, Jimly Ashiddiqie, hingga Gubernur DKI Jakarta yang baru terpilih, Joko Widodo. Namun, tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan rekam jejak mereka. Mengingat rata-rata mereka, kecuali Mahfud MD tidak dibesarkan di lingkungan partai politik sebagai lembaga formal yang seharusnya melahirkan para kader pemimpin bangsa.
Ada nama lain yang entah serius, entah tidak juga mencuat, di antaranya Raja Dangdut Rhoma Irama. Meski dia pernah malang melintang di sejumlah parpol, tapi publik tentu tahu peran Bang Haji ini di parpol. Tapi konyolnya, ada salah satu Parpol yang merespon pencalonannya. Aneh.

Tokoh dalam Pilpres Pasca Reformasi


Pilpres 2004
Putaran Pertama
No.
Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Perolehan Suara
Persentase (%)
1
H. Wiranto, SH.
Ir. H.Salahuddin Wahid
23.827.512
22.19%
2
Hj. Megawati Soekarnoputri
K. H. Ahmad Hasyim Muzadi
28.186.780
26.24%
3
Prof. Dr. H. M. Amien Rais
Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo
16.042.105
14.94%
4
H. Susilo Bambang Yudhoyono dan
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
36.070.622
33.58%
5
Dr. H. Hamzah Haz
H. Agum Gumelar, M.Sc.
3.276.001
13.05%
Pilpres 2004
Putaran Kedua
No.
Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Perolehan Suara
Persentase (%)
2.
Hj. Megawati Soekarnoputri
K. H. Ahmad Hasyim Muzadi
44.990.704
39,38 %
4.
H. Susilo Bambang Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
69.266.350
60,62 %







Pilpres 2009 (Satu Kali Putaran)
No.
Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
Perolehan Suara
Persentase (%)
1
Hj. Megawati Soekarnoputri
H. Prabowo Subiyanto
32.548.105
26.79
2
Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
Prof. Dr. Boediono
73.874.562
60.80
3
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
H. Wiranto, S.IP
15.081.814
12.41
Sumber: KPU

Pilpres 2014
Dalam banyak survey, sejumlah nama tokoh nasional kerap muncul diantaranya:
1
Megawati Soekarnoputri
2
Prabowo Subianto
3
Jusuf Kalla
4
Aburizal Bakrie
5
Sri Sultan Hamengkubuwono X
6
Ani Yudhoyono
7
Hatta Rajasa
8
Hidayat Nurwahid
9
Mahfud MD
10
Wiranto
11
Dahlan Iskan
12
Anas Urbaningrum
13
Sri Mulyani Indrawati
 

Dalam sebuah diskusi publik mengenai “Mencari Pemimpin Alternatif” di Jakarta, (19/12) yang lalu, pengamat politik LIPI Syamsuddin Harris memaparkan, krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini diakibatkan sistem pemilu yang dirancang oleh elite-elite politik di Indonesia sendiri. Kerangka hukum UU Pilpres, Pemilu, maupun Pemilukada, menurut dia, belum menjanjikan munculnya kepemimpinan yang dibutuhkan masyarakat. “Sistem sengaja didesain untuk memunculkan tokoh lo lagi-lo lagi," ujarnya.
Sementara itu, tambah Syamsuddin, tingkat elektabilitas yang selama ini digunakan untuk mengukur popularitas tokoh politik juga ternyata bisa dimanipulasi, terutama pencitraan, dan sosialisasi di media.
Hal seperti ini tentu sangat berbahaya, karena elektabilitas manipulatif tidak mendasarkan pada kemampuan seorang kandidat. Bagi Syamsuddin, model seperti itu hanya menampilkan citra agar layak dipilih, bukan karena layak memimpin.
Bangsa ini pada akhirnya seperti kekurangan stok pemimpin. Padahal negara ini memiliki wilayah yang luas dengan keanekaragaman watak dan pemikiran manusianya. Tapi untuk menyebut figur-figur pemimpin saja, sepuluh jari tangan kita mungkin terlalu banyak untuk menghitungnya.
Sosiolog UI Tamrin Amal Tomagola dengan tegas menyatakan, Indonesia saat ini tengah mengalami krisis kepemimpinan yang parah. Menurut dia, hal itu setidaknya disebabkan oleh tiga dimensi. Pertama dari sisi kuantitatif, stok calon pemimpin sangat minim. Kedua, karena terjadinya sentralisasi kekuasaan oleh segelintir orang (oligarki). “Ini akibat munculnya calon pemimpin karena turun-temurun dari satu keluarga, sehingga rekrutmen pemimpin yang ideal menjadi tersumbat,” ungkapnya
Hal ketiga, kata Tamrin, krisis kepemimpinan terjadi karena sulitnya mendapatkan pemimpin berkarakter. Oleh karena itu, harus ada penyelesaian yang fundamental. Dia menegaskan, dalam mencari sosok pemimpin, bangsa Indonesia harus menggunakan perspektif sejarah, bagaimana pemimpin dilahirkan dari periode ke periode lainnya.
Dalam sejarahnya, memang pemimpin yang berkarakter lahir dari rahim kepemimpinan seperti pada zaman pergerakan di awal abad ke-20. Pada era ini calon pemimpin lahir dari keluarga sederhana secara materi namun memiliki wawasan luas. Tapi sekarang bagaimana?
Oleh karena itu, di saat sekarang kita sulit menemukan tokoh-tokoh pemimpin yang berkarakter seperti Bung Karno, Bung Hatta, apalagi Jenderal Soedirman. Untuk melahirkan pemimpin yang berkarakter harus diciptakan berbagai macam anak tangga agar melahirkan kandidat pemimpin yang tangguh. Misal saja, untuk menjadi presiden ada tangga mulai dari Walikota, Gubernur, baru ke level yang lebih tinggi. Jadi, pemimpin harus dipersiapkan dalam jangka yang panjang. Jangan sekarang baru menyiapkan pemimpin untuk 2014, yang ada pasti pemimpin karbitan.
Oleh karena itu, penting juga dilakukan segera pembenahan institusional dalam menghasilkan seorang pemimpin politik. Misalnya, merevisi UU Pilpres yang saat ini terkesan seperti memberikan cek kosong saja kepada parpol untuk mengajukan capresnya. Konstitusi yang ada sekarang memang mengatur bahwa capres dan cawapres harus diajukan oleh parpol, tapi seharusnya bukan berarti bahwa siapa pun yang diajukan parpol tidak boleh digugat, karena publik pun harus ikut dalam menentukan kandidat pemimpin masa depan bangsanya.
Bangsa Indonesia saat ini tengah gamang dalam menentukan figur pemimpin nasional, karena “stok” nama-nama yang ada masih yang itu-itu saja, dalam bahasa gaulnya, lo lagi-lo lagi. Padahal mereka masih belum bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka bakal mampu melakukan perubahan yang signifikan bagi bangsa ke depan.



Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar