Senin, 23 Juni 2014

Undang-Undang Pintu Asing Kuasai Sumber Daya Alam



PR dan Harapan terhadap Jokowi-JK mengenai Undang-Undang Sumber Daya Alam:

Penjajahan di bumi Indonesia sejatinya masih belum berakhir, dan masih terus berlangsung dengan beragam bentuknya hingga saat ini. Berbagai cara masih dilakukan pihak asing untuk menanamkan kepentingannya di Indonesia. Tidak lain, agar mereka terus menerus dapat mengeruk potensi dan kekayaan yang melimpah dari negeri ini.

Banyak pintu masuk untuk memuluskan kepentingan asing di Indonesia, di antaranya lewat Undang-Undang (UU). Oleh karena itu, UU sebagai peraturan tertinggi di negeri ini tak luput dari sasaran. Di antara sekian banyak UU yang menjadi sasaran penyusupan kepentingan asing adalah UU mengenai sumber daya alam. Pasalnya, asing memang dari dulu sangat berkepentingan mengusai SDA negeri yang terkenal kaya raya ini.

Masuknya intervensi asing ke dalam pembuatan UU terlihat begitu jelas setelah pemerintah Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada tahun 1997. Dengan berbagai rasionalisasi, banyak kepentingan pihak asing berhasil disusupkan melalui UU.

Sebut saja contohnya, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). UU yang sejumlah pasalnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi ini, oleh sejumlah kelompok masyarakat dinilai mengandung ‘bau’ kepentingan asing yang sangat menyengat. UU yang pernah beberapa kali diuji materi oleh MK ini sangat berpihak kepada kepentingan asing dan bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 33.

Sejumlah kelompok masyarakat yang memohon uji materi UU Migas menilai UU tersebut berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan merugikan keuangan negara karena membuka liberalisasi pengelolaan migas yang memungkinkan pengelolaan komoditas itu didominasi oleh perusahaan asing.

Salah satu pasal dalam UU Migas, yaitu Pasal 1 ayat (23) dan Pasal 4 ayat (3) yang intinya menyebut bahwa pengelolaan migas diserahkan kepada Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sebagai wakil pemerintah untuk menandatangani kontrak-kontrak dengan para kontraktor.

Pengamat perminyakan Dr. Kurtubi yang pernah dihadirkan sebagai saksi ahli di MK terkait judicial review UU Migas menyatakan, di pasal ini Pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang berkontrak. Artinya, status Pemerintah diturunkan, dan ini jelas mengakibatkan kedaulatan Negara hilang dan akibatnya Negara sangat dirugikan. Oleh karena itu, kata Kurtubi, UU migas melanggar konstitusi.

Selain pasal tadi, sejumlah pasal dalam UU Migas juga menyatakan bahwa perusahaan migas harus dikelola secara terpisah antara bidang usaha hulu dan hilir. Padahal UUD 1945 mengamanatkan penguasaan pengelolaan migas oleh negara, artinya pengelolaan migas seharusnya terintegrasi antara hulu dan hilir.


Tabel Inkonstitusionalitas UU No 22/2001 tentang Migas


No
Pasal
Keterangan
1.
1 ayat (23) dan (24) UU Migas jo. Pasal 44
Inkonstitusional, karena adanya badan-badan yang melaksanakan dan mengatur migas secara terpisah sehingga membuka kesempatan bagi investor dan pemodal asing untuk mengelola dan menguras kekayaan alam Indonesia yang vital bagi masyarakat. Bahwa dalam melaksanakan dan mengatur perminyakan dan gas Indonesia dari usaha hulu ke usaha hilir adalah kewajiban Negara yang dilaksanakan oleh BUMN (Pertamina) sebagai pelaksana dari Hak Menguasai Negara bidang pengelolaan.
2.
1 ayat (19) jo. Pasal 6
Inkonstitusional, karena adanya sistem Kontrak Kerja Sama yang terbuka kepada badan usaha swasta, terlebih pihak asing, untuk mengelola dan mengambil keuntungan dari kekayaan alam Indonesia, sehingga berpotensi terlanggarnya kedaulatan negara, kedaulatan rakyat dan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3.
Pasal 3 poin b
Konstitusional sejauh dilakukan terlebih dahulu pemenuhan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia, bukan mendahulukan kepentingan migas untuk diperjualbelikan.
4.
Pasal 9 ayat (1)
Konstitusional sejauh secara jelas menyatakan bahwa Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir diilaksanakan dan dijamin oleh Negara apabila dengan tegas menyatakan bahwa BUMN diberikan monopoli pengelolaan migas. Apabila ada badan usaha swasta diberi ruang yang sangat besar maka bisa disebut UU Migas inkonstitusional dan bertentangan dengan pasal 33 (2) UUD 1945.
5.
Pasal 10
Bertentangan dengan pasal 33 (2) dan (3) UUD 1945 karena untuk mewujudkan penguasaan Negara terhadap kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka pengelolaannya haruslah terpadu dan tidak membuka kesempatan kepada pihak luar dari negara untuk mengelolanya demi kepentingan masyarakat. Kegiatan hulu ke hilir adalah proses yang tak dapat dipisahkan demi mencapai tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Keberadaan BP Migas dan BPH Migas perlu ditinjau ulang karena terbukti tidak mampu melakukan pengawasan dan pengeloaan migas di Indonesia dan telah melakukan pelanggaran pasal 33 yang tidak memberikan hak pengelolaan utama terhadap BUMN (Pertamina) untuk mengelola migas di Indonesia.
6.
Pasal 28 ayat (2)
Inkonstitusional, karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar maka yang bermain di sini adalah aspek ekonomi tanpa melihat kemakmuran rakyat, tetapi lebih memperhatikan laba tertinggi dan akumulasi kapital perusahaan pertambangan yang bermain dalam bisnis migasi. Harus ada kedaulatan Negara dalam menentukan harga demi kesejahteraan rakyat. Harga untuk masyarakat adalah harga yang benar-benar biaya yang dikeluarkan Negara dari hulu ke hilir dibagi besaran produksi, sehingga tercapai harga ekonomis dalam negeri. Pasal ini sudah
dibatalkan oleh MK tapi tetap ada pelanggaran dalam UU APBNP khususnya pasal 7 ayat 6 A maka perlu ditegaskan kalau UU Migas lex specialis terhadap UU APBNP terkait pengaturan anggaran terkait migas.
7.
Pasal 63 poin c dan Pasal 64
Inkonstitusional karena kontrak-kontrak yang sedang melakukan pelanggaran terhadap konstitusi tetap berlaku. Pasal ini membahayakan cadangan kekayaan alam Indonesia yang vital, sementara kekayaan alam itu tetap disedot dan diambil oleh pihak luar bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terhadap azas pacta sunt servanda (kesucian berkontrak). Perlu mendorong renegosiasi kontrak melalui Putusan MK.
Sumber: Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), April 2012 

Contoh di atas hanya sekelumit saja dari sekian banyak regulasi terkait SDA yang mendapat intervensi asing. Direktur Eksekutif Institute of Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng mengaku pernah melakukan penelitian serta mengkaji berbagai dokumen mengenai sejumlah UU di Indonesia. Hasilnya sangat mencengangkan, sebagian besar penyusunan dan pembuatan UU di Indonesia dibiayai oleh pihak asing. Tentu bukan tanpa maksud jika asing membiayai pembuatan undang-undang. Mereka punya kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Dan hasilnya, pada ratusan UU yang kita miliki, terselip kepentingan-kepentingan asing itu. 

Ada tiga dokumen penting menurut Daeng, yang menjadi pintu masuk asing dalam menguasai hampir semua lini kekayaan dan kedaulatan negeri ini, yaitu Letter Of Intent (LOI) IMF tahun 1997/1998, Dokumen World Bank, yaitu peluncuran pinjaman untuk mengubah atau membuat kebijakan di Indonesia sesuai keinginan, dan ketiga, dokumen-dokumen Asian Development Bank (ADB).
Sejak era reformasi ADB dan Word Bank berperan sangat aktif dalam proses deregulasi di Indonesia, khususnya pada sektor SDA seperti migas dan pertambangan. Selain SDA, sektor lain yang terkait juga menjadi incaran yaitu sektor perbankan dan keuangan. Saking banyaknya UU yang inkonstitusional di negara ini, upaya perubahan UU melalui jalur judicial review di MK pun menjadi tak cukup. Bertarung di MK untuk satu undang-undang ibarat mengubah buih di tengah gelombang laut yang amat besar.
Asing atau rezim internasional menanamkan kepentingannya di Indonesia melalui jalur sektoral, yaitu lewat produk legislasi (UU), maupun jalur regional yaitu lewat ratifikasi sejumlah dokumen. Sejak era reformasi produk UU semakin tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Selain itu, parahnya para pembuat undang-undang juga disinyalir tidak memiliki ideologi dan orientasi nasionalisme yang kuat. Mereka mudah luluh dan kemudian ‘disetir’ oleh logika-logika rezim internasional, yang tentu di balik itu ada kuasa lain yang lebih dari sekadar menekan, yaitu tidak lain uang.
Pasca reformasi, perusahaan asing justru menjadi sangat masif menancapkan kekuasaannya di negeri ini. Bayangkan, 75% bidang pertambangan kita dikuasai asing, dimana 70%-nya merupakan perusahaan asal Amerika Serikat.
Pada tahun 2011 tercatat sekitar 8.000 izin kuasa pertambangan dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa peluang asing menguasai langsung sumber daya tambang khususnya batubara dan mineral semakin terbuka lebar.
Perusahaan tambang asing, terutama China dan India, masuk menguasai tambang kecil dengan membiayai perusahaan-perusahaan tambang lokal yang kesulitan pendanaan. Tanpa disadari, Indonesia sudah menjadi hulu sumber daya bagi China dan India. Dua negara ini sangat agresif dalam mencari sumber daya batubara sebagai pengganti minyak ke luar negeri, sementara cadangan migas dan tambang di negerinya sendiri sengaja mereka simpan.
Di sektor migas, penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing juga semakin dominan. Catatan Pemerintah pada tahun 2011, dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, serta sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan gabungan asing dan lokal.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50% pada 2025. Saat ini, porsi nasionalnya hanya baru sekitar 25%, sementara 75% dikuasai oleh asing.
Hal tersebut menandakan bahwa liberalisasi telah terjadi begitu dalam di negeri ini, dan itu semua akibat dari perundang-undangan yang dibuat sejak tahun 1999 hingga 2012 yang cenderung berpihak pada liberalisasi.
Amandemen UUD 1945 yang semula dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan absolut presiden justru ditunggangi kepentingan-kepentingan asing untuk mengubah pondasi pembangunan ekonomi negara ke arah liberalisasi. Dan terbukti, kini liberalisasi telah menggerus sendi-sendi ekonomi kerakyatan yang sejatinya merupakan konsep dari UUD kita.


Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar