Kamis, 19 Juni 2014

Ironi di Tanah Papua



Kalau Nusa Tenggara Timur (NTT) masuk dalam deretan provinsi miskin bisa dimaklumi, karena memang miskin sumber daya alam. Tapi kalau Papua miskin itu jelas ada sesuatu yang salah. Bayangkan saja, sejauh mata memandang pulau dengan ciri khas penduduknya berambut keriting itu, adalah hamparan kayu tropis, emas, tembaga dan masih banyak lagi sumber daya alam lainnya.

Benar apa yang ditulis futurolog Amerika kenamaan, John Naisbit, dalam bukunya Global Paradox tentang paradoks-paradoks yang akan terjadi akibat fenomena globalisasi. Dan kini, paradoks itu tampak begitu nyata di tanah Papua. Tanah dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, namun penduduknya masuk dalam deretan yang termiskin di bumi Indonesia.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) Juli 2012 Propinsi Papua merupakan yang termiskin di Indonesia dengan persentase penduduk miskin mencapai 31%. Propinsi lain dengan kemiskinan yang tinggi adalah Nusa Tenggara Timur (21,23%), Nusa Tenggara Barat (19,73%), dan Nangroe Aceh Darussalam (19,57%).

Di lihat dari sisi mana pun yang terjadi di Papua adalah sebuah ironi. Betapa tidak, PT. Freeport, perusahaan pertambangan emas dan tembaga terbesar di dunia ada di sana. Perusahaan ini telah mendulang ratusan dollar Amerika dari perut bumi Papua, semenjak keberadaannya di tahun 1967. Freeport yang awalnya merupakan perusahaan kecil, kini telah menjelma menjadi perusahaan tambang raksasa kelas dunia yang mempunyai total aset 32,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp.288,63 triliun (laporan tahunan Freeport McMoRan Copper & Gold akhir tahun 2011, www.fcx.com).

Sebagian besar kekayaan perusahaan ini merupakan keuntungan ekplorasi di bumi Cendrawasih itu. Namun, coba lihat apa yang didapat rakyat Papua? Hingga saat ini mereka masih berada dalam kubangan kemiskinan, tidak dapat mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak, serta terjebak dalam situasi konflik yang berkepanjangan.

Naas dan juga memilukan melihat fakta ini. Kesejahteraan yang seharusnya menjadi milik rakyat Papua, justru berubah menjadi kemalangan. Orang-orang asing para pemilik saham dan investor yang menanamkan modal di PT Freeport inilah yang justru menikmati kekayaan alam Papua. Dengan semena-mena mereka membawa kekayaan alam Papua ke negerinya.

Sementara, tanpa daya, rakyat setempat hanya bisa menyaksikan tanah airnya dieksploitasi dan menyisakan kerusakan lingkungan yang luar biasa dahsyatnya. Kalaupun ada penduduk yang menjadi pekerja di perusahaan tambang itu, mereka digaji jauh lebih rendah di bawah standar internasional.

Kemiskinan dan ketidakadilan yang berkepanjangan dirasakan oleh rakyat Papua sebagai sebuah ironi. Oleh karena itu, tidak heran jika pergolakan, baik sosial maupun politik, tidak pernah usai di wilayah itu. Otonomi khusus yang meniscayakan pertambahan dana pembangunan ternyata juga tidak menyelesaikan masalah, karena dana dari pemerintah pusat yang hampir mencapai Rp 5 triliun itu, konon hanya terdistribusi kepada kalangan tertentu saja, dan sebagian besar rakyat terpaksa menerima nasib semula, miskin.

Lebih menyedihkan lagi, ketika protes atas ironi yang dirasakan masyarakat Papua itu, disikapi secara represif oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu, termasuk Negara yang dalam hal ini justru melindungi objek-objek vital milik asing, bukan melindungi rakyatnya sendiri.

Dengan berbagai alasan, cara-cara militeristik diterapkan, bahkan terhadap masyarakat sipil yang tak bersenjata sekalipun. Betapa banyak cerita kekerasan terhadap rakyat Papua yang berujung pada kematian yang tak dapat diungkap siapa pelakunya.

Kisah Pedih Mama Yosepha

Sejak PT Freeport masuk ke Timika banyak penduduk setempat yang lari kemudian bersembunyi di hutan-hutan karena ketakutan. Konflik antara masyarakat dan militer Indonesia pun berlangsung. Lalu sekitar tahun 1982 sekitar 50 keluarga menyerah kepada tentara Indonesia. Pada tahun 1984 pemboman terjadi di beberapa kampung, sehingga terjadi pengungsian besar-besaran, termasuk masyarakat Amungme.

Adalah Yosepha Alomang atau yang biasa dipanggil Mama Yosepha, seorang perempuan Amungme, memimpin masyarakat untuk membersihkan mayat-mayat yang terdiri dari anak kecil dan orang tua yang berserakan. Sulit ditaksir banyaknya.

Setelah pekerjaan selesai, mereka kembali bersembunyi di hutan. Namun sayang, di hutan mereka banyak yang meninggal karena malaria dan kondisi yang sulit di hutan. Maka, pada tahun 1987, mereka menyerahkan diri untuk yang kedua kalinya dan ditampung di sebuah kamp ‘sosial’.

Tahun 1994, Mama Yosepha dan Yuliana Magal ditangkap karena membelikan pakaian dan jaring ikan untuk komandan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kwalik. Mereka dibawa ke pos militer kemudian dipindahkan ke pos polisi. Di sana, mereka disekap sebulan lamanya dalam sebuah peti kemas (kontainer) yang difungsikan sebagai kakus bagi aparat keamanan.

Mereka bertahan hidup dalam kondisi sangat susah dalam genangan tinja. Selama masa penahanan, mereka juga mengalami penyiksaan luar biasa. Setelah dibebaskan, mereka dikenakan wajib lapor selama lima tahun.

Hingga kini, Mama Yosepha tetap berjuang membela hak-hak asasi rakyat Papua, walaupun telah berkali-kali ditahan. Pada tahun 1990-an, Mama Yosepha ditahan karena memprotes pengembangan areal airport, perumahan karyawan, dan Hotel Sheraton oleh PT Freeport yang mengambil tanah masyarakat di sekitar Timika.

Kekerasan Seksual

Selain Yosepha Alomang, kejadian serupa juga menimpa rakyat Papua lainnya. Dalam mengamankan lokasi penambangan, aparat selalu menggunakan cara-cara kekerasan terhadap penduduk lokal. Pada tahun 1977 tentara melakukan serangan balasan terhadap masyarakat yang dianggap merusak infrastruktur PT Freeport. Dalam peristiwa tersebut, seorang mama menjadi korban pemerkosaan.

Seminggu sebelumnya, sang mama baru saja melahirkan seorang anak. Ketika ia bekerja di kebun ia diperkosa oleh tiga orang tentara dan dipukul dengan senjata sampai pingsan, lalu dilemparkan ke parit. Akibat peristiwa itu, ia mengalami sakit tulang belakang, tidak bisa bekerja, dan menderita pendarahan selama lima bulan. Ironisnya, mama ini kembali menjadi korban pada saat terjadi perang suku di Timika tahun 2003. Ia kehilangan ternak dan perabotan rumahnya karena dirampas sehingga ia terpaksa pindah ke tempat baru.

Operasi militer di masa Orde Baru yang dikenal dengan Operasi Belah Rotan dari pasukan Tribuana berlangsung di wilayah Timika sekitar tahun 1985-1995 dan selama itu telah terjadi banyak kekerasan terhadap warga sipil dari mulai kekerasan fisik hingga kekerasan seksual, hingga saat ini para pelaku kekerasan tersebut tidak banyak yang ditindak secara hukum. Para korban, yang kebanyakan masyarakat sipil Papua terpaksa menerima nasib hidup bersama kenangan yang kelam.

Dua kisah yang dikutip dari dokumen bersama kelompok kerja pendokumentasian kekerasan dan pelanggaran HAM perempuan Papua tahun 2009-2010 itu, memperlihatkan betapa rakyat Papua dihadapkan pada ironi yang sangat nyata. Di mana pada satu sisi mereka memiliki kekayaan alam yang luar biasa, tapi di sisi lain kekayaan alam itu diekspolitasi sedemikian rupa, bukan untuk kepentingan mereka.

Lalu ketika mereka menuntut kesejahteraan sebagai imbal balik eksploitasi tersebut, mereka malah dianggap makar atau mengganggu aktivitas pertambangan. Kemudian dengan semena-mena petugas menangkap, menganiaya, bahkan membunuh tanpa proses hukum. Sungguh kenyataan yang menyedihkan.

Kerusakan Lingkungan

Selain drama kekerasan, kehadiran PT Freeport di Papua juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi suku Amungme yang mendiami dataran tinggi di Puncak Grasberg maupun suku Kamoro di dataran rendah Mimika. Pencemaran lingkungan baik mulai dari gunung biji yang dikenal masyarakat setempat sebagai ‘Nemang Kawi’, sungai Wanagong, sampai ke dataran rendah suku Kamoro yaitu sungai Aikwa.

Menurut laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tahun 2006, telah terjadi perusakan lingkungan yang luar biasa sepanjang tambang Freeport beroperasi. Di antaranya, Freeport telah membuang 1 miliar ton tailing ke sistem sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa. Freeport sendiri mengklaim bahwa pembuangan limbah ini telah sesuai standar internasional, padahal sesungguhnya itu tidak benar.

Sungai Ajkwa Bagian Bawah mengandung 28-42 mikrogram per liter (mg/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air tawar di Indonesia yaitu 20 mg/L. Lebih jauh ke hilir, kandungan tembaga larut pada air tawar sebelum muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22–25 mg/L bahkan bisa mencapai 60 mg/L.

Selain itu, kandungan tambang di Grasberg yang luas menjamin usia tambang yang panjang, sehingga bagi Freeport, yang paling menguntungkan adalah mengolah bijih dalam jumlah yang sangat besar setiap harinya, dan membuang 14% tembaga yang terkandung dalam bijih, yang akhirnya tertinggal di tailing yang dibuang ke sungai.

Dengan alasan yang sama, sejumlah besar batuan yang mengandung tembaga juga dikeruk dan dibuang tanpa diolah dulu. Alasannya, perusahaan memilih untuk mendapatkan bijih berkualitas tinggi secepat mungkin. Menurut WALHI, Lebih dari 3 miliar ton tailing dan lebih dari 4 miliar ton limbah batuan akan dihasilkan dari operasi Freeport sampai penutupan pada tahun 2040.

Secara keseluruhan, Freeport menyia-nyiakan 53.000 ton tembaga per tahun yang dibuang ke sungai sebagai Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage, ARD) dalam bentuk buangan (leachate) dan tailing. Pencemaran logam berat semacam ini mengakibatkan kerusakan lingkungan serius pada air tanah, sungai, dan muara di hilir.

Hampir semua limbah batuan dari tambang Grasberg sejak tahun 1980-an sampai 2003 yang berjumlah kira-kira 1.300 juta ton berpotensi membentuk asam. Limbah batuan ini dibuang ke sejumlah tempat di sekitar Grasberg dan menghasilkan ARD dengan tingkat keasaman tinggi mencapai rata-rata pH = 3.

Erosi dari limbah batuan mencemari perairan di gunung dan gundukan limbah batuan yang tidak stabil juga telah menyebabkan sejumlah kecelakaan fatal. Kestabilan gundukan limbah batuan merupakan problem serius jangka panjang, selain juga telah menghancurkan situs-situs penting bagi suku Amungme seperti danau Wanagon yang sudah lenyap terkubur di bawah tempat pembuangan limbah batuan di Lembah Wanagon.

Selain itu, sejumlah danau merah muda, merah dan jingga telah hilang, dan padang rumput Carstenz saat ini didominasi oleh gundukan limbah batuan lainnya. Jika sudah demikian, adakah harapan bagi masyarakat Papua untuk dapat menikmati kekayaan alamnya? Sementara yang tersisa hanya puing-puing kerusakan belaka, yang suatu saat dapat menjadi sumber malapetaka untuk mereka. 

Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar