Selasa, 17 Juni 2014

Kebijakan Neolib Sebagai Kolonisasi Ekonomi


Dalam prakteknya kebijakan neoliberal yang dipromosikan oleh negara-negara maju melalui lembaga pemberi utang pada Indonesia, selanjutnya diterjemahkan dalam kebijakan anggaran negara. Dalam sistem kapitalisme neoliberal anggaran negara harus difokuskan hanya untuk penyelenggaraan pemerintahan dan stimulus ekonomi untuk para pengusaha. Anggaran negara tidak diperkenankan untuk digunakan dalam membiayai industri dan perekonomian rakyat. Dengan demikian meski APBN bertambah, namun fondasi perekonomian negara tidak boleh menguat.
Ciri umum APBN yang menganut azas neoliberal antara lain; 1) Sistem anggaran defisit yang membuka peluang menumpuk utang luar negeri, 2) Menjadikan privatisasi atau penjualan perusahaan publik sebagai sumber penerimaan dan 3) Penerimaan dari sumber penghapusan segala bentuk pajak perdagangan luar negari dan mengintensifkan penerimaan negara dengan pajak perorangan 4) Anggaran publik harus diekan serendah mungkin tapi stimulus keuanngan untuk perbankan diperbesar 5) Anggaran subsidi harus dikurangi atau bila perlu dihapuskan tapi anggaran stimulus fiskal bagi pengusaha khususnya investor asing ditingkatkan.
Sistem anggaran semacam itu pada satu sisi semakin menguatkan kontrol negara-multinational corporations, negara maju dan lembaga keuangan global terhadap ekonomi nasional Indonesia. Kontrol tersebut dimaksudkan untuk menghambat negara dalam menguatkan ekonomi nasional, membiayai industri nasional, UKM dan menghalangi negara dalam melindungi usaha-usaha rakyat. Dengan demikian perusahaan asing tetap dominan dalam berbisnis di Indonesia, terutama usaha-usaha mengeruk sumber daya alam dan menguras keuangan negara secara berkelanjutan melalui manipulasi pajak, membayar bunga dan cicilan utang luar negeri.
Garis Ideologi kapitalisme neoliberalisme yang menjadi landasan dalam menyusun semua kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan anggaran, jelas merupakan sistem yang sangat bertentangan dengan semangat proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945. Kebijakan semacam itu semakin melanggengkan penghisapan oleh modal asing terhadap kaum buruh, petani, nelayan dan orang miskin yang merupakan kelompok mayoritas dalam struktur masyarakat Indonesia.
IMF sebagai pemangku tunggal sistem moneter dunia, saat ini bagi sebagian negara sudah dianggap institusi “purba” (jurasic institution) yang tidak mungkin diperbaharui lagi. Kontrol moneter secara nasional seperti di India dan Cina dianggap lebih berpeluang untuk berhasil, dimana kelompok ini menyadari pengelola utama krisis bukanlah capital volability melainkan kesalahan pandang bahwa ekspor dan investasi asing adalah motor pembangunan ekonomi.
Kita sudah menyadari dengan kendali sistem ekonomi pasar (kapitalisme) krisis selalu berutang, bahkan gundukan ekonomi saat ini tumbuh di Asia dengan Cina dan India sebagai raksasa ekonomi baru dunia. Bahkan Indonesia memperoleh rangking dua dalam segi pertumbuhan karena rata-rata dunia melambat tumbuhnya. Kapitalisme dalam bentuk self negative-nya tidak lestari (sustainable) dia tidak bisa tumbuh tanpa merusak tatanan sosial, budaya dan lingkungan. Lebih lanjut kapitalisme bukan metode karena itu orang yang punya power dan langkah yang akan sejahtera dan akan terus memperlebar jurang kaya miskin.
Filosofi Ekonomi Karl Polanyi (1886-1964) sistem kapitalisasi hanya akan membuat masyarakat akan tercerabut secara sosiologi karena semua dikondisikan. Dengan motif utama pasar dan uang sebagai penggerak berakibat terjadi ketercabutan secara antropologi karena di sistem kapitalisme ranah politik di pasar dengan ranah ekonomi, pemisahan ini berarti mencabut relasi manusia dengan sistem sosialnya. Oleh karena itu sistem ini tidak hidup tanpa menghancurkan manusia dan alam, maka dari itu hiduplah mashab green economy. Bahkan pelangi lebih ekstrem mengatakan terjadi ketercerabutan secara epistemik, sistem neoliberal harus dikritisi dan dicari pola dari sistem yang mengakar dari budaya sendiri. Seperti yang terjadi di Indonesia dimana 85% SDA nya, dan 72% perbankan nasional dimiliki asing dalam rangka “one world” visi utama neolib (MNC) menguasai aset dunia.
Suatu yang pasti ketercabutan secara sosial, antropoligis bahkan ketercerabutan secara epistemik, memang sudah terjadi karena neolib membawa dampak dehumanisasi terjadi pertentangan antara liberalisme ekonomi vs proteksi sosial.
Sistem pasar bebas harus dikendalikan dan tidak bisa digeneralisir ke seluruh dunia (one world), strategi geo politik AS dan sekutunya para prinsipnya untuk penguasaan geo ekonomi dengan bahasa MNC: “penguasaan dan pengendalian aset”. Jika negara tidak bisa memperoleh secara sosial akan menimbulkan rasa ketidakadilan dan akan memuncak kelak menjadi perlawanan sosial. Apalagi Indonesia dengan ekonomi kerakyatan tidak cocok terhadap alat kapitalisme yang hanya memperlebar jurang kaya dan miskin. Diharapkan Jokowi mampu merumuskan kembali prioritas pilihan pro rakyat atau pro pasar yang didukung rakyat Indonesia.

KESIMPULAN


  • Diyakini bahwa ada benang merah dari kejatuhan Soeharto (Mei 1998), ada tangan asing yakni melalui IMF, dimana dari tahun 1995 intensif menekan Soeharto, mencabut subsidi sembako (melalui Bulog), subsidi BBM, subsidi di bidang pertanian yang bagi Pemerintah saat itu sangat strategis. Subsidi bagi sistem ekonomi nasional adalah bagian dari trilogi pembangunan (pemerataan pembangunan). Kejayaan ekonomi Indonesia saat ini dianggap lemah karena bertentangan dengan sistem neo-liberalism yang anti subsidi tapi boleh menggelembungkan hutang.
  • Dengan ditandatanganinya 50 butir LoI antara IMF-Indonesia dengan skema hukum secara derivatif dijadikan “tools” untuk memuluskan investasi asing di Indonesia, sehingga pasca reformasi Indonesia salah satu negara paling liberal di dunia. Hanya Indonesia yang kepemilikan bank (asing) mencapai 72%, negara lain paling tinggi hanya 50%. Sumber daya alam dikuasai 85%, hutan dan perkebunan 65%, dan impor makin besar dengan tekanan pasar bebas. Semua diyakini terencana oleh multinational corporations, karena pasca 1997 pada pembangunan jangka panjang tahap II Soeharto (melalui Widjojo Nitisastro cs.-mafia Berkeley) mulai menjadikan aspek pemerataan tumpuan strategi setiap Pelita. Dirasakan stabilitas politik sangat terkendali dengan pertumbuhan rata-rata di atas 7%. Sungguh Indonesia saat itu salah satu macan Asia. 
  • Jokowi tentu lebih mendengarkan rakyat Indonesia dari pada pendiktean asing yang tidak sesuai dengan kedaulatan ekonomi ada Trisakti Bung Karno. Sungguh, kedaulatan bangsa adalah dignity (harga diri) bangsa dan kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar