Rabu, 18 Juni 2014

Tercabiknya Kedaulatan di Blok Mahakam



Mestinya, seiring berakhirnya Kontrak Kerja Sama (KKS) di Blok Mahakam di 2017 nanti, Indonesia dapat menguasai ladang gas terbesarnya di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Namun mencermati mentalitas pejabat-pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harapan itu tampaknya sia-sia belaka. Bagaimana tidak, belum-belum orang di Kementerian ESDM menilai Indonesia belum siap soal teknologi dan sumber daya manusia (SDM).

Blok Mahakam terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar). Luasnya mencapai 601 hektar, 213.3 hektar masuk yuridiksi Kabupaten Kutai Kartanegara, sisanya (388 hektar) masuk dalam yuridiksi Provinsi Kalimantan Timur. Blok di delta Sungai Mahakam itu rata-rata memproduksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Dengan jumlah itu sekitar 35% kebutuhan gas dalam negeri bisa terpenuhi. Sementara cadangan gas yang dimiliki sekitar 27 triliun cubic feet (tcf), angka yang sangat fantastis. Wajar bila perusahaan asing ‘betah’ mengelola blok yang mestinya secara hukum sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi pada 2017 nanti.

Paling tidak, sejak 1970 hingga 2010, sekitar 51,92% (13,5 tcf) cadangan gas telah dieksploitasi, dengan pendapatan kotor sekitar 100 miliar dolar AS. Sekarang tersisa 48,18 % (12,5 tcf), namun dengan catatan harga gas terus naik, sehingga potensi pendapatan dari blok Mahakam diperkirakan masih 187 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 1700 triliun. Diperkirakan pula produksi gas dari blok ini mencapai 2,6 billion cubic feet (bcf) per tahun. Sejak 1967 hingga 2009 total produksi gas dan minyak dari Blok Mahakam masing-masing telah mencapai 13,7 tcf dan 1.065,5 juta barel minyak mentah.

Blok Mahakam mempunyai 7 sumur minyak yang terletak di kawasan Tambora, Sisi, Peciko, Nubi, Bekapai, Handil, dan Tunu, dan 2 sumur gas alam di kawasan West Stupa dan East Mandu. Ke-7 sumur minyak itu sayangnya, kesemuanya 100% dikuasai asing, masing-masing 50% saham dikuasai oleh Total E&P Indonesia (Perancis) dan 50% lagi dimiliki oleh Inpex Corp. (Jepang). Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas mengelola kekayaan minyak dan gas negara tidak memiliki saham 1% pun dari Blok yang “makmur” itu.
Blok Mahakam sebagian besar terletak di delta Sungai Mahakam, terdiri dari sejumlah pulau yang terbentuk akibat endapan di muara Sungai Mahakam dan Selat Makassar, Kalimantan Timur. Jika dilihat dari angkasa, kawasan delta ini menyerupai kipas raksasa. Delta Mahakam memiliki luas sekitar 150 ribu hektar (termasuk wilayah perairan). Namun jika dihitung luas wilayah daratannya saja, luasnya sekitar 100 ribu hektar. Secara administratif, kawasan Delta Mahakam berada dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, tepatnya berada di Kecamatan Anggana, Muarajawa, dan Sangasanga.

Kawasan Delta Mahakam merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam, terutama minyak bumi dan gas alam (migas). Cadangan terbesar terdapat di lapangan Peciko dan Tunu yang kini dieksploitasi Total E&P Indonesie, perusahaan asal Perancis.
Delta Mahakam awalnya merupakan kawasan yang dipenuhi rawa-rawa. Namun, menjadi begitu penting secara ekonomis sejak ditemukannya minyak menjelang tahun 1897. Ketika itu, seorang Belanda bernama JH. Menten memulai pengeboran percobaan di sekitar wilayah itu dengan hasil yang luar biasa. Pada tahun 1902, Shell dengan konsesi yang diperoleh dari JH. Menten, maupun Royal Dutch telah menghasilkan minyak dari ladang-ladang di delta Sungai Mahakam. Eksplorasi yang dilakukan Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM) pada tahun 1909 juga berhasil menemukan ladang minyak Samboja di wilayah itu.
Kawasan ini juga menjadi semakin strategis karena posisinya yang berada dalam kawasan Selat Makassar, yang merupakan jalur pelayaran domestik dan internasional. Delta Mahakam diapit oleh tiga kota besar di Kalimantan Timur, yakni Samarinda (25 km ke arah barat), Balikpapan (115 km ke arah selatan) serta Bontang (100 km ke arah utara).

Kembalikan ke Pertamina
Jatuhnya Blok Mahakam ke perusahaan asing bermula, sejak ditandatanganinya Kontrak Kerja Sama (KKS) untuk wilayah kerja Offshore Mahakam Block,  antara PN Perusahaan Minyak Nasional (Perminas/cikal bakal Pertamina) dan Japan Petroleum Exploration Co.Ltd (kontraktor pertama) pada 6 Oktober 1966. Kontrak itu berlaku efektif sejak 31 Maret 1967 untuk masa kontrak selama 30 tahun.  Kontrak kemudian diamandemen hingga dua kali antara Pertamina dan Para Kontraktor (Indonesia Petroleum Exploration LTD dan Total Indonesie) yaitu tanggal 18 Oktober 1979 dan 14 April 1981.
Sayangnya, 11 Januari 1997, beberapa bulan sebelum Presiden Soeharto lengser, Pertamina dan para kontraktor (Total dan Inpex) menandatangani perpanjangan kontrak Blok Mahakam yang berlaku efektif sejak 31 Maret 1997 untuk masa kontrak selama 20 tahun, dengan komposisi pembiayaan (participating interest) kegiatan eksplorasi, pengembangan, dan produksi minyak mentah dan gas alam Wilayah Kerja Mahakam yaitu 50% (Total) dan 50% (Inpex). Dengan demikian, kontrak Blok Mahakam akan berakhir pada 31 Maret 2017.
Total E&P Indonesie merupakan anak perusahaan Total Group Paris, Perancis yang didirikan di Jakarta pada 14 Agustus 1968. Awalnya, perusahaan ini melakukan eksplorasi, pengembangan, dan produksi minyak bumi di area Bekapa dan Handil. Namun, awal 1990 kegiatan utama pertambangan beralih ke pengembangan dan produksi gas bumi yang ditemukan di lokasi Tuwu dan Peciko. Total EP Indonesie merupakan produsen gas bumi terbesar di Indonesia yang memberi kontibusi hampir 60% pada kilang LNG Bontang Kaltim.   
Seharusnya, BUMN, dalam hal ini Pertamina sudah bisa menguasai Blok Mahakam pada tahun 2017. Namun, karena besarnya cadangan yang tersisa, pihak asing tertarik kembali mengajukan perpanjangan kontrak. Di samping permintaan dari pihak manajemen Total, tak tanggung, lobi tingkat tinggi pun dilakukan. Perdana Menteri (PM) Perancis, Francois Fillon telah meminta perpanjangan kontrak Mahakam saat berkunjung ke Jakarta pada Juli 2011.
Setelah itu, Menteri Perdagangan Luar Negeri Perancis Nicole Bricq kembali meminta perpanjangan kontrak saat kunjungan Jero Wacik ke Paris, 23 Juli 2012. Hal yang sama juga disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012. Bahkan, isu bahwa Jepang sebagai pasar potensial gas dari Blok Mahakam enggan membeli, jika dikelola selain Total pun sempat diembuskan beberapa tahun lalu.
Kendati PP No. 35/2004 Pasal 28 ayat 1 menyebutkan bahwa kontraktor dapat mengajukan kembali permohonan perpanjangan kontrak untuk masa waktu 20 tahun berikutnya. Namun, UU Migas No. 22/2001 menyebutkan apabila kontrak migas berakhir pengelolaan dapat diserahkan ke Pertamina, BUMN Migas kita. Apalagi pengelolaan tambang migas oleh Pertamina adalah amanat konstitusi dan kepentingan strategis nasional.
Sebenarnya, sudah sejak 2008 Pertamina menyatakan ingin dan sanggup mengelola Blok Mahakam. Sebagai wujud keseriusannya, sejak Februari 2012 lalu, Pertamina menempatkan orang-orangnya untuk ikut terlibat dalam pengoperasian di blok potensial itu. Bahkan, Pertamina siap mengucurkan dana 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun untuk mengebor sumur baru tahun 2012.
Namun sayang, Kepala BP Migas R.Priyono dan Wakil Menteri ESDM Prof. Rudi Rubiandini tampaknya lebih cenderung mendukung Total sebagai operator Blok Mahakam. Bahkan Menteri ESDM Jero Wacik sudah memberi sinyal, Blok Mahakam akan diserahkan kembali ke Total. Apakah kebijakan itu terkait dengan kepergiannya ke Perancis pada Juli 2012 lalu? Entahlah.
Ketidaktegasan pemerintah untuk melindungi BUMN milik Indonesia itu, menurut Direktur IRESS Marwan Batubara, memang sudah didesain sejak pembuatan UU. Sebut saja dalam UU No 22/2001 tentang Migas, bunyi pasalnya Pertamina dapat mengajukan diri sebagai operator di blok-blok yang sudah habis kontrak kerja samanya. Di situ menteri ESDM juga berhak menyetujui atau menolak Pertamina. “Mestinya, pemerintah menugaskan Pertamina meskipun Pertamina tidak mengajukan diri sebagai operator,” demikian menurut pendapat Marwan.
Ruang abu-abu yang dimungkinkan oleh UU itu, menurut Marwan, memberi ruang kepada berbagai pihak untuk berburu rente di blok-blok yang sudah berakhir masa kontraknya. Sebut saja di Blok Madura, sebelum diprotes masyarakat, Pertamina hanya kebagian saham 50% dari blok-blok yang sudah habis masa kontraknya. Setelah diprotes ramai-ramai, terlebih setelah ditemukan adanya perusahaan yang tidak jelas alamatnya namun kebagian saham, komposisinya berubah 80% Pertamina dan 20% asing. Nah, yang 20% asing itu masih ada saham untuk perusahaan yang tidak dikenal sebesar 10%.
Bukan mustahil pula, kisah perburuan rente itu kembali berulang di Blok Mahakam. Dengan dasar itu pula, Marwan Batubara mendesak agar Pertamina diberi peluang menjadi perusahaan besar dengan mengelola Blok Mahakam. Kalau pun di masa lalu ada isu korupsi, itu bukan semata-mata kesalahan Pertamina. Tapi juga kesalahan pemerintah yang membiarkan adanya korupsi di Pertamina. “Kalau korupsi ya pecat saja pejabatnya,” imbuh Marwan.
Berbagai cara bahkan dihembuskan oleh BP Migas untuk meredam kesanggupan Pertamina, termasuk dihembuskannya isu korupsi dan berita bohong tentang cadangan migas yang tidak seberapa di Blok Mahakam. Pertanyaannya, kalau cadangan migasnya tinggal sedikit, kenapa pejabat setingkat Perdana Menteri Perancis datang ke Indonesia khusus membicarakan perpanjangan kontrak Total, dan kenapa pula CEO Inpex datang ke Jakarta menemui Presiden dan Wakil Presiden untuk tujuan yang sama?
Keterlibatan Daerah
Hingga saat ini, pemerintah belum menentukan apakah Pertamina diberi kesempatan sebagai operator paska berakhirnya KKS. Di sisi lain, Pertamina mengaku sedang dalam proses negosiasi dengan Total E&P Indonesie. Apa lagi, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini menjanjikan Pertamina dan BUMD setempat bakal kebagian porsi saham 51-70% saham. Sedangkan kontraktor sebelumnya, Total dan Inpex kebagian 30% saham.
Rudi terang-terangan berucap, perusahaan migas asing masih dibutuhkan dalam pengelolaan Blok Mahakam, baik dari segi dana maupun teknologinya. Tentang siapa operatornya, Rudi punya opsi, lima tahun pertama digarap Total E&P, dan 15 tahun selebihnya dikelola Pertamina. Namun pembicaraan itu sedang dibicarakan secara Businnes to Businnes (B to B) antara Pertamina dan Total.
Ironisnya, saat Pertamina belum jelas benar akan menguasai blok Mahakam, ternyata di pemerintah daerah setempat sudah terjadi polemik. Pemicunya adalah Pasal 34 PP No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, yang mewajibkan kontraktor menawarkan hak partisipasi 10% ke BUMD setelah rencana pengembangan pertama disetujui. Masalahnya, hak partisipasi 10% itu menjadi rebutan antara Pemprov Kaltim yang menginginkan 60% dari 10% hak partisipasi,  dan Pemkab Kutai Kartanegara menginginkan 75% karena merasa sebagian besar eksplorasi Blok Mahakam berada di wilayahnya.
Kedua, pemerintah daerah itu masing-masing telah membuat perusahaan daerah. Pemkab Kutai Kertanegara telah mendirikan PT Tunggang Parangan dengan dana Rp 350 miliar. Sementara Pemprov Kalimantan Timur mendirikan PT Migas Mandiri Pratama (MMP) yang menggandeng perusahaan swasta nasional PT Yudhistira Bumi Energy (YBE). Konon, YBE mampu menyiapkan dana 300-600 juta dolar AS, sesuai perkiraan investasi yang dibutuhkan untuk ikut mengelola Blok Mahakam.
Pertamina dan Total pun belum sepakat soal hak partisipasi 10%. Total meminta agar 10% saham itu  menjadi bagian Kutai Kertanegara dan Kaltim untuk masuk dalam saham nasional. Namun Pertamina menolak opsi itu. Pertamina menginginkan 10% itu ditanggung bersama antara Pertamina dan Total dengan porsi masing-masing 5%.
Nah, sama-sama belum dapat sudah ribut duluan. Mestinya tegas saja, kembalikan pengelolaan Blok Mahakam ke pangkuan ibu pertiwi, dalam hal ini Pertamina dan perusahaan BUMD yang mampu membiayai sendiri kebutuhan divestasinya. Sudah itu, saham yang kita kuasai melalui BUMN dan BUMD dikonsolidasikan untuk kepentingan nasional. Bukan BUMD tapi di dalamnya disusupi swasta yang mendapat porsi keuntungan lebih besar dari BUMD. Apa lagi kalau tujuannya cuma berburu rente?

Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)

1 komentar:

  1. Indonesia itu kaya tetapi masih belum bisa mengelola sumberdaya yg ada
    Saya percaya jika indonesia bisa memiliki tambang gas di sluruh indonesia juga tambang emas di papua perekonomian indonesia akan smakin naik bahkan mungkin bisa bersaing dengan negara maju

    BalasHapus