Senin, 23 Juni 2014

Menanti Bom Waktu Krisis Energi



Sejumlah kalangan mendesak, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) segera direvisi. Pasalnya, UU itu tidak menjamin pasokan Migas di dalam negeri. Keuntungan bagi pelaku usahanya lebih diutamakan (profit oriented) ketimbang memenuhi kebutuhan energi nasional dengan harga terjangkau dan berkelanjutan. Bila terus dibiarkan, ke depan Indonesia rentan krisis energi.
UU Migas dinilai sejumlah kalangan bertentangan dengan semangat pendirian bangsa ini. Malah menjadi tonggak liberalisasi dan privatisasi sektor migas di Indonesia. Atas nama privatisasi, deregulasi dan liberalisasi pula, maka Pertamina, selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyangga kepentingan nasional dikebiri hak-hak konstitusionalnya, dan disetarakan kedudukannya dengan perusahaan-perusahaan asing yang memang berniat menjarah kekayaan bangsa kita. 
Problem mendasar UU Migas adalah terkait masalah pajak dan birokrasi yang rumit. Selain itu juga terkait ketentuan Domestic Market Obligation (DMO), lifting minyak yang terus turun, realisasi investasi dan eksplorasi yang anjlok sejak 1999, dan tidak ditemukannya cadangan di blok baru dalam 10 tahun terakhir. Dari berbagai masalah yang muncul, menjadi salah satu parameter bahwa Pemerintah tidak mampu membangun konsepsi mengenai politik migas untuk kesejahteraan rakyat.
Tidak mengherankan, bila sejumlah kalangan melakukan uji materi (judicial review) UU Migas (lihat Ramai-ramai Uji Materi UU Migas ke MK). Juli 2012 silam, misalnya, organisasi massa Muhamadiyah di hadapan MK menghadirkan ahli seperti pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy, mantan Menko Perekonomian dan Industri Kwik Kian Gie, dan pengamat perminyakan Kurtubi, mengajukan uji materi UU Migas ini. Pada 13 November 2012 sebagian gugatan uji materi itu dikabukan MK, dan berujung pada pembubaran BP Migas.
Keputusan MK dinilai Kurtubi tepat, sebab BP Migas memang bertentangan dengan konstitusi. Kurtubi meyakini, bila BP Migas yang memiliki kewenangan luar biasa mewakili negara dalam kontrak kerjasama (KKS) dibubarkan, niscaya industri Migas nasional menjadi lebih bergairah dan investasi meningkat.
Pakar ekonomi Ichsanuddin Noorsy menganggap, dengan berlakunya UU Migas yang sekarang,  pemerintah tidak berdaya dalam mengelola kebutuhan energi nasionalnya. Krisis energi yang belakangan ini acap menimpa PLN dan sejumlah industri nasional akan senantiasa berulang. Sebab, semua sudah dikendalikan oleh kepentingan asing. "Bila tidak ada perubahan, sampai 2020 pun Indonesia akan (terus) didikte oleh perusahaan minyak asing," tandas Noorsy.
Kwik Kian Gie juga menegaskan, UU Migas lebih banyak mengacu kepada kepentingan asing. Pemerintahan, katanya, sudah dicuci otaknya oleh asing. Pemerintah telah melakukan rekayasa pikiran dan pembohongan luar biasa sehingga memungkinkan terjadinya kebijakan yang menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak orang.
Pekerja Pertamina tidak tinggal diam. Lewat Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan didukung oleh Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI), keduanya membentuk  Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) yang juga turut mendaftarkan uji materi UU Migas ke MK.
Benidikty Sinaga, kuasa hukum IHSC pernah mengungkapkan, UU Migas tidak menguntungkan bangsa Indonesia. Buktinya adalah terjadinya penurunan produksi migas khususnya minyak bumi secara signifikan. Pada Januari 2012 misalnya, produksi gas mengalami penurunan menjadi sekitar 880.000 barel per hari, atau turun jauh dibanding 2004 masih sekitar 1.3 juta barel per hari.
Dikatakannya, kapasitas kilang BBM stagnan selama lebih dari 15 tahun terakhir (pada level sekitar 1.050.000 bbls/hari), sedangkan kapasitas kilang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri saat ini adalah sekitar 1.500.000 bbls/hari. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar dengan harga mahal. Tentu saja hal itu membebani APBN.
Perubahan status Pertamina dari BUMN menjadi PT Persero juga dianggap membuka peluang bagi diprivatisasi. Ujung-ujungnya negara tidak memiliki alat lagi dalam mengontrol produksi dan distribusi minyak dan gas bumi untuk kepentingan dalam negeri. Bahkan, gas sebagai sumber energi murah, ramah lingkungan dan persediaannya melimpah, berdasarkan UU Migas, rentan dicaplok untuk kepentingan asing.
Memang, terlepas dari keberadaan UU Migas yang membuka peluang kongkalingkong antara perusahaan Migas asing dan pemburu riba (rent seeker), Pemerintah sesungguhnya tidak memiliki blue print energi yang jelas tentang kedaulatan energi. Sudah tahu, persediaan minyak bumi bakalan habis, tapi tidak ada tanda-tanda mengoptimalkan sumber energi yang lain, seperti panas bumi, batubara dan gas yang persediaannya masih melimpah.


Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar