Rabu, 11 Juni 2014

Ekonomi versi UUD 1945

  • Makna demokrasi  ekonomi versi UUD 1945 tercermin dalam Pasal 23 ayat (3) bahwa perekonomian diselenggarakan demi kesejahteraan rakyat. Utamanya adalah azas kebersamaan, bukan perseorangan, apalagi liberalisme. IMF dengan azas neoliberalisme telah mengingkari UUD 1945. APBN sebagai Soko Guru kebijakan ekonomi mashabnya harus diubah oleh pemerintahan JW. Tujuan jangka pendeknya, bagaimana kemandirian nasional dan kedaulatan negara tercermin dalam penyusunan APBN.
  • Untuk mengetahui APBN itu sesuai atau tidak dengan UUD 1945, bisa dengan parameter berikut ini:
  1. Kemanfaatan APBN bagi rakyat (kebijakan pro-rakyat)
  2. Tingkat pemerataan manfaat APBN bagi rakyat (jurang kaya dan miskin semakin melebar)
  3. Tingkat partisipasi rakyat dengan kebijakan APBN (program pembangunan bukan yang padat karya tetapi padat modal)
Ketiga tolak ukur ini tafsir tepat atas tuntutan UUD 1945 atas kebijakan APBN. Fungsi anggaran tersebut gambaran dialektika atas kepentingan pro-pasar atau pro-rakyat sesuai tuntutan konstitusi. Seringkali Undang-Undang yang hanya 1 pasal titipan (mashab pro-pasar) tapi sangat berlebihan pada sektor derivatifnya, seperti: Keppres, Peraturan Pemerintah, SK Menteri, dan seterusnya. Padahal APBN bukan hanya domain Pemerintah (eksekutif), tapi juga legislatif (representasi rakyat Indonesia) dalam menjalankan fungsi anggarannya.
Lebih jauh bahkan sekarang DPR mewakili soal anggaran melalui Badan Anggaran (Banggar), sehingga ada modus korupsi di tingkat perencanaan, yang dapat disebut dengan mafia anggaran. Maka dari itu politik anggaran dominan berorientasi neolib. Indikatornya pertumbuhan PDB nasional masih jauh lebih besar dari pada intervensi pemerintah dalam anggaran negara. Ini membuktikan struktur perekonomian nasional berjalan ke arah mekanisme pasar. Didukung oleh kenyataan betapa bersemangatnya Indonesia menjalankan APEC, WTO dengan perdagangan bebas, menunjukkan pemerintah mengabaikan kepentingan rakyat Indonesia. Negara lain khususnya Amerika Latin sudah keluar dari mashab neolib, ingin kemandiran lepas dari kendali AS, setelah AS juga bermasalah secara ekonomi. Bahkan negara-negara sosial demokrat mulai memperbesar intervensi peran negara dalam APBN untuk dana sosial dan kesejahteraan masyarakat. Hal itu terlihat pada reformasi dimana subsidi sembako (Bulog) dihancurkan, didesak mengecilkan subsidi BBM agar sesuai mekanisme pasar. Padahal subsidi salah satu cara untuk tetap kompetitif dalam pasar global, khususnya dengan UKM. Lebih jauh subsidi salah satu instrumen fiskal yang dapat digunakan untuk mewujudkan subsidi silang, asal tepat sasaran dan tepat guna, bukan dengan cara yang keliru (charity approach).
Dengan meningkatkan tax ratio yang sekarang hanya bergerak 12%-13% dari PDB masih sangat rendah. Begitu juga dengan PNBP dari migas jika didorong royalti sampai dengan 2,5%-5%, akan signifikan jumlahnya. Penerimaan pajak tahun 2016 bisa mencapai Rp 1.700 triliun dan PNBP bisa mencapai Rp 500 triliun. Dengan penerimaan negara Rp 2.200 triliun tersebut, sangat mampu negara Indonesia mandiri dan berdaulat.
Dengan belanja APBN di tahun 2015 mencapai Rp 2.115 triliun (ada unsur pembayaran utang cicilan dan bunga Rp 230 triliun), pendapatan negara di tahun 2016 sudah dapat dilaksanakan APBN tanpa utang. Belum lagi efisiensi dilakukan, baik dengan pemberantasan korupsi maupun di bidang lainnya, dan menstrukturisasi pembayaran utang (re-scheduled), juga skema lainnya yang meringankan APBN.
Di pemerintahan Jokowi dengan Trisakti Bung Karno seyogyanya terjadi perubahan paradigma APBN dari pro-pasar menjadi pro-rakyat. Peran teknokratis yang pro-pasar tanpa memikirkan posisi rakyat Indonesia sangat memperlambat terjadinya pemerataan pembangunan. Pada skala ekonomi nasional, negara hanya memelihara angka rapor baik di ekonomi makro, tetapi gagal dalam memajukan sisi mikro ekonomi nasional.
Dapat disimpulkan bahwa:
  1. Kebijakan Fiskal bukan prosedur teknokratis dalam kebijakan anggaran (APBN)
  2. APBN sumber daya ekonomi harus dengan basis ideologi UUD 1945 dan Pancasila menjadi rohnya (bukan neolib) atau pro-rakyat
  3. Ukuran utama bukan hanya pertumbuhan (karena akan dimiliki pemilik modal dan asing), tapi ukurannya adalah pemerataan ekonomi dalam wujud berkurangnya lebar kaya miskin secara terukur, untuk memenuhi rasa keadilan dan pelayanan publik sebaik-baiknya, khususnya akses yang mudah untuk kebutuhan dasar dan pengurangan kemiskinan.
JOKOWI, jika ingin jadi Presiden yang dikenang sejarah tentu harus mengubah pembangunan ekonomi dari sangat liberal (pro pasar) ke pro rakyat. Karena itu perintah konstitusi, jangan takut tekanan asing karena sudah biasa dilakukan melalui IMF dan World Bank (Bank Dunia) yang dianggap institusi jurasic atau komodo (out of date). Sekarang era kemandirian nasional, kalaupun ada pasar bebas jika kompetisi tidak equal, negara wajib proteksi komoditi nasional atau tingkat regional. One state one society itu jebakan Soros (AS) agar terjadi kompetisi unequal, dimana negara kuat selalu menjadi pemenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar