Rabu, 11 Juni 2014

Kebijakan Neolib vs Kebijakan APBN Indonesia



Kebijakan Neolib vs Kebijakan APBN Indonesia
Dalam prakteknya kebijakan neoliberal yang dipromosikan oleh negara-negara maju melalui lembaga pemberi utang pada Indonesia, selanjutnya diterjemahkan dalam kebijakan anggaran negara. Dalam sistem kapitalisme neoliberal anggaran negara harus difokuskan hanya untuk penyelenggaraan pemerintahan dan stimulus ekonomi untuk para pengusaha.
Anggaran negara tidak diperkenankan untuk digunakan dalam membiayai industri dan perekonomian rakyat. Dengan demikian meski APBN bertambah, namun fondasi perekonomian negara tidak boleh menguat dan itu tidak akan ada perubahan sampai bangsa Indonesia sendiri berani bersikap, tentunya lewat kepala negaranya.
Ciri umum APBN yang menganut azas neoliberal antara lain: 1) Sistem anggaran defisit yang membuka peluang menumpuk utang luar negeri; 2) Menjadikan privatisasi atau penjualan perusahaan publik sebagai sumber penerimaan; 3) Penerimaan dari sumber penghapusan segala bentuk pajak perdagangan luar negeri dan mengintensifkan penerimaan negara dengan pajak perorangan; 4) Anggaran publik harus ditekan serendah mungkin, tapi stimulus keuangan untuk perbankan diperbesar; 5) Anggaran subsidi harus dikurangi atau bila perlu dihapuskan, tapi anggaran stimulus fiskal bagi pengusaha khususnya investor asing ditingkatkan.
Sistem anggaran semacam itu pada satu sisi semakin menguatkan kontrol negara-multinational corporations, negara maju dan lembaga keuangan global terhadap ekonomi nasional Indonesia. Kontrol tersebut dimaksudkan untuk menghambat negara dalam menguatkan ekonomi nasional, membiayai industri nasional, UKM dan menghalangi negara dalam melindungi usaha-usaha rakyat. Dengan demikian perusahaan asing tetap dominan dalam berbisnis di Indonesia, terutama usaha-usaha mengeruk sumber daya alam dan menguras keuangan negara secara berkelanjutan melalui manipulasi pajak, membayar bunga dan cicilan utang luar negeri.
Garis ideologi kapitalisme neoliberalisme yang menjadi landasan dalam menyusun semua kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan anggaran, jelas merupakan sistem yang sangat bertentangan dengan semangat proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945. Kebijakan semacam itu semakin melanggengkan penghisapan oleh modal asing terhadap kaum buruh, petani, nelayan, dan orang miskin yang merupakan kelompok mayoritas dalam struktur masyarakat Indonesia.
IMF sebagai pemangku tunggal sistem moneter dunia, saat ini bagi sebagian negara sudah dianggap institusi “purba” (jurassic institution) yang tidak mungkin diperbaharui lagi. Kontrol moneter secara nasional seperti di India, Cina, dan Malaysia dianggap lebih berpeluang untuk berhasil, dimana kelompok ini menyadari pengelola utama krisis bukanlah capital volatility melainkan kesalahan pandangan bahwa ekspor dan investasi asing adalah motor pembangunan ekonomi. Berdikari dan kedaulatan ekonomi sesuai UUD 45 (Pasal 33) seharusnya menjadi tekad pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar