Rabu, 18 Juni 2014

Freeport Kaya Karena Papua

Sebelum besar seperti sekarang, rupanya Freeport pernah terusir dari Kuba akibat nasionalisasi. Yang ditambang pun bukan emas, melainkan hanya sulfur atau belerang. Kini setelah mengaduk-aduk dua gunung di Papua, Freeport McMoran Copper & Gold Inc tahun 2008 di posisi 32 perusahan tambang terbesar di dunia, dengan pendapatan 17,0876 juta dolar AS dan laba bersih 2,997 juta dolar AS.

Sebagai gambaran, diantara ke-empat wilayah pertambangan Freeport yang tersebar di kawasan Amerika Utara, Amerika Selatan, Indonesia dan Afrika, ternyata 92,64% (2011) emas untuk Freeport McMoran disumbang dari bumi Papua. Jumlah itu memang menurun dibandingkan data tahun 2010, 2009, dan 2007. Namun lebih tinggi dari data 2008. (Lihat Tabel Data Produksi Emas).

Berapa deviden yang diterima pemerintah Indonesia di tahun 2011? Ternyata hanya Rp 1,5 triliun, itu pun masih menunggak Rp 350 miliar. Saat ditagih oleh Dahlan Iskan, selaku Menteri BUMN, dengan enteng Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI) Rozik B Soetjipto menjawab belum bisa membayar. ”Pembayaran deviden tergantung kondisi perusahaan. Jadi belum bisa dibayar sekarang,” ucapnya sebagaimana dikutip dari Kompas, 18 September 2012.

Naga-naganya, tahun ini deviden PT FI bakalan turun hingga sepertiganya, dari Rp 1,5 triliun yang belum dibayar penuh tinggal Rp 500 miliar. Alasannya, operasional perusahaan belum pulih setelah sempat terhenti di awal 2012. Tentu saja turunnya deviden dari Freeport berpengaruh terhadap proyeksi deviden keseluruhan BUMN yang ditargetkan mencapai Rp 32,6 triliun. Namun akibat turunnya deviden dari Freeport, target itu diturunkan menjadi Rp 31,1 triliun saja.

Namun persoalannya bukan di situ. Masa iya sih, Freeport yang di tahun 2011 lalu saja menghasilkan 1,272 juta ons emas hanya bisa memberikan keuntungan Rp 1,5 triliun ke pemerintah Indonesia? Itu pun masih mengutang. Duit Rp 1,5 triliun setara dengan APBD Kota Palembang. Jumlah itu jelas tidak sepadan dengan kerusakan lingkungan di dua gunung di Papua yang sudah pasti ditanggung pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua.

Sedangkan di sisi lain pula, kekayaan Freeport McMoRan sebagian besar disumbang dari bumi Papua. Itu artinya memang tanpa Papua, Freeport tidak ada apa-apanya.

Sejarah Freeport

Freeport McMoRan Copper & Gold Inc. Cikal bakal perusahaan ini didirikan pada 1912 sebagai perusahaan sulfur atau belerang, belum mengeduk emas seperti sekarang. Ekspansinya ke luar Amerika dimulai sejak 1931, saat perusahaan itu membeli deposito mangan di Oriente, Kuba.

Setelah belerang, terus menambang Mangaan (Mg), Freeport pun di era 1950-an mulai bermain nikel dan kalium. Tidak tanggung-tanggung, di tahun 1955 Freeport menanamkan modal sebesar 119 juta dolar AS untuk membangun tambang nikel-kobalt di Moa Bay, Kuba dan kilang di Pelabuhan Nikel, Louisiana.

Usaha Freeport tidak sia-sia. Terbukti, sejak 11 Maret 1957 hingga 30 Juni 1965 , pemerintah AS menandatangani kontrak pengadaan nikel dan kobalt yang diproduksi Freeport. Setahun sebelumnya Freeport juga mengincar bisnis migas. Tahun 1958 Freeport sudah bisa menjual penemuan ladang minyak di Louisiana sebesar 100 juta dolar AS.

Sayang, bisnis nikel dan kobaltnya hancur saat Fidel Castro sukses menggulingkan Batista di Kuba, tahun 1960. Semua pertambangan yang dikeduk pihak asing, termasuk Freeport terkena nasionalisasi. Namun lepas dari Kuba ternyata Freeport mendapatkan mangsa yang lebih besar, tak lain cadangan emas yang begitu besar di pegunungan Jaya Wijaya. Cadangan itu ditemukan Tim Geologi Freeport yang menjelajah hutan Papua sejak awal 1960-an.

Dalam temuannya, Tim Geologi Freeport mencatat, setidaknya ada 33 juta ton tembaga di Eastberg, Papua, dan mengklaim sebagai tambang terbesar yang pernah ditemukan di dunia. Gayung pun bersambut. Pemerintahan Indonesia sudah berganti dari tangan Soekarno yang dianggap pro Komunis ke tangan Soeharto yang lebih akomodatif terhadap Amerika. Ujung-ujungnya, 7 April 1967 bertepatan tahun dengan dikeluarkannya UU PMA, Freeport mendapat konsesi lahan di bumi Papua.

Sebenarnya, sudah sejak 1966, Freeport McMoran mendirikan PT Freeport Indonesia PT FI). Berkali-kali pula PT FI menegosiasikan kontrak dengan pemerintah Indonesia agar memberi konsesi di Eastberg. Apa lagi sejak 1963 bekas wilayah Hindia Belanda itu sudah masuk Indonesia. Tapi upayanya mentok karena Soekarno bersikukuh dengan garis ekonomi berdikarinya.

Setelah sukses mendapatkan konsesi dari pemerintahan Soeharto dan terus diperpanjang hingga sekarang, berdasarkan survei majalah Fortune 2008, Freeport McMoRan berada pada posisi 140 untuk perusahaan dengan pendapatan terbesar. Pendapatan Freeport McMoRan sebesar 17,0876 juta dolar AS dan Laba sebesar 2,997 juta dolar AS.

Posisi pertama dipegang oleh Wall Mart dengan nilai penjualan sebesar 378,799 juta dolar AS dan keuntungan sebesar 12,731 juta dolar AS.

Berdasarkan profit margin (rasio laba dibagi pendapatan), posisi Freeport McMoran berada di posisi 32 dengan rasio laba terhadap penjualan sebesar 18%. Posisi ini nomor dua di kelompok pertambangan setelah Occidental Petroleum (19%)

Freeport McMoran adalah perusahaan raksasa dengan total aset per Desember 2011 (laporan tahunan Freeport) sebesar 32,07 miliar dolar AS atau Rp 288,63 triliun (kurs 1 dolar AS = Rp 9.000) atau hampir 1/5 APBN 2012 yang sebesar Rp 1.435,4 triliun.

Freeport Masuk Indonesia

Tepatnya 7 April 1967, beberapa minggu setelah dilantik sebagai Pejabat Presiden RI, Jenderal Soeharto memberikan izin kepada sebuah perusahaan pertambangan Amerika Serikat, Freeport Sulphur (kemudian Freeport McMoran) untuk mengeksploitasi pertambangan tembaga dan emas di Gunung Ertsberg, di Kabupaten Fakfak, Propinsi Papua.  Izin ditandatangi dalam sebuah Kontrak Karya (KK).

Pembangunan sebuah tambang terbuka dimulai pada Mei 1970, dan pada pertengahan 1973 tambang baru Ertsberg dinyatakan beroperasi penuh.

Sejak itulah, Freeport mengoperasikan tambang emas terbesar di dunia. Pada 1982, Freeport menjadi produsen emas terbesar di dunia dengan memproduksi 196.000 ons troy (6.100 kg) emas di tahun pertamanya.

Kekayaan perusahaan ini berasal dari persetujuan izin penambangan untuk 30 km². Perusahaan ini memiliki hak penambangan eksklusif selama 30 tahun untuk wilayah tersebut dari saat pembukaan tambang (1981). Pada 1989 lisensi pertambangan diperluas 25.000 km². Freeport kemudian berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS.

Dalam Laporan Keuangan 2009, Freeport McMoRan melaporkan penjualan tembaga sebesar 4,1 miliar poun (sekitar 1.8 miliar kg) dan penjualan emas sebesar 2.6 juta ons (sekitar 74 ribu kg). Dari penjualan tersebut, tambang di Papua menyumbangkan sekitar 34% untuk tembaga dan 96% untuk penjualan emas.

Saat ini Freeport Indonesia menguasai mayoritas saham (90,64%) sedangkan pemerintah Indonesia hanya kebagian 9,36%. Devidennya pun hanya setara dengan APBD Kota Palembang. Itu pun masih menunggak Rp 350 miliar. Kenyataan itu menghina rasa keadilan kita sebagai sebuah bangsa. Anehnya pula, pemerintah Indonesia enjoy-enjoy saja.


Tulisan: Gatot Wahyu (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar