Jumat, 20 Juni 2014

Konspirasi Jahat Pertambangan

PR untuk Jokowi-JK dalam hal Tambang Negara



Sejak Indonesia belum merdeka, masyarakat di kepulauan Nusantara sudah mengenal pertambangan. Awalnya, kegiatan penambangan tradisional dilakukan penduduk lokal setempat, ada diantaranya yang mengantongi izin penguasa setempat, seperti raja atau sultan. Besarnya potensi pertambangan itu menggoda minat VOC, maskapai perdagangan Belanda yang sudah menancapkan kuku di kepulauan Nusantara, untuk melakukan riset yang mendalam tentang potensi minyak di bumi jajahannya.
Tak lama setelah itu, sejumlah perusahaan minyak asing berdatangan ke Indonesia. Konsekuensinya, para penambang tradisional dengan peralatan sederhana tersingkir. Bahkan kini, setelah 67 tahun Indonesia Merdeka, 85% pertambangan dikuasai penambang-penambang asing.
Sektor hulu migas pun, kini 80% sudah jatuh ke tangan asing. Raksasa minyak Chevron (USA) menguasai 44%, disusul Total (Perancis) 10%, Conocophilips (USA) 8%, dan Pertamina sebagai BUMN milik Indonesia hanya kebagian 16%. Selebihnya, 8% dikuasai perusahaan-perusahaan asing lainnya dan 4% oleh perusahaan minyak swasta nasional.
British Petroleum Statistical Review juga mencatat, dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional, dan sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan lokal. Kenyataan itu sungguh menjelaskan, betapa tidak berdaulatnya Indonesia di bidang energi.
Bila minyak sudah jatuh ke tangan asing, bagaimana pula dengan sumber daya mineral lainnya? Parah!
Di Kalimantan Tengah (Kalteng) saja, tercatat 20% luas lahan pertambangan dikuasai asing. Perusahaan-perusahaan penambang itu bisa memiliki banyak konsesi. Di Kalteng saja misalnya, terdapat lebih dari 675 perusahaan pertambangan dengan luas lahan yang digarap sekitar 3,78 juta ha. Dari jumlah itu, sekitar 20 perusahaan diantaranya merupakan milik asing dengan luas lahan yang digarap 720.000 ha. 
Sejumlah perusahaan China dan India berhasil menguasai tambang-tambang skala kecil. Para investor dari kedua negara itu membiayai perusahaan tambang lokal yang terancam gulung tikar. Keduanya diketahui memang sangat agresif mencari sumber daya batubara sebagai pengganti minyak di luar negeri.

Penguasaan kekayaan tambang Indonesia oleh sejumlah perusahaan asing adalah penjajahan dalam bentuk lain. Betapa tidak, pengerukan kekayaan tambang tidak berbalas keuntungan apa-apa bagi bangsa ini, selain hanya meninggalkan penderitaan rakyat yang tak berkesudahan.
Kendati demikian, kerakusan asing bukanlah satu-satunya faktor yang patut dianggap sebagai biang keladi. Sebab praktik “penjajahan” sektor tambang ini terus berlanjut karena adanya konspirasi yang juga melibatkan pihak dalam negeri sendiri, baik oknum pejabat pemerintah, mafia lokal, atau perusahaan swasta dalam negeri. Kepemilikan saham mayoritas membuat perusahaan asing leluasa berkonspirasi dan mengkooptasi kebijakan-kebijakan pemerintah agar menguntungkan pihak mereka.
Sebut saja misalnya, perusahaan tambang emas raksasa PT Freeport Indonesia, saham mayoritasnya dikuasai oleh perusahaan asal Amerika (81,28%), sementara perusahaan lokal PT Indocoper Investama hanya memiliki saham 9,36%, dan pemerintah Indonesia 9,36%.
Hal yang sama terjadi pada PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Saham mayoritas (80%) dikuasai PT Newmont Mining Corp (Amerika), sisanya sebesar 20% dimiliki oleh PT Pukuafu Indah milik Yusuf Merukh. Kemudian PT Newmont Minahasa Raya, perusahaan tambang Amerika Newmont Indonesia Ltd ini menguasai 80% saham dan sisanya 20% dimiliki PT Tanjung Serapung.
Lalu PT Nusa Halmahera Minerals Ltd (PT NHM), perusahaan tambang jenis produksi emas ini berlokasi di Pulau Halmahera. Di Perusahaan ini Newcrest Singapore Holdings Pte Ltd (Australia) menguasai saham 82,5%, dan sisanya PT Aneka Tambang (Indonesia) 16,5%. Komposisi saham seperti di sebut tadi cukup menggambarkan kecenderungan memposisikan pihak lokal (swasta nasional dan pemerintah) sebagai antek semata.
Dan kecenderungan itu membuka lebar pintu konspirasi yang menguntungkan pihak asing dan pihak-pihak lokal tertentu. Di sinilah letak kejahatannya. Negara atau rakyat yang semestinya menangguk keuntungan dari kekayaan tambang, akhirnya justru menjadi pihak yang paling dirugikan.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang pernah dibentuk Presiden menemukan fakta yang menguatkan, yaitu bahwa persekutuan kekuatan kelompok pemodal (pengusaha) dan pemegang kebijakan (penguasa) melahirkan mafia-mafia pertambangan. Pada praktiknya persekongkolan jahat ini menyebar ke segala sektor terkait.
Maka terjadilah konspirasi terkait masalah perizinan, penggelapan pajak dan royalty, gratifikasi dan suap, pengingkaran domestic market obligation (DMO), penyerobotan lahan, tumpang tindih lahan pertambangan, ekspor ilegal, dan kerusakan lingkungan. Negara sangat dirugikan, dan lagi-lagi rakyatlah yang paling merasakan dampak kerugian itu. Di Kalimantan misalnya, ditemukan sedikitnya 1.869 perizinan tambang dan perkebunan berada di dalam kawasan hutan yang diterbitkan tidak sesuai prosedur.

Fakta di atas cukup menggambarkan betapa Pemerintah telah gagal sebagai regulator, dan hanya menjadi komprador serta pelayan pihak asing. Sehingga sejumlah pengamat dengan mudah mensinyalir bahwa dalam pertemuan Presiden Amerika Barrack Obama dan SBY di Bali akhir 2011 lalu terselip agenda intervensi negara Paman Sam itu dalam mengamankan dua perusahaan besarnya, yaitu Freeport dan Newmont.


 Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar