Rabu, 25 Juni 2014

Terjebak Ide-Ide Susupan Reformasi



PR ("pekerjaan rumah") yang perlu diselesaikan Jokowi-JK masalah "Udang" di balik Ratifikasi:

Reformasi yang berlaku di Indonesia, sesungguhnya, ungkap Hariman Siregar kepada merdekainfo.com, adalah konsep susupan (intruder). Aslinya yang diperjuangkan masyarakat Indonesia di era 1998 adalah revolusi, bukan reformasi. Tapi karena telah terjebak ide-ide susupan reformasi itu, maka terjadi proses liberalisasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk sejumlah produk perundang-undangan yang harus membukakan pintu lebar-lebar terhadap liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. 
Tidak mengherankan, ratifikasi sejumlah produk perundang-undangan dan berbagai macam perjanjian internasional yang telah dilakukan Indonesia lebih menguntungkan pihak asing. Sebut saja ratifikasi tentang perdagangan bebas, meskipun berlaku secara bertahap, dengan menghitung faktor-faktor daya saing produk dalam negeri yang menyangkut persoalan buruknya infrastruktur, biaya logistik, teknologi, sumber pembiayaan dan seterusnya, sudah pasti Indonesia kalah melawan Cina. Tapi anehnya Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) ditandatangani, dan hasilnya pun defisit perdagangan Indonesia ke Cina setiap tahun meningkat. 
Lebih mengenaskan lagi, para penggagas perdagangan bebas acap kali tidak jujur, misalnya adanya penerapan kuota untuk produk-produk garmen asal Asia di Amerika Serikat, sehingga saat produk- produk mereka boleh dijual bebas di sini, tapi produk garmen kita acap kali terbentur pembatasan kuota untuk dijual ke sana. Amerika juga menerapkan subsidi untuk produk pertaniannya, sehingga harganya lebih murah dari produk-produk pertanian kita. Itu pula yang menjelaskan harga kedelai dan jagung Amerika lebih murah dari harga kedelai dan jagung kita. 
Niscaya pula, barang-barang pabrikan yang beredar di dalam negeri lebih banyak produk asing, khususnya Cina. Proses Industrialisasi di Indonesia yang baru dimulai tahun 1970-an terancam roboh. Pertumbuhan sektor riil yang di era Soeharto bisa di atas 10%, dalam sepuluh tahun terakhir paling tinggi 4%, bahkan pernah mencapai angka minus. Produk pertanian pun yang masih diusahakan oleh sekitar 58% warga negara yang tinggal di pedesaan kini terdesak produk-produk pertanian impor, khususnya dari Cina, Amerika Serikat, Australia dan Thailand.
Inilah bentuk kolonialisme gaya baru yang disokong oleh negara-negara maju. Melalui kedok globalisasi perdagangan, negara-negara maju yang dimotori oleh Amerika dan negara-negara Uni-Eropa menerapkan skema global liberalisasi perdagangan kepada negara-negara Selatan yang dikenal masih terbelakang. Dibentuknya  World Trade Organization (WTO) yang dilakukan di Peru tahun 1994, nyatanya lebih menguntungkan negara-negara maju, dan dalam setiap pengambilan keputusan lebih banyak digunakan AS dan negara Uni Eropa untuk memperlancar kepentingannya.
Indonesia diincar asing bukan saja karena memiliki sumber bahan baku yang dibutuhkan bagi negara lain, tapi juga jumlah penduduk yang besar sebagai pasar potensial. Ratifikasi sejumlah undang-undang lebih memihak kepentingan asing, produk dan industri lokal yang dibangun berabad silam semakin terpinggirkan. Dominasi asing yang dilakukan oleh perusahaan multinational corporation (MNC) terhadap sumber strategis semakin tidak tergoyahkan. 
Masih tingginya kebutuhan bahan baku industri di negara maju, membuat mereka melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan bahan baku dengan cara menguasai sumber daya dari negara berkembang termasuk Indonesia. Juga untuk mengurangi surplus produksi, negara maju meminta kepada negara berkembang membuka pasar. Sementara itu, negara-negara berkembang yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi, tidak menyadari sejumlah sektor strategis mulai tidak lagi kompetitif. Terpuruknya sektor pertanian Indonesia lantaran harus menghadapi pertarungan dengan hasil pertanian negara maju, menandakan perdagangan bebas hanyalah menguntungkan mereka. 
Padahal dalam butir kesepakatan deklarasi Doha dinyatakan, tujuan perjanjian WTO dalam bidang pertanian, satu di antaranya adalah mengurangi hambatan dalam memasarkan hasil pertanian di masing-masing negara. Adanya perbedaan kekuatan ekonomi antarnegara yang tergabung dalam WTO,  merupakan sebuah konsekuensi bagi negara-negara yang melakukan rafikasi. Negara berkembang pun harus siap beradu dengan negara maju di arena  pasar bebas. Dan pada faktanya, negara-negara majulah yang memenangkan pertarungan itu.
Sejumlah pengkritiknya mengatakan, WTO hanyalah kendaraan negara-negra maju untuk memperluas pasar melalui perusahaan MNC yang dimilikinya. Selain mendapatkan profit, negara-negara maju itu sekaligus mengamankan kepentingan nasionalnya, karena adanya perluasan pasar atas produk-produknya di negara-negara berkembang. Yang paling diuntungkan dari persaingan ini adalah perusahaan-perusahaan MNC, karena dukungan pemerintahannya, mereka dapat menguasai dua pertiga perekonomian negara-negara berkembang. 
Dalam siding-sidang di WTO, Negara-negara maju yang dimotori oleh MNC, melalui tim lobi mereka selalu berusaha mendiktekan keputusan-keputusan organisasi perdagangan dunia itu. Liberalisasi  perdagangan telah membuka peluang yang besar untuk terus eksisnya MNC. Sedangkan WTO tidak lebih dari sekadar wadah penyaluran ego kolonialisasi untuk menjarah dan menguasasi sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang. Oleh karena itu, tidak aneh jika perusahaan MNC memiliki kepentingan yang sangat besar pada organisasi tersebut. 
Besarnya upaya mereka untuk melakukan intervensi kebijakan setidaknya dapat dilihat dari besarnya anggaran yang dikeluarkan perusahaan MNC. Pada tahun 2004 misalnya, sejumlah perusahaan MNC membentuk  group lobby di AS dengan menganggarkan dana sekitar USD13 miliar untuk mempengaruhi Kongres dan pemerintah AS. Antara 1998-2004, group Altria, perusahaan yang bergerak dalam industri makanan dan minuman, telah menghabiskan dana sebesar USD 101 juta untuk melobi pemangku kebijakan di AS. Pada periode yang sama, raksasa minyak ExxonMobil dan pembuat minuman Pfizer membelanjakan masing-masing USD 60 juta dan USD 44 juta. 
Melalui kekuatan dananya, gurita MNC berupaya memaksa berbagai kepentingan agar proses liberalisasi perdagangan global berjalan dengan mulus. Tatkala Indonesia melakukan penyusunan undang-undang selama reformasi berjalan, yang konsultannya menggunakan asing, tak terlepas dari intervensi perusahaan MNC. Yang sangat nyata adanya intervensi asing adalah saat Internasional Monetery Fund (IMF) memberikan advice penyembuhan ekonomi Indonesia yang sedang dilanda krisis 1997.   
Resep yang diberikan lembaga internasional yang bermarkas di Washington, AS, ini lebih banyak bermuatan kepentingan asing. Berbagai jargon ditawarkan ke negara-negara berkembang, tentang penciptaan kemakmuran bersama. Kadang kala disertai puji-pujian kepada negara berkembang yang telah mengiramakan kebijakan ekonominya yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya modal dan barang-barang asing ke negerinya. Kadang kala, lewat IMF, mereka memaksakan formula penyembuhan kepada negara-negara yang terbelit krisis itu, seperti Letter of Intent (LoI) yang sesungguhnya adalah pencaplokan aset-aset nasional melalui mekanisme perbankan.
Seorang anggota DPR mengatakan, ada sekitar 170 undang-undang yang dibuat sejak reformasi hingga kini yang dianggap in-kontitusional, karena disusupi kepentingan asing. Artinya, ada sekitar 80% undang-undang yang pro-asing, yang secara sadar telah merampok asset negara melalui rekayasa hukum yang tidak lagi sejalan dengan amanat UUD 1945.  Intervensi asing melalui undang-undang dilakukan pada  sektor-sektor startegis, seperti UU tentang Migas, Kelistrikan, UU Perbankan dan Keuangan, UU Pertanian, UU Penanaman Modal serta UU Sumber Daya Air. 
Sebuah sumber menyebutkan, pada saat Indonesia melakukan amandemen UUD 1945 juga ada dugaan bahwa kepentingan asing ikut bermain. UNDP dan National Demokratic Institute diduga ikut memberikan sejumlah dana untuk melakukan amandemen UUD 1945. Amandemen pertama dikucurkan dana sebesar USD 95 juta, amandemen kedua sebesar USD 45 juta, amandemen ke tiga sebesar USD35 juta, dan amandemen ke empat sebesar USD 25 juta. Juga terdapat sejumlah UU yang diduga kuat adanya intervensi asing di setiap masa kepemerintahan mulai dari Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan pemerintahan SBY.

Pemberian kemudahan dan perlindungan perusahaan MNC dapat ditelisik melalui perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS). Dalam perjanjian GATT disebutkan, akses nasional yang selama ini menghambat perusahaan asing (MNC) harus segera dihapuskan pada 2020. Khususnya masalah yang terkait dengan: Pertama, kemudahan masuknya bank asing untk beroperasi di suatu negara. Kedua, diperbolehkannya investor asing untuk dapat memiliki saham perbankan hingga 100%. Ketiga, keberadaan tenaga kerja asing.

Dalam komitmen AFAS yang dilakukan 1998, juga pemerintah Indonesia secara terang-terangan memberikan lampu hijau terhadap bank-bank asing yang akan membuka kantor cabang bank, maupun membuka bank patungan di sejumlah ibukota provinsi, antara lain Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Denpasar, Batam, Padang, Manado. Bahkan liberalisasi yang dilakukan Indonesia, menurut seorang pengamat, sudah diluar batas kewajaran. Kepemilikan bank domestik oleh investor asing dibatasi maksimal 49% pada GATT (51% pada AFAS), tetapi Indonesia memungkinkan kepemilikan hingga 99% setelah disetujui oleh pemerintah.
Agenda yang diterapkan IMF kepada Indonesia mengharuskan Indonesia melakukan pembenahan terhadap struktural perbankan melalui regulasi yang intensif dan bertahap. IMF bilang, agar Indonesia dapat lepas dari kisis ekonomi, syaratanya Indonesia harus melakukan liberalisasi sektor perbankan yang mengacu kesepakatan WTO.
Artinya, Indonesia harus mematuhi Leter of Intent (LoI) yang dibuat IMF, yaitu penggantian UU No. 10 Tahun 1998 yang menggantikan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan beberapa Paket Kebijakan Peraturan Bank lainnya, baru kemudian IMF akan memberikan sejumlah pinjaman. 
Masuknya sejumlah saran yang di lakukan IMF, Bank Dunia dan WTO tujuannya adalah agar tiga agenda besar paham neo-liberal dapat dijalankan, yakni pasar bebas dalam barang dan jasa, perputaran modal yang bebas, dan kebebasan investasi. Kredo neo-liberal ini ditanamkan kepada birokrat dan para ekonom di negara-negara yang masih ragu-ragu dan dikenal sebagai “anak manis”. Standar pikiran neoliberal harus dijalankan, seperti deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya.
Perusahaan MNC semakin bebas melakukan eksplorasi, menyedot keutungan untuk dikirim ke negara asalnya. Sejak UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diberlakukan, pembangunan Indonesia selalu ditopang dari datangnya arus investasi dari modal asing. UU ini dijadikan pintu masuk bagi perusahaan MNC untuk menguasai sektor strategis, akibat dominasi asing tersebut menimbulkan banyak pertentangan di kalangan tokoh-tokoh nasional, karena hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasi negara, kini sudah berpindah pengelolaannya. UU ini dinilai tidak senafas dengan UUD 1945, karena sebagian besar pasalnya dinilai sangat berpihak pada kepentingan pemodal asing.
Liberalisasi investasi sudah tanpa tedeng aling-aling lagi. Perusahaan MNC dimudahkan dengan adanya sejumlah pasal yang menyatakan, bahwa sektor strategis yang menyangkut hidup orang banyak dapat dikuasasi secara mayoritas oleh modal asing. Juga pemberian berbagai hak istimewa kepada pihak asing melalui perjanjian dengan negara.
Melihat begitu banyak penyimpangan undang-undang yang dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan amanat UUD 1945, sejumlah tokoh agama melakukan uji materi (judicial review) ke Makamah Konstitusi terhadap sejumlah UU yang dinilai merugikan negara, diantaranya UU tentang Migas, Kelistrikan, UU Perbankan dan Keuangan, UU Pertanian, serta UU Sumber Daya Air.
Seperti diketahui, UU Migas didugat ke MK oleh Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, Ketua MUI Amidhan, mantan Menakertrans Fahmi Idris dan politisi muslim, Ali Mochtar Ngabalin. Selain itu, ikut menggugat pula sebanyak 12 ormas Islam. UU Migas, dinilai sarat mengusung kepentingan asing, sehingga adanya UU Migas menjadikan sektor strategis ini dikuasai perusahaan-perusahaan raksasa perminyakan dunia.
Sejak era reformasi, Indonesia telah mendatangani sekitar 67 perjanjian Bilateral Investment Treaties (BIT), yang di dalamnya lebih banyak untuk kepentingan asing. Hampir seluruh isi perjanjian berisikan instrumen perlindungan bagi pihak asing. Indonesia telah memberikan berbagai bentuk kemudahan, fasilitas, di antaranya insentif pajak bagi kegiatan penanaman modal.
Pemerintah Indonesia kini telah terjebak dalam liberalisasi perdagangan global. Dengan “karpet merah”, pemerintah Indonesia menyambut kedatangan perusahaan MNC. Persoalan mendasar yang ada di depan mata, seperti keterpurukan sektor pertanian akibat akibat WTO dibiarkan begitu saja, yang sebenarnya lebih penting daripada sekadar menyambut datangnya investor asing yang diduga banyak menaruh kepentingan negaranya daripada membantu membangun kemandirian ekonomi sebuah bangsa.
Juga  membanjirnya produk-produk asing di pasar lokal. Ini merupakan dampak dari perjanjian globalisasi perdagangan, yang kurang disadari telah mendorong mayarakat  memuaskan libido berbelanjanya, khususnya terhadap produk merek asing. Di sisi lain, kalangan pengusaha nasional semakin sulit menggarap sektor usaha lain, seperti perbankan maupun migas, karena hampir semua sektor strategis kini sudah didominasi perusahaan asing.

Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar