Senin, 23 Juni 2014

Skema Penguasaan Asing Lewat Legislasi


Banyaknya gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap produk undang-undang pasca reformasi mengindikasikan adanya upaya inkonstitusionalisasi legislasi untuk kepentingan tertentu. Sejumlah pihak menuding rezim internasional berada di balik upaya tersebut. Tujuannya tak lain, yaitu penguasaan sektor-sektor tertentu untuk kepentingan ekonomi mereka.
Dari data MK, UU yang diuji materikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2011 ada 64 UU yang diuji oleh MK, lebih banyak dari tahun sebelumnya (2010) yang hanya 58 UU. Sementara untuk tahun 2012, dari bulan Januari-Oktober tercatat 52 UU diuji materikan.
Di antara UU yang diuji materi MK diduga memuat kepentingan asing terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Sebut saja misalnya UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas (Migas), UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, dan banyak lagi.
UU tersebut adalah sedikit dari produk perundang-undangan yang dihasilkan Pemerintah dan DPR yang dimohonkan untuk diuji di MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan, UU Ketenagalistrikan dan tiga pasal dalam UU Migas telah divonis bertentangan dengan konstitusi.
Jika dilihat satu persatu isi undang-undang yang diujikan itu, jelas menunjukkan betapa Pemerintahan pasca reformasi ini berusaha melakukan liberalisasi sektor-sektor ekonomi dan sumber daya alam secara masif di Indonesia. Parahnya, diketahui bahwa penyusunan UU tersebut melibatkan lembaga-lembaga donor dan pemberi pinjaman seperti USAID, Bank Dunia, ADB, dan IMF.
Keberpihakan Pemerintah terhadap liberalisasi juga terlihat dalam setiap persidangan uji materi di MK. Pemerintah dan para ahlinya selalu berargumentasi bahwa arah pembangunan perekonomian nasional harus disesuaikan dengan dinamika global.
Dinamika dimaksud yaitu peraturan perdagangan internasional lewat WTO, keterlibatan lembaga-lembaga keuangan multilateral dalam perekonomian global, serta dokumen-dokumen perjanjian global antarnegara. Pemerintah meyakini bahwa globalisasi merupakan tuntutan zaman yang tidak tidak perlu dihindari.
Pemerintah pun pada akhirnya menganggap bahwa cabang-cabang produksi yang dianggap penting dan strategis untuk melayani hajat hidup orang banyak, seperti migas dan mineral, tidak mengapa mengikuti skema pasar kendati cara pandang itu sangat merugikan rakyat banyak.
Dengan demikian kita bisa menarik kesimpulan, skema rezim internasional untuk menguasai kekayaan alam negara berkembang seperti Indonesia melalui legislasi dapat dikatakan berhasil dilakukan.

Skema Penguasaan
Deregulasi UU sumber daya alam tidak terlepas dari skema rezim internasional yang memaksa negara-negara berkembang menandatangani dokumen-dokumen ratifikasi dari tingkat regional hingga global. Indonesia termasuk negara yang aktif menandatangani berbagai perjanjian, baik di bidang investasi maupun perdagangan di berbagai tingkatan.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani sejumlah perjanjian untuk memfasilitasi kepentingan rezim global. Di level internasional, pemerintah telah menandatangani pendirian WTO dan selanjutnya meratifikasi pendirian itu melalui UU No.7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization.
Di level regional pemerintah meratifikasi Asean Charter melalui UU No. 38/2008. Pada tingkat ASEAN dengan negara sesama anggota ASEAN, kemudian ASEAN + 3 (China, Jepang, Korea Selatan), dan ASEAN + China, ASEAN + Jepang, ASEAN + Korea Selatan,  ASEAN + India, ASEAN + Australia, dan ASEAN + Selandia Baru.
Di level bilateral, pemerintah juga telah menandatangani berbagai Free Trade Area (FTA) seperti Indonesia dengan Jepang melalui IJEPA dan Indonesia-Uni Eropa melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
Selain itu, rezim internasional juga masuk ke Indonesia dengan difasilitasi perjanjian investasi yang disebut Billateral Invesment Treaty (BIT). Sampai saat ini setidaknya telah 67 dokumen BIT ditandatangani, selebihnya sedang dalam proses negosiasi, joint study group, dan tahapan lainnya.
BIT berisi skema perlindungan tingkat tinggi bagi investor, fasilitas, dan berbagai insentif di bidang perpajakan. Melalui BIT Pemerintah diwajibkan memberi perlakuan yang sama antara investor nasional, BUMN, dengan perusahaan asing. Bahkan, batas kepemilikan asing terhadap perusahaan nasional ditiadakan, dilarang melakukan nasionalisasi perusahaan asing tanpa kompensasi, memberikan jaminan asuransi kerugian atas resiko investasi asing, dan sejumlah mekanisme penyelesaian melalui arbitrase internasional.
BIT menjadi cara rezim internasional mengatur Indonesia dengan alasan globalisasi. Dengan cara ini pihak asing dapat mengontrol investasi mereka di negeri ini, bahkan lebih jauh mengontrol ekonominya. Mereka juga dapat menggugat Indonesia melalui arbitrase internasional yang mereka ciptakan  sendiri sebagai instrumen untuk memberikan sanksi dan pelanggaran terhadap rezim internasional.
Melihat gambaran ini memang wajar jika kemudian UU yang dibuat oleh pemerintah Indonesia merupakan turunan dari kesepakatan-kesepakatan yang telah Pemerintah tandatangani. Kendati UU yang lahir kemudian berlawanan dengan UUD 1945, Pemerintah akan habis-habisan mempertahankan argumentasi bahwa UU tersebut lahir di tengah tuntutan globalisasi yang tidak terhindarkan. Padahal, bukankah dengan begitu berarti kita telah kalah secara strategi dengan rezim asing, dan terpaksa bertekuk lutut di ketiak mereka? Sampai kapan?

Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar