Rabu, 11 Juni 2014

Harapan terhadap Jokowi-JK mengenai Kebijakan Politik



Stabilitas Politik
Langkah strategis awal yang harus dilakukan JW dan PDIP adalah melakukan stabilitas politik. Hal ini dilakukan melalui kebijakan politik yang dikuatkan dengan kebijakan di bidang hukum nasional (tertib hukum). Persoalan kekacauan Pilkada selalu berpotensi disharmoni dan disintegrasi, dan sangat mungkin menjadi kekacauan di regional, dimana Pilkada berlangsung. Hasil Pilkada telah melahirkan pemimpin, lebih dari 50% Kepala Daerah dipanggil KPK (korupsi). Dengan budaya transaksional akibat mashab korporatisme politik, hanya yang punya uang dan kekuasaan yang dapat menjadi Kepala Daerah. Jelas ini sistem rekrut yang keliru besar, mengatas namakan demokrasi sesuai mekanisme pasar. Kekacauan Pilkada mengakibatkan apatisme politik, dan sangat tidak mendidik. Hal itu dibarengi dengan amoralitis politisi, sehingga juga berurusan banyak dengan aparat hukum, bahkan SBY dan Partai Demokrat jatuh juga karena korupsi.
Stabilitas politik harus dikembangkan di awal kepemimpinan JW, dengan mengubah Undang-Undang Pilkada, dikembalikan dengan sistem musyawarah dan mufakat dalam perwakilan sesuai dengan perintah UUD 1945 melalui mekanisme DPRD. Selain itu stabilitas politik juga sangat menghemat beban APBN yang dapat dialokasikan untuk sistem rekrut pemimpin politik (kader bangsa).
Hanya Pilpres dan Pilkada untuk Kepala Daerah Tingkat I saja yang dipilih langsung. Hal ini membuat Kepala Daerah Tingkat II fokus pada pembangunan, bukan setiap hari hanya berpikir untuk mempertahankan diri sebagai incumbent. Hal ini juga akan melahirkan kader kepemimpinan bangsa yang lebih capable. Untuk itu rekrut DPRD harus melalui seleksi yang transparan dari perwakilan partai, serta mempunyai rekam jejak yang teruji dan jelas.
Pilkada ibarat permen yang diberikan pihak asing, seolah-olah demokratis tapi jebakan politik liberal agar Indonesia terkesan berdemokrasi, tapi terpecah-belah. Budaya asli politik kita adalah musyawarah dan mufakat, karena kita Bhinneka Tunggal Ika yang rawan unsur SARA dan tidak terbiasa menang-menangan. Stabilitas politik hanya dapat diwujudkan melalui tertib hukum. Maka dalam kebijakan hukum fokus pada kejahatan terorganisir, seperti korupsi, teroris, dan narkoba yang menjadi momok dan menggerus mental serta moral bangsa.
Berikutnya, mengembalikan fungsi MPR dengan pembatasan tertentu agar ada Lembaga Tertinggi Negara, agar tidak terjadi chaos dalam politik jika Eksekutif dan Legislatif berseteru, dan Yudikatif tidak dapat menyelesaikannya.
Bagi JW, agar lancar dalam menjalankan operasional pemerintahannya, perlu mengamankan Senayan (DPR), tapi berkoalisi secara taktis, tidak harus di kabinet. Kalaupun harus di kementerian non strategis di bidang kesejahteraan rakyat. Sekutu bersifat taktis dapat dilakukan dengan rekonsiliasi nasional setelah memerintah dengan prioritas persoalan negara di atas segala-galanya.

STRATEGI POLITIK PENGAMANAN DPR (Senayan)

  • PDIP deklarasikan JW sebelum Pileg, agar suara relawan JW ke PDIP.
  • Di luar kekuatan PDIP, bangun tawar-menawar politik dengan partai lain (tanpa koalisi)
  • Pilih RI-2 yang kuat: diterima di DPR (partai lain) dengan tugas khusus pengamanan Senayan (DPR)
  • Buat gugus percepatan pembangunan (untuk anggaran, pengawasan, dan legislasi) - Komunikasi khusus MOP (Management Office President) dan DPR
  • Buat gugus khusus DPR (PDIP + partai lain) untuk pemberantasan korupsi
  • Buat gugus khusus DPR untuk Tertib Hukum
  • Buat gugus khusus komunikasi informal/lobby di DPR (azas musyawarah dan mufakat)
  • Buat gugus khusus untuk Moratorium Nasional:

  1. Politik (musyawarah dan mufakat) 
  2. Ekonomi (Pasal 33 UUD 1945, ekonomi dikendalikan Indonesian Incorporated)
  3. Hukum (Tertib Hukum dan Stabilitas Nasional)
Ini langkah yang harus dilakukan JOKOWI-JK agar operasional pemerintahan lancar dengan hubungan yang harmonis dengan DPR. Membangun komunikasi politik dengan DPR suatu keniscayaan, dengan membuat gugus-gugus kerjasama parlemen secara informal antar fraksi tentang program-program besar, seperti: gugus anti korupsi, gugus kemandirian bangsa, gugus tertib hukum, gugus renegosiasi dan daulat ekonomi. Dengan demikian budaya musyawarah dan mufakat kembali menjadi dasar budaya politik yang memupuk rasa persatuan dan kesatuan di atas segalanya. Bukan budaya menang-menangan yang ditunjukkan DPR (10 tahun terakhir), yang rasanya janggal dan tidak cocok dengan sentimen budaya Indonesia. Jika politik stabil, hal ini akan membuat kita fokus pada akselerasi pembangunan yang pro-rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar