Kamis, 12 Juni 2014

Harapan terhadap JOKOWI-JK mengenai Pembangunan Hukum

SKEMA PEMBANGUNAN HUKUM

 



TUPOKSI PRESIDEN DI BIDANG HUKUM

Ada delapan prinsip negara hukum yang langsung menjadi tanggungjawab Eksekutif (Presiden), yaitu: Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law), Azas Legalitas (Due Process of Law), Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, Adanya jaminan perlindungan Hak Azasi Manusia, Democratic Rule of Law atau Democratische Rechtstaat, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara, dan pers yang bebas dan prinsip pengelolaan kekuasaan negara yang transparan dan akuntabel dengan efektifnya mekanisme kontrol sosial yang terbuka.
Berdasarkan delapan prinsip Negara Hukum tersebut, maka pemerintah mempunyai tugas dan kewajiban urusan pemerintahan di bidang hukum sebagai berikut:
  • Penegakan Hukum (Law Enforcement): penyidikan (Kepolisian, Kejaksaan Agung), Penentuan (Kejaksaan Agung, dan Lembaga Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan HAM).
  • Law Center (Legal Drafting/penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembuatan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden), {Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Kementerian Hukum dan HAM}. 
  • Law Administration and Services (Pendaftaran dan Perlindungan Hak Intelektual, Registrasi dan filling akta-akta pendirian Perseroan Terbatas/badan hukum dan akta-akta notarial, badan hukum partai politik) {Kementerian Hukum dan HAM}.
  • Regulasi, sosialisasi, dan pemantauan jaminan dan perlindungan Hak Azasi Manusia/HAM (Kementerian Hukum dan HAM). 
  • Kewarganegaraan dan Keimigrasian (Kementerian Hukum dan HAM).
Kelemahan dasar rezim SBY adalah di bidang hukum, sehingga hukum prosedural yang menjadi andalan neolib mengakibatkan terjadinya kolusi di bidang hukum peradilan. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang menimbulkan konflik dan keresahan sosial. Pilkada akibat Mahkamah Konstitusi berkolusi memenangkan pihak yang bermasalah, mengakibatkan terjadinya disharmoni sosial yang memunculkan disintegrasi sosial.
Kelemahan aparat hukum cenderung menularkan amoralitas publik jika berurusan dengan aparat hukum. Sehingga secara akumulasi membuat rasa ketidak adilan yang memuncak.
Solusinya cuma satu: “TERTIB HUKUM”, Law Enforcement tanpa pandang bulu, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Atas kondisi objektif di bidang politik dan hukum yang begitu buruk, JOKOWI perlu membentuk Kopkamtib untuk kejahatan terorganisir, khususnya korupsi, terorisme, dan narkoba. Selain itu, ketertiban dan disiplin nasional melalui pencegahan dan kampanye sosial menjadi Tupoksi dari lembaga ini. Berkoordinasi dengan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK akan efektif memberantas kejahatan terorganisir, khususnya korupsi. Hal ini akan kondusif untuk JOKOWI-JK dalam operasionalisasi pembangunan ke depan.

STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL


Secara teknis, JOKOWI harus mengembalikan fungsi Sekretaris Negara sebagai filter hukum – konsep yang dibuat Menkumham sebelum persetujuan DPR. Berikutnya harus ada treatment khusus mengenai aparat hukum yang berkolaborasi dengan mafia hukum.
Moralitas aparat hukum yang buruk, menimbulkan rasa ketidak-adilan di masyarakat, misalnya yang kita lihat sehari-hari di pengadilan. Rakyat mengamuk di ruang pengadilan karena rasa itu muncul secara stereotip, jika tidak sesuai dengan harapan publik tentu dinilai ada permainan hukum, dan masyarakat melawan serta membangkang.
Selain itu, dominasi pihak asing yang difasilitasi hukum dan Undang-Undang perlu ditinjau, serta direvisi. Karena jumlahnya ratusan dan derivatifnya melalui Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri, Peraturan Pemerintah, perlu terobosan hukum untuk mengubahnya. Jika tidak, akan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk merevisinya. Dominasi pihak asing dengan kepemilikan aset nasional, akan terus dipercepat oleh Undang-Undang yang diciptakan sesuai 50 butir LoI IMF dengan Pemerintah Indonesia di jaman Soeharto. Perlu dievaluasi kebijakan ekonomi yang ditimbulkan, apakah menguntungkan negara dan rakyat Indonesia? Jawabannya sudah jelas: “TIDAK”.
Kebijakan pemerintah reformasi (termasuk Megawati Soekarno Putri) yang dipaksa untuk privatisasi BUMN Strategis termasuk Indosat dan Telkom, adalah langkah yang sangat keliru. Itulah yang memfasilitasi penyadapan terhadap elit negara oleh pihak asing.
Industri strategis, termasuk bank (juga dibuat ketentuan) bahwa pihak asing boleh memiliki sampai dengan 99%. Sungguh kebijakan yang sangat liberal dan kebablasan. Saat ini sumber daya alam dimiliki pihak asing sebanyak 85%, perbankan 70%, hutan dan perkebunan 65%. Sungguh sangat menyakitkan perasaan rakyat Indonesia. Sangat aneh, negara kaya tapi rakyatnya malah miskin. Ketimpangan (kapitalis yang segelintir) menguasai aset nasional, sementara ada rakyat yang tak mampu hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya.
GDP yang mencapai Rp 10.000 triliun cukup besar, namun jika dimiliki pihak asing tentu tidak banyak berarti bagi rakyat Indonesia, hanya sekadar memperbaiki ekonomi makro. Kadangkala tidak berhubungan dengan ekonomi mikro (sektor riil), apalagi dengan rakyat Indonesia. Sudah saatnya kebijakan pemerintah pro-rakyat, agar bermanfaat langsung dengan kebutuhan rakyat Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar