Kamis, 19 Juni 2014

Nasionalisasi Freeport!



Selama 45 tahun Freeport bercokol di bumi Papua tidak memberikan manfaat apapun, baik bagi masyarakat Papua (lihat Ironi Papua) maupun Indonesia. Maka, berdasarkan data-data di bawah ini, cukup alasan bagi pemerintah Indonesia mengambil alih Freeport untuk kemakmuran masyarakat Papua khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Freeport McMoran sangat merugikan kepentingan negara dan sangat mengganggu rasa keadilan. Penerimaan negara dari royalti yang diberikan Freeport sangat kecil yakni hanya 1%. Selain menyumbang penerimaan negara yang tidak signifikan, eksplorasi tambang Freeport telah menimbulkan banyak implikasi yang luas di bumi Papua antara lain berbagai pelanggaran hak adat sekitar, pencemaran lingkungan, hingga keamanan.
Pada 2010 (sampai Juni), Freeport Indonesia telah membayar royalti sebesar 105 juta dolar AS. Total kontribusi mereka ke pemerintah Indonesia selama 2010 sebesar 899 juta dolar AS yang terdiri dari pajak, penghasilan, deviden dan royalti.



Secara total, dapat diringkaskan sebagai berikut:

Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah Kontrak Karya II ditandatangani) kontribusi mereka mencapai 10,4 miliar dolar AS (royalti sebesar 1,1 miliar dolar AS dan deviden sebesar 1 miliar dolar AS). Angka diatas sepertinya terlihat besar. Total kontribusi hampir mencapai Rp 90 triliun. Namun jumlahnya, sejatinya sangat kecil. Karena sebenarnya, kontribusi riil mereka adalah deviden dan royalti yang nilainya hanya mencapai sekitar Rp 18 triliun (selama 18 tahun).
Pada 2009, Freeport juga menjadi penyumbang ketiga terbesar dari sisi deviden ke pemerintah Indonesia. Namun sebagai pemegang saham 9,36% pemerintah mendapatkan deviden Rp 2 triliun. Sedangkan Freeport McMoran sebagai induk dari Freeport Indonesia (pemegang saham 90,64%) mendapat deviden sekitar Rp 20 triliun. Bayangkan jika dikali 100%, penerimaan Freeport mencapai Rp 2000 triliun. Padahal pemerintah hanya memperoleh pajak dan royalti 1%.

Kontribusi yang diberikan Freeport jelas sangat tidak adil, karena tambang yang dikeruk dari bumi Papua itu milik kita. Hasil tambang justru tidak dinikmati negara dan rakyatnya sendiri, Pemerintah sebenarnya merasakan ketidakadilan ini, sehingga menuntut adanya renegosiasi KK dengan Freeport.
Namun sejatinya, renegosiasi KK bukanlah inti dari persoalan. Karena ibarat sungai, KK hanya hilirnya, sedangkan hulunya adalah status kepemilikan perusahaan itu.  Untuk membersihkan sungai kita harus memulai dari hulunya karena mustahil sungai bisa terbebas dari kontaminasi jika hulunya tidak dibersihkan terlebih dahulu.
Merenegosiasi KK bukan langkah strategis karena ekses yang timbul dari KK hanya dampak (impact) berantai yang ditimbulkan oleh masalah kepemilikan perusahaan, yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh pihak asing. Oleh karena itu, kita seharusnya melangkah lebih jauh (stepping forward), yaitu dengan mengambil-alih kepemilikan atau menasionalisasi Freeport Indonesia. Nasionalisasi penting dalam rangka menegakkan supremasi atas kepemilikan sumber daya alam strategis sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.
Ada banyak alasan untuk menasionalisasi Freeport selain karena kontribusi dari royalti  yang sangat kecil. Pertama, Freeport nyata-nyata melawan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24/2012 mengenai kewajiban mendivestasikan sahamnya ke pemerintah hingga 51% dalam jangka waktu 20 tahun.
Kedua, KK yang dilakukan pemerintah pada 1967 dilakukan pada saat tatanan politik Indonesia sedang gamang karena baru terjadi pergantian tampuk pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Persetujuan KK diberikan oleh Soeharto yang mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dengan menerbitkan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Atas dasar UU inilah, pemerintah kemudian menandatangani KK dengan Freeport Indonesia pada tahun 1967 dan dilanjutkan pada 1991. UU 11/1967 adalah UU pertambangan yang sangat liberal dan akomodatif terhadap kepentingan kapitalis asing. UU ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemerintah untuk mengambil tanah rakyat atas nama konsesi pertambangan. UU tersebut telah diganti dengan UU No. 4/2009, dan Freeport Indonesia hingga saat ini sama sekali tidak mematuhi ketentuan yang disyaratkan dalam renegosiasi.
Ketiga, eksplorasi tambang yang dilakukan Freeport Indonesia di bumi Cenderawasih telah menimbulkan banyak masalah mulai dari berbagai persoalan lingkungan, pelanggaran hukum dan HAM maupun konflik sosial yang terus berkecamuk.
Keempat, emas, tembaga, dan perak  yang dieksploitasi oleh Freeport Indonesia adalah komoditas strategis (strategic commodities) dan memiliki nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Komoditas strategis ini seharusnya dikuasai negara, dan sesuai dengan amanat konstitusi, harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.



Tulisan: Gunawan Kusmantoro (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar