Kamis, 26 Juni 2014

Parpol Alpa Cetak Kader Pemimpin



Macetnya kaderisasi di tubuh partai politik membuat Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis kepemimpinan. Parpol yang semestinya menjadi “kawah candradimuka” bagi lahirnya pemimpin bangsa, tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Parpol tidak lagi mampu melahirkan pemimpin sesuai harapan rakyat. Bahkan, kini yang tampak tidak lebih seperti kumpulan para bandit yang haus akan kekuasaan.
Sejatinya, fungsi parpol sebagaimana digambarkan ilmuwan politik Indonesia Miriam Budihardjo, setidaknya mencakup empat fungsi. Yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik (political socialization), sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan sebagai pengatur konflik (conflict management).
Senada dengan itu, dua profesor ilmu politik Yves Meny dan Andrew Knapp juga menyebut bahwa fungsi parpol meliputi empat fungsi, yaitu mobilisasi dan integrasi, sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), sarana rekrutmen politik, dan sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Sementara itu, dalam UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik disebutkan, fungsi partai politik adalah sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat, partisipasi politik warga negara Indonesia, dan rekrutmen politik.
Terkait fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik, maka parpol merupakan kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin melalui mekanisme demokrasi. Sebagai sarana agregasi kepentingan yang berbeda-beda, parpol berupaya mengintegrasikan kepentingan yang beragam itu guna  mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan maupun mencari sosok pemimpin yang bisa diterima semua golongan.
Pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi mengatakan, parpol sebagai instrumen penting demokrasi menjadi tumpuan penting bagi kemunculan capres, caleg, cagub, dan jabatan lain yang strategis. Sayangnya, kata dia, selama tiga pemilu pascareformasi, Indonesia dihadapkan pada kenyataan, parpol sebagai sumber utama lahirnya pemimpin justru mengalami kemacetan luar biasa.
Demokrasi yang baik, salah satunya ditandai oleh parpol yang sehat. Namun selama ini, alih-alih parpol melahirkan pimpinan yang mumpuni, para kader parpol malah banyak terlibat korupsi. Parpol besar yang seyogyanya mampu menelorkan pemimpin muda, tidak mampu memenuhi tuntutan konstituennya, bahkan cenderung berkhianat. Jangankan menyodorkan kandidat pemimpin, mengurusi persoalan internal partai saja para kader parpol tidak becus.
Parpol banyak terjebak persoalan internal yang melibatkan para kader tak berintegritas. Bagi-bagi kekuasaan lebih banyak mewarnai dibanding membangun partai yang kuat, bersih dan dipercaya publik. Rekrutmen kader partai akhirnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga wajar jika kemudian calon-calon pemimpin yang disodorkan hanya orang yang itu-itu saja, alias muka-muka lama.
Pengamat Politik UI Ikrar Nusa Bakti menilai, demokrasi Indonesia secara riil baru berjalan selama 12 tahun. Proses politik memang masih terus bergulir. “Yang harus kita perjuangkan, jangan sampai depolitisasi berlangsung kembali sebagaimana terjadi pada era Orde Baru. Karena itu, saya tidak sepakat dengan calon presiden independen, partai politik sebagai soko guru demokrasi perlu dibantu untuk menjadi matang,” ujar Ikrar. Tentu, walau bagaimanapun kita tidak boleh mundur lagi ke masa lalu. Demokrasi harus terus dikawal agar menjadi matang, dan parpol berfungsi sebagaimana mestinya. 
Survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei dan penelitian belakangan ini, terutama tentang pemimpin Indonesia masa depan, menunjukkan betapa rendahnya kepercayaan rakyat terhadap parpol. Rekrutmen kader parpol dipandang sebelah mata. Akibatnya, banyak kader parpol kurang bisa menunjukkan perilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat. Masyarakat pun banyak menaruh harapan kepada tokoh-tokoh yang justru berada di luar lingkaran partai politik.


Kualitas Personal Tokoh Alternatif 
Menurut Opinion Leader
Nama
Skor (0-100)
Mahfud MD
79
Dahlan Iskan
76
Sri Mulyani Indrawati
71
Hidayat Nurwahid
71
Agus Martowardoyo
68
Djoko Suyanto
67
Gita Wiryawan
66
Chairul Tanjung
66
Endriartono Sutanto
66
Surya Paloh
64
Pramono Edhie Wibowo
64
Sukarwo
63
Puan Maharani
61
Kristiani Herawati Yudhoyono
60

Sumber: Survei LSI, November 2012
 


Hasil survei di atas, kendati belum mencerminkan pendapat masyarakat secara keseluruhan karena yang disurvei hanya kalangan tertentu saja, tetapi cukup membuktikan bahwa orang-orang di luar parpol justru mendapat tempat untuk dipercaya sebagai tokoh alternatif memimpin bangsa ke depan.

Pentingnya Sistem Rekrutmen
Sistem rekrutmen dalam parpol dianggap penting karena parpol adalah infrastruktur politik yang seharusnya memproduksi elite politik. Mestinya, elite yang muncul dari luar partai politik dipertanyakan kapabilitas kepemimpinannya.
Untuk itulah, rekrutmen kader parpol perlu dilakukan secara elegan dan transparan. Menyaring kader partai potensial yang memiliki kredibilitas, mengakar, lebih mengedepankan “kita”, bukan “aku”, serta memiliki wawasan kebangsaan.
Memang, Suzanne Keller (1995:87) dalam teorinya menyebut bahwa berkembangnya golongan elite politik disebabkan oleh empat proses sosial utama, yakni pertumbuhan penduduk, pertumbuhan spesialisasi jabatan, pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi, dan perkembangan keragaman moral.
Dengan berjalannya keempat proses itu, kaum elite akhirnya menjadi semakin banyak, semakin beraneka ragam, dan lebih bersifat otonom.
Teori itu ingin menegaskan bahwa kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat telah menyebar sedemikian rupa sehingga menuntut partai politik lebih terbuka terhadap tokoh-tokoh yang berada di luar lingkaran parpol.
Hal itu ada benarnya, sebab di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, di mana tradisi kepartaian belum berjalan kuat, rekrutmen kader parpol seringkali dilakukan hanya dalam beberapa kelompok tertentu saja. Dan biasanya berlangsung dengan pola-pola patronase. Pola ini sebenarnya mengulang sistem peninggalan rezim Orba yang melegalkan politik transaksional. Akhirnya terjadilah korupsi dan penyuapan atas nama kursi jabatan.
Pola kedekatan dengan sang patron dianggap sebagai pola yang lazim dilakukan dalam rekrutmen politik. Maka tak heran, jika rekrutmen kader parpol di Indonesia menjadi kurang berkembang, karena praktek-praktek semacam itu, nampak atau tidak nampak masih berjalan.
Sementara itu, politik di Indonesia mengalami perkembangan yang amat pesat sejak jatuhnya rezim Orde Baru. Pasca reformasi masyarakat semakin melek politik. Sayangnya, perubahan-perubahan politik tersebut belum diiringi perubahan kultur politik di dalam parpol, sehingga perubahan perilaku politik dan etika berpolitik tidak berkembang ke arah lebih baik.
Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar Akbar Tanjung berpendapat, tradisi rekrutmen guna menjaring dan memunculkan calon pemimpin bangsa harus terus dilakukan. Sebab, bangsa Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang kredibel dan mengakar pada Pemilihan Presiden 2014 nanti.
Itulah sebabnya, mantan aktivis HMI ini pernah membuka sistem konvensi untuk menjaring capres dan cawapres di masa dia menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Dan terbukti, Akbar sebagai ketua umum ketika itu harus rela melepas jatah capres kepada Wiranto, karena hasil konvensi menetapkan seperti itu. Padahal ketika itu, Wiranto terhitung tokoh di luar Partai Golkar. Fenomena ini, di satu sisi menunjukkan bahwa parpol semakin demokratis bahkan amat demokratis, namun di sisi lain bisa dilihat sebagai kegagalan parpol memproduksi kadernya kepemimpinannya.
Namun demikian, Akbar mengingatkan, ketika Indonesia sudah dua kali memilih presiden secara langsung, maka masa transisi politik sudah dilewati. Saat ini Indonesia telah masuk pada tahap konsolidasi demokrasi. Maka penting bagi parpol untuk menyiapkan pemimpin yang kuat, yang memiliki basis dukungan masyarakat. Karena bagaimanapun lahirnya sosok pemimpin secara konstitusional pada gilirannya adalah harus melalui parpol.
Memang partai politik harus terus melakukan inovasi untuk melakukan rekrutmen kadernya, sesuai dengan perkembangan politik dewasa ini. Namun, bukan berarti mengorbankan idealisme dan tujuan perjuangan partai itu sendiri.
Partai Golkar misalnya, sebagai partai yang sudah melewati beragam pergolakan politik, dan tentu amat berpengalaman dalam sistem kaderisasi, belakangan ini menyediakan 10 persen slot khusus untuk diisi para caleg dari luar partai.
Sepuluh persen itu dari total caleg Golkar sama dengan 56 caleg. Namun demikian, ada syarat khusus yang ditetapkan bagi orang luar Golkar untuk menjadi caleg dari partai itu, yaitu dia harus populer dan bisa menjaring suara rakyat. Ketua Umum diberi hak prerogatif guna menentukan 10 persen caleg Golkar dari luar itu. Ini memang hal baru di Partai Golkar, sebab selama ini partai tersebut mensyaratkan seseorang sudah berkiprah minimal lima tahun di Golkar jika dia ingin maju menjadi caleg.
Hal yang sama juga dilakukan PDI-P. Dalam menjaring calon anggota legislatif yang akan bertarung di Pemilu 2014, PDI-P Jawa Timur mencoba melakukan terobosan yang terbilang baru. Sebanyak 700 orang pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan anggota Fraksi PDI-P DPRD kabupaten dan kota se-Jawa Timur diwajibkan mengikuti psikotes. 
Langkah ini, menurut Wakil Sekretaris DPD PDI-P Jawa Timur Nugroho, dimaksudkan untuk mengukur  kemampuan, kepribadian, juga intelegensi bakal caleg. Psikotes diperlukan agar partai tidak salah memilih orang untuk diproyeksikan menjadi anggota Dewan. Sesuai pengalaman masa lalu, banyak penempatan kader partai di Komisi yang tidak pas. Misalnya, kader yang memilki kapasitas di bidang teknik ditempatkan untuk mengurusi bidang pertanian.
Banyaknya jumlah parpol memang tidak menjamin akan lahir banyak kader pemimpin yang baik dan berkarakter, jika sistem yang berlaku di parpol masih buruk, korup, dan tidak transparan. Apalagi, sejumlah masalah yang menyangkut integritas seperti korupsi dan perbuatan asusila justru banyak melibatkan para politisi muda yang seharusnya bisa diandalkan.
Apalagi, menurut Ketua Umum Aliansi Rakyat Untuk Perubahan, Rizal Ramli, fungsi parpol saat ini tak ubahnya taksi sewaan, yang menentukan tarif sebelum seseorang diantar sampai ke tempat tujuan. Untuk menjadi caleg hingga capres tergantung dari jumlah uang yang dimilikinya. Maka jangan heran jika kemudian parpol bisa menyodorkan pemimpin yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Pengamat politik CSIS J Kristiadi mengibaratkan parpol sekarang ini seperti besi bengkok yang tidak lurus dalam memberi pendidikan politik kepada masyarakat, juga dalam mencetak kader pemimpin. Parpol sudah kehilangan “roh” atau ideologi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Hasilnya adalah para pemimpin yang tidak dapat mewujudkan harapan rakyat. Jika tidak segera membenahi diri, ke depan parpol hanya akan menjadi kapal karam, sebuah kendaraan politik yang tanpa pergerakan dan tanpa penumpang.
 


Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar