Selasa, 24 Juni 2014

Jerat Liberalisasi Pasca Reformasi



Filsuf Eropa, Lord Acton (1934-1902) jauh-jauh hari mengingatkan “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Adagium itu diyakini benar oleh sejumlah kalangan ketika itu sebagai penyebab kusamnya kekuasaan Orde Baru yang kental dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu pula muncul gerakan reformasi.
Ternyata pula, di balik gerakan yang sejatinya bermaksud mengubah kondisi bangsa ini ke arah yang lebih baik, bebas dari praktek KKN, ditunggangi oleh beragam kepentingan, termasuk fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Fundamentalisme agama menyulut konflik kekerasan di Poso, Ambon dan maraknya kasus terorisme. Sedangkan fundamentalisme pasar terlihat dari praktik kebijakan ekonomi yang menjurus ke arah liberalisasi, deregulasi dan privatisasi.
Kedua kecenderungan itu sudah pasti bertentangan dengan amanah konstitusi. Gerakan reformasi yang sejatinya bertujuan baik itu dijadikan kuda troya bagi masuknya kepentingan asing ke berbagai sektor ekonomi strategis. Maka terjadilah liberalisasi hampir di semua sektor, termasuk perdagangan, finansial dan pengelolaan sumber daya alam.
Tidak aneh pula bila hingga 14 tahun perjalanan reformasi, elite politik yang ada telah gagal meyakinkan bangsa ini untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Alih-alih terjadi perubahan nasib, angka kemiskinan dan pengangguran sepertinya jalan di tempat. Informalisasi tenaga kerja yang sebenarnya sebagai wujud kegagalan negara dalam memberikan lapangan kerja, meluas. Konflik sosial terjadi dimana-mana. Maka muncul pertanyaan dari sejumlah kalangan di luar kekuasaan, mau dibawa kemana Indonesia?
Setelah gagap di awal-awal reformasi, para elite yang sebagian dilahirkan dari rahim gerakan reformasi, sekarang sibuk menebalkan bedak pencitraannya lewat iklan di berbagai media massa. Ternyata pula tidak sedikit di antaranya menikmati peran barunya sebagai komprador (calo/penghubung) kepentingan asing di sini. Sejak itu pula diciptakan istilah-istilah gagah seperti market friendly, iklim investasi dan sejenisnya yang sejatinya hanya untuk mendukung peran barunya sebagai komprador bangsa asing.
Sistem demokrasi yang menyediakan ruang terbuka bagi kompetisi antara para elit yang mempunyai kapital kuat, kemudian malah mengundang semakin banyak aktor internasional ikut masuk. Sebetulnya, masuknya aktor internasional dalam mempengaruhi kebijakan Pemerintah telah terjadi semenjak awal-awal era Orde Baru. Hanya saja, di masa reformasi intervensi internasional atas kebijakan itu berlangsung secara terbuka dan masif. Khususnya terkait keharusan Indonesia mengikuti arahan-arahan IMF melalui Letter of Intent (LoI), dan berbagai sarana lain, seperti program-program kebijakan reformasi yang ditawarkan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan sebagainya.
Intervensi rezim internasional yang begitu kuat dan luas disinyalir merupakan akibat pudarnya rasa percaya diri para elite, rendahnya komitmen terhadap konstitusi negara, dan pola hubungan yang cenderung menggantungkan diri kepada pihak asing, dalam hal ini kepada negara-negara maju, terutama terkait pendanaan.
Maka tak dapat dihindari, pasca reformasi penguasaan asing semakin menggurita, tak terkecuali pada sektor sumber daya alam (SDA), yang memang sudah menjadi incaran sejak lama.

Sektor Migas
Campur tangan asing terlihat mencolok misalnya dalam reformasi sektor energi, khususnya migas. Negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, sangat berkepentingan dengan migas Indonesia. Kenapa? Sebagai negara industri, migas merupakan energi penting untuk menggerakkan sektor industri di negara adidaya itu. Oleh karenanya, sejak revolusi industri di Inggris, bagi banyak negara di dunia, migas menjadi faktor penting dalam melakukan bargaining politik dengan negara lain di dunia, khususnya dengan negara-negara industri.
RUU Migas baru terlahir di era reformasi, dan banyak dipengaruhi oleh LoI dengan IMF yang terbit antara 1998-2001. Maklum, saat krisis 1998 Pemerintah Orde Baru meminta bantuan IMF. IMF memberikan bantuan kepada Indonesia dengan memberi pinjaman untuk pemulihan krisis ekonomi. Namun di balik itu, IMF punya agenda, yaitu mendesak pemerintah untuk membuat RUU Migas guna mereformasi harga energi dan reformasi lembaga pengelolaan energi, termasuk mereduksi peran monopolistik BUMN Pertamina.
Pertamina yang semula terintegrasi dari hulu ke hilir, kini diposisikan sebagai BUMN yang tidak memiliki power seperti sebelumnya. Pemerintah yang didorong IMF menginginkan liberalisasi sektor migas dengan membuka keran seluas-luasnya bagi investasi swasta, baik lokal maupun asing.
Di masa Presiden BJ Habibie, RUU Migas baru ini sempat mengalami penolakan dari DPR. RUU ini kemudian diajukan kembali pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika itu, yang mengajukan adalah Menteri Pertambangan dan Energi, Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah berhasil meyakinkan DPR untuk membahasnya. Pada era Megawati, RUU Migas disahkan menjadi UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Isi UU Migas sangat liberal, kerena mengusung norma-norma neoliberal sebagaimana disyaratkan IMF dalam dokumen-dokumen perjanjian sebelumnya. Norma-norma itu di antaranya divestasi, deregulasi, kompetisi, equal treatment (antara BUMN dan perusahaan asing), dan penyerahan harga pada mekanisme pasar.

Tabel LoI dengan IMF yang mendasari terbitnya UU Migas

Tanggal LoI
Tentang
11 September 1998
Menekan Pemerintah untuk melakukan sejumlah kebijakan, seperti divestasi BUMN
19 Oktober 1998
Membiarkan pergerakan modal lintas batas untuk menciptakan kepercayaan pasar
Pemerintah tidak membatasi repatriasi kapital bagi investor asing dan memberi kebebasan ekspor bagi mereka
13 November 1998
Rencana privatisasi 150 BUMN selama satu dekade ke depan, mulai sektor telekomunikasi, listrik, energi, dan penerbangan.
Pemberian otonomi bagi pengelolaan perusahaan, peningkatan kompetisi, pengetatan anggaran, dan penghapusan akses keistimewaan kredit bank
20 Januari 2000
Sektor ketenagalistrikan: merestrukturisasi PLN, menetapkan UU Ketenagalistrikan, membentuk badan pengatur independen, dan menetapkan kebijakan tarif progresif. Aturan-aturan dibentuk dengan tujuan mengundang investasi swasta dan memperbaiki efesiensi.
Sektor migas: merevisi dan memodernkan UU Energi, mereformasi dan merestrukturisasi Pertamina, meyakinkan agar aturan-aturan fiskal mengenai eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, menyelaraskan harga produk domestik dengan tingkat harga internasional, dan membuat kerangka kebijakan yang sehat untuk mendukung penggunaan energi secara hemat di dalam negeri. 
1 Mei 2000
Refromasi dan strukturisasi kebijakan harga energi jangka menengah.
Audit khusus dengan bantuan sejumlah BUMN dalam rangka program restrukturisasi tersebut
31 Juli 2000
Komitmen untuk melakukan sejumlah kebijakan khusus di sektor energi dengan mempercepat privatisasi dengan segera menyiapkan perangkat hukum bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor ini.
13 Desember 2001
Komitmen melakukan penyesuaian harga bahan bakar dengan harga pasar dunia


Sumber: Buku Kudeta Putih (Syamsul Hadi dkk:2012)

UU Migas kemudian lahir mewakili kepentingan asing dalam penguasaan sektor migas di Indonesia. Pertamina yang pada era Orde Baru memang penuh dengan korupsi, dijadikan alasan oleh DPR untuk “mengebiri” perusahaan nasional ini. Pertamina yang merupakan representasi dari kedaulatan nasional bukannya diperbaiki malah “dihukum” dengan lahirnya UU Migas itu.
Lalu apa yang terjadi? Perusahaan swasta, khususnya asing dengan leluasa masuk ke sektor migas di bumi Indonesia. Melalui UU Migas baru ini, Pertamina dipaksa bersaing dengan perusahaan lain, khususnya asing, untuk mendapat kontrak wilayah eksploitasi migas di negerinya sendiri.

Sektor Pertanian
Selain migas, liberalisasi juga terjadi pada sektor pertanian. Negara-negara maju memang amat berkepentingan dalam sektor ini. Wajar, sebab ketahanan pangan suatu negara ditentukan oleh produksi pertaniannya. Sementara, pangan merupakan kebutuhan dasar umat manusia, sehingga akan menjadi masalah krusial jika ketersediaannya tak dapat terpenuhi.  
Liberalisasi sektor pertanian menimbulkan dampak kesenjangan antara negara maju dan berkembang, serta peningkatan kemiskinan petani. Produk domestik dan ketahanan pangan di negara-negara miskin dan berkembang pun, pada akhirnya terancam, seperti yang terjadi di negara kita.
Kelimpahan bahan pangan di suatu negara bisa menjadi bargaining politik suatu negara terhadap negara lain. Oleh sebab itu, isu liberalisasi komoditas pertanian merupakan isu yang krusial bagi negara agraris yang tidak mampu menolak impor komoditas-komoditas pertanian yang seharusnya mampu dihasilkan di negeri sendiri, seperti Indonesia.
Sejak disepakati perjanjian perdagangan sektor multilateral di sektor pertanian yakni Agreement on Agriculture (AoA) pada tahun 1994, sejumlah negara, termasuk Indonesia, menyesuaikan kebijakan-kebijakannya. Di antaranya, perluasan akses pasar produk untuk pertanian melalui, pengurangan tarif, dan ratifikasi non tarif, pengurangan subsidi ekspor, dan penurunan subsidi domestik (domestic support).
Negara-negara maju menginginkan agar negara berkembang mengurangi atau bahkan mencabut subsidinya di sektor pertanian, dengan begitu akan memperlemah petani negara tersebut dan merusak sektor pertanian mereka sehingga secara perlahan produk-produk negara maju akan memasuki negara kecil. Hal ini persis seperti yang terjadi di Indonesia.
Sejak tahun 1998 hingga sekarang, Indonesia menjadi negara pengimpor bahan pangan terbesar di dunia, padahal pada pertengahan 1980-an Indonesia sempat swasembada beras. Pada periode 1998-2000, sebagai negara agraris Indonesia menjadi net importer bahan pangan rata-rata USD 863 juta per tahunnya.
Pertanyaan besar muncul. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya jelas, liberalisasi yang digagas Bank Dunia, IMF, dan WTO sebagai penyebabnya. Kekuatan asing secara terang-terangan dan masif mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian melalui deregulasi dan sebagainya.
Persaingan bebas antara negara kaya dengan negara miskin terjadi semakin nyata. Hasilnya, pasti sudah bisa ditebak, siapa yang akan menang dan kalah. Yang menang akan menindas dan yang kalah akan tertindas terus menerus.
Liberalisasi sektor pertanian ditandai dengan dikebirinya Badan Urusan Logistik (Bulog) yang merupakan BUMN di bidang pertanian. Bulog yang memiliki peran sentral dalam menciptakan ketahanan pangan nasional selama Orde Baru, harus kehilangan peran ketika statusnya sebagai State Tranding Enterprise (STE) dicabut pada 1998 setelah adanya kesepakatan dengan IMF.
Bulog tidak lagi memonopoli komoditas-komoditas strategis dalam sektor pertanian, seperti beras, gula, kedelai, gandum, jagung dan minyak goreng. Apa yang terjadi? Sektor swasta baik lokal maupun asing, kemudian ramai-ramai masuk mengambil alih penyediaan komoditas-komoditas pertanian tersebut.
Namun, semakin besar kekuatan swasta di sektor pertanian justru menciptakan kerentanan terhadap kedaulatan pangan di Indonesia. Swasta hanya berorientasi “mencari untung”, padahal pertanian bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Mereka lebih memilih menjual hasil pertanian ke pasar luar negeri daripada di Indonesia, jika itu dianggap lebih menguntungkan. Akibatnya, walaupun produksi pangan di Indonesia cukup besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tapi Pemerintah tetap saja harus melakukan kebijakan impor, karena sebagian besar hasil pangan dari para pelaku swasta justru diekspor ke luar negeri.
Kondisi ini diperparah lagi dengan kebijakan yang cenderung berpihak pada kapitalisme dan neoliberalisme. Sebut saja UU No. 25/2007 tentang penanaman modal yang isinya meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan agrarian. UU tersebut diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009, termasuk di dalamnya mengatur investasi pangan skala luas yang membuka jalan privatisasi dan monopoli sektor pangan menjadi semakin terbuka.
Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam membuat kebijakan hanya dititikberatkan pada asas ekonomi semata. Nilai-nilai keadilan dan kelestarian lingkungan tidak begitu diperhatikan. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat pun menjadi nomor sekian. Liberalisasi sektor pertanian juga berdampak langsung kepada petani. Ia ibarat mesin pembunuh yang membuat para petani tidak berdaulat atas dirinya sendiri.

Dari Konflik Sosial Hingga Disintegrasi
Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat menimbulkan banyak masalah sosial dan politik. Konflik terjadi antarkelompok masyarakat, baik dipicu kecemburuan ekonomi, perebutan lahan sebagai sumber mata pencaharian, hingga konflik politik yang memicu isu disintegrasi.
Faktanya, sejumlah daerah yang rawan konflik di Indonesia ternyata merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, sebut saja Aceh dan Papua. Liberalisasi pengelolaan sumber daya alam membuat masyarakat setempat tidak ikut menikmati kekayaan alamnya karena tidak dikelola oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Irosnisnya lagi, “perampokan” kekayaan alam itu terjadi setiap hari di depan mata kepala mereka sendiri, dan mereka tidak mampu berbuat apa-apa karena Negara mengizinkannya.
Hingga tahun 2012 menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ada sekitar 7.000 kasus sengketa lahan antara perusahaan perkebunan atau pertambangan dengan warga terjadi di Indonesia. Catatatan itu adalah jumlah yang terdaftar. Kejadian yang sebenarnya tentu lebih banyak.
Selama Januari-Juli 2012, Walhi mencatat 23 korban meninggal terkena tembakan. Dalam dua minggu saja di bulan Juli 2012 bisa terjadi 4 kasus sengketa lahan di berbagai daerah, yaitu di Ogan Ilir (Sumatera Selatan), Donggala (Sulawesi Tengah), Sumba (NTT), dan Tapanuli Selatan.
Konflik sejatinya dipicu oleh ketidakadilan. Oleh karena itu, selama kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lebih menguntungkan pihak asing dibanding masyarakat sendiri, maka konflik tidak akan pernah selesai, bahkan semakin mengancam keutuhan bangsa.
Kekecewaan rakyat akan semakin mendalam bersamaan dengan semakin terangnya fakta bahwa kemiskinan di Indonesia ternyata banyak terjadi di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, namun asing mengelolanya. Jika di biarkan, bukan tidak mungkin kasus Timor-Timur akan terulang lagi di belahan bumi Indonesia.

Data Kemiskinan di Wilayah Tambang
Kabupaten Bengkalis
Tahun 2010 jumlah penduduk di Kabupaten yang banyak memiliki tambang emas ini sebesar 498.335 jiwa. Meski tingkat kemiskinan di kabupaten ini tergolong rendah bila dibanding kabupaten/kota lain di Provinsi Riau, namun secara absolut jumlah penduduk miskin selalu meningkat. Tahun 2010 penduduk miskin mencapai 325.485 jiwa.
Kabupaten Kutai Timur
Meski secara prosentase penduduk miskin relatif mengalami penurunan di kabupaten kaya sumber daya alam migas ini, namun secara absolute jumlah penduduk miskin selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 29.200 jiwa di kabupaten berpenduduk 253.847 jiwa ini.
Kutai Kertanegara
Kutai Kertanegara adalah kabupaten yang kaya akan hasil tambang, khususnya migas. Namun, kemiskinan masih menjadi persoalan di kabupaten ini. Hal tersebut terlihat dari data BPS selama 5 tahun terakhir, angka kemiskinan Kukar dari tahun 2007-2009 terus mengalami penurunan dari 12,59% hingga  8.03%. Namun, tahun 2010 terjadi peningkatan secara jumlah jiwa dan persentase menjadi 54.700 jiwa atau 8,69%.
Kabupaten Minahasa
Minahasa juga merupakan wilayah yang kaya hasil tambang. Pada tahun 2011 Pemda Kabupaten Minahasa berhasil menekan angka kemiskinan menjadi 7.93%. Baik dari segi penurunan absolut maupun presentase, keduanya mengalami penurunan pada tahun 2011. Namun, jika melihat segi kesejarahan, tingkat kemiskinan Kabupaten Minahasa bergerak fluktuatif secara absolut. Pada 2007 angka kemiskinan di minahasa mencapai 10.31%, sementara tahun 2008 sebesar 9%. Di tahun 2009, angka kemiskian turun menjadi 8.47% atau 25.700 jiwa, namun di tahun 2010 angka kemiskinan kembali naik menjadi 9% atau 27.700 jiwa dari jumlah penduduk 309.878 jiwa.
Provinsi Papua
Jumlah penduduk Provinsi Papua sekitar 2.833.381 jiwa. Provinsi ini menjadi provinsi termiskin dari tahun ke tahun dengan tingkat kemiskinan di atas 30%. Pada 2011, tingkat kemiskinan di tanah penghasil emas itu sebesar 31,98% dengan jumlah penduduk miskin sebesar 944.790 jiwa. Meski secara persentase kemiskinan menurun, tetapi secara absolut jumlah penduduk miskin bertambah dari tahun sebelumnya. 
Tahun 2007 tingkat kemiskinan Provinsi Papua mencapai 40,78%  atau 793.400 jiwa, sementara tahun 2008 menjadi 37,08% atau 733.100 jiwa. Tahun 2009 kemiskinan meningkat menjadi 37.01% atau 760.300 jiwa dan terus meningkat menjadi 760.600 jiwa, namun presentasi menurun menjadi 36,80%.
Kabupaten Sumbawa
Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sumbawa cenderung mengalami penurunan, namun tingkat kemiskinan kabupaten ini dari tahun 2007 hingga 2010 tetap berada di atas tingkat kemiskinan provinsi dan nasional.
Tahun 2007 tingkat kemiskinan Kabupaten Sumbawa sebesar 28,78% atau 122.012 jiwa. Tahun 2008 turun menjadi 25,31% atau 109.632 jiwa, sementara tahun 2010 menjadi 104.980 jiwa atau 23,85%.  Tahun 2010 kembali terjadi penurunan menjadi sebesar 21,75% atau 90.400 jiwa dari 415.789 jiwa.
Artinya, tingkat penurunan angka kemiskinan, itu pun data BPS yang metodologinya diubah-ubah dan disesuaikan dengan selera penguasa, tidak sebanding dengan kekayaan alam yang dikuras. Kalau kekayaan alam itu sudah habis, kegiatan ekonomi yang kucuran uang beredarnya tidak seberapa itu, seperti halnya kota Lhokseumawe, Aceh, juga pasti berakhir. Apa kondisi itu juga diperhitungkan oleh para komprador yang duduk sebagai pengambil kebijakan?
Itulah sebabnya, tidak sedikit kalangan yang menyambut baik dicabutnya pasal-pasal dalam Undang-Undang yang ditengarai disusupi oleh kepentingan asing oleh mahkamah konstitusi. Sebab, sebagus apapun proposal yang ditawarkan pihak asing, berdasarkan data-data di atas, cukup menjelaskan tidak membawa manfaat apapun bagi kemakmuran rakyat Indonesia, selain hanya menggendutkan kekayaan para komprador di bumi pertiwi ini.

Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar