Senin, 23 Juni 2014

Kembali ke Semangat Pasal 33



Sejak dilahirkan, UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, tidak pernah dilaksanakan secara konsisten. Bahkan di awal 1960-an, UU ini “dibajak” Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menebarkan pengaruhnya, terutama di desa-desa. Karena user pertamanya PKI, maka UU ini dinilai sejumlah kalangan berbau komunis.
Tapi sesungguhnya, hanya UU No. 5/1960 ini yang sesuai dengan semangat Pasal 33 UUD 1945, karena UU ini nyata-nyata melindungi kepentingan bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang angkasa. UU ini juga mengatur secara tegas tentang penguasaan dan kepemilikan tanah, lebih menjamin produktivitas tanah, serta mencegah terjadinya kepemilikan tanah secara berlebihan kepada perusahaan atau perseorangan, sehingga tanah tidak dijadikan obyek perburuan riba pemilik maupun penguasanya.
Sebut saja Pasal 6 UUPA, tegas menyebutkan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial’, dan Pasal 7 UUPA yang menegaskan “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan,” serta simak juga Pasal 9 ayat (1) hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2, dan 9 ayat (2) tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Toh demikian, meskipun ada ketentuan maksimal tentang penguasaan dan/atau kepemilikan tanah, namun dalam UU ini disebutkan, petani tidak boleh semena-mena mengambil paksa tanah yang dimiliki tuan tanah sebagaimana dilakukan PKI di awal 1960-an. Sebab proses yang dikenal dengan sebutan land reform itu mesti juga merujuk kepada Pasal 17 ayat (3) “Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikandung dalam pasal-pasal UU No. 5/1960, dapat disimpulkan bahwa UUPA sesungguhnya yang paling sejiwa dengan Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33 yang mengatur tentang kekayaan bumi, air dan kekayaan di atasnya yang dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Namun, kenapa UU No. 5/1960 tidak pernah dilaksanakan secara konsisten? Bisa jadi, karena sebagai UU Pokok maka dibutuhkan pengaturan yang lebih operasional, baik itu mengenai tata ruang, pertanian, perkebunan, reformasi agraria (land reform), pemanfaatan kekayaan alam, penanaman modal dan sebagainya. Nah, di pengaturan yang lebih operasional itu terjadi benturan antara ketentuan pokok dan ketentuan operasional.
Sebagai contoh, sebut saja terbitnya UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang dalam Pasal 22 membolehkan perusahaan asing menguasai lahan hingga 95 tahun, dan itu bisa diperpanjang. Itu yang menyangkut persoalan tanah. Sedangkan persoalan bidang usaha, pada Pasal 12 UUPM ayat (1) semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Di sini tidak jelas tentang penguasaan negara atas sumber daya alam.
Jiwa yang melahirkan UUPM jelas bukan Pasal 33 UUD 1945, melainkan semangat liberalisasi, privatisasi dan deregulasi yang mengemuka di awal abad ke-21 ini. Peraturan dibuat dengan bahasa yang lentur sehingga memungkinkan, (1) terbitnya peraturan-peraturan yang akhirnya bertentangan sama sekali dengan UU pokoknya, dan (2) memicu terjadinya moral hazard di lingkungan pejabat yang diberi kewenangan membuat petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis).
Undang-undang No. 25/2007 sendiri merupakan Undang-Undang hasil revisi dari dua undang-undang penanaman modal yang sudah lama berlaku di Indonesia selama kurang lebih 40 tahun, yaitu Undang-Undang No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11/1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 1/1967 tentang PMA dan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12/1970 tentang Perubahan dan Tambahan UU No. 6/968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Pemberlakuan kedua UU itu yang kini digabung dalam UUPM terbukti telah melahirkan kemakmuran bagi segelintir orang dan memarginalkan sebagian besar orang lainnya. Contohnya petani, kini penguasaan lahannya semakin menyempit dengan rata-rata menguasai lahan 1/3 hektar. Bandingkan dengan suatu perusahaan perkebunan nasional yang di Riau saja menguasai lahan sekitar 600 ribu hektar. Atau Hartati Murdaya yang ditangkap KPK terkait penguasaan lahan secara ilegal seluas ribuan hektar. Itu baru di Buol, belum di daerah lain.
Berdasarkan sinyalemen Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto kepada harian Kompas, 56% aset negeri ini yang 87% berupa tanah hanya dikuasai oleh 0,2% penduduk Indonesia. Ironisnya pula, di tengah banyaknya petani yang membutuhkan tanah untuk mengembangkan produksi pertaniannya, terdapat 7,3 juta hektar lahan yang ditelantarkan oleh perusahaan yang menguasainya.
Lahirnya UU No. 25/2007 semakin memperkuat pandangan yang mengatakan adanya pembuatan 72 Undang-undang oleh DPR RI yang diduga kuat didikte kepentingan asing. Tidak mengherankan bila isinya tampak bertolak belakang dengan Pasal 33 UUD 1945. Kini penguasaan tanah oleh perkebunan, swasta nasional maupun asing, jauh lebih banyak bila dibandingkan zaman Belanda sekalipun. Wajar bila sebagian aktivis menilai ketimpangan penguasaan tanah sekarang ini disebut neo-cultuurstelsel.
Berdasarkan data BPS, penurunan kemiskinan di perdesaan yang sebagian besar hidup di sektor pertanian lebih kecil daripada di perkotaan. Penyebabnya, selain kebijakan impor pangan yang diakibatkan minimnya produktivitas tanah, juga antara lain karena kecenderungan terus mengecilnya penguasaan lahan. Tahun 1993 jumlah rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar mencapai 48,9% dari total rumah tangga di sektor pertanian. Persentase itu meningkat pada 2003 menjadi 56,4%. Keluarga petani yang memiliki lahan 0,5-3 hektar juga menurun.
Gejala di atas disebut Guru Besar Institute Pertanian Bogor (IPB) Bungaran Saragih sebagai kegagalan transformasi negara Indonesia dari agraris ke industri. Memang, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB kecil, hanya 15,8%. Namun mengingat 48% tenaga kerja hidup di sektor pertanian, bila ditambah yang bergantung secara tidak langsung mencapai 60%, kita masih negara agraris. Dalam situasi demikian, tampaknya tidak ada greget dari para elit pemimpin, baik Pemerintah maupun DPR untuk mengatasi persoalan ini. Bisa jadi, mereka telah kehilangan orientasi mewujudkan visi negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.
Ketimpangan kepemilikan lahan itu, kini melahirkan serangkaian konflik pertanahan di berbagai daerah. Ada kalanya pula konflik pertanahan itu memicu terjadinya konflik horizontal. Terutama antara petani yang kekurangan lahan pertanian dengan pegawai perkebunan yang menyandarkan hidup ke perusahaan.
Pemicu konflik, antara lain disebabkan ketidakjelasan regulasi lahan tanah yang kurang responsif dan berpihak pada kepentingan rakyat, terutama petani. Kurang optimalnya pemetaan fungsi lahan tanah secara jelas, baik untuk pertanian, kehutanan dan pertambangan. Dan yang ketiga adalah kurang optimalnya fungsi sosial tanah, baik untuk pengembangan sumber daya alam, sumber daya air dan sumber daya manusia.
Dengan hadirnya berbagai konflik pertanahan yang semakin rutin itu, Perlu dilakukan pelurusan kembali orientasi perundang-undangan sektoral yang dilakukan pada masa Orde Baru melalui UU No. 1/1967 tentang PMA yang kini telah diganti dengan UU No. 25/2007 dan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok di bidang Pertambangan. Kedua UU ini  membuka peluang bagi swasta asing terus mendominasi dalam pengelolaan sumber daya alam kita.
Di awal reformasi sesungguhnya sudah ada TAP MPR No. IX tahun 2001 yang menegaskan kembali agenda untuk meninjau semua peraturan perundang-undangan mengenai agraria dan sumber daya alam yang telah menyimpang dari UUD 1945 dan UU No. 5/1960, serta mengembalikannya pada dasar yang telah ditetapkan UUD 1945 terutama pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 serta UU No. 5/1960 (UUPA).
Namun upaya itu diganjal oleh kokohnya kepentingan asing yang memiliki kaki-tangan, bukan saja di pemerintahan pusat maupun daerah, melainkan juga di DPR. Maka, terjadilah berbagai penyimpangan terhadap UUD 1945 dan UU No. 5/1960, sehingga melahirkan konflik pertanahan akibat tumpang tindihnya peraturan yang satu dengan yang lain.
Terkait tanah, di bidang kehutanan pun muncul UU yang bertentangan dengan spirit UU No. 5/1960. Sebut saja UU No. 5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No. 41/1999 dan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam peraturan itu, pengelolaan hutan dan eksploitasi pertambangan banyak yang bertentangan dengan kebijakan hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA.
Akibat karut-marutnya perundang-undangan, BPN mencatat, sepanjang 2010 setidaknya terjadi 8.000 kasus agraria. Sedangkan tentang konflik agrarian, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dari tahunke tahun cenderung meningkat. Bila di tahun 2010 hanya 106 kasus, di 2011 sudah meningkat drastis menjadi 163 kasus. Di 2012 ini kemungkinan juga meningkat.
Tentang korban, sepanjang 2011 tercatat 22 jiwa yang melayang akibat konflik pertanahan. Konflik melibatkan 69.975 kepala keluarga, luas area konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163 kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor perkebunan (960%), 36 kasus di sektor kehutanan (22%), dan 1 kasus pada wilayah tambak atau pesisir (1%).
Jumlah konflik terbanyak diduduki Provinsi Jawa Timur dengan 36 kasus, Sumatera Utara 25 kasus, Sulawesi Tenggara 15 kasus, Jawa Tengah 12 kasus, Jambi 11 kasus, Riau 10 kasus, Sumatera Selatan 9 kasus, Lampung 5 kasus, dan sisanya tersebar di sebagian besar Provinsi di Indonesia. Itu baru data yang tercatat. Sedangkan yang tidak tercatat kemungkinan lebih besar lagi. 
Akankah persoalan di atas dibiarkan berlarut-larut? Tentu semua itu perlu diakhiri dengan satu pedoman yang menjadi kesepakatan kita berbangsa, yaitu apa pun perundang-undangan yang mengatur sumber daya alam, termasuk tanah, mesti merujuk ke Pasal 33 UUD 1945. Dan semoga, Mahkamah Konstitusi tidak segan-segan mencabut apa pun perundang-undangan yang bertentangan dengan itu. 


Tulisan: Marlin Dinamikanto (merdekainfo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar