Dekadensi akal pikiran merupakan bencana batin yang paling besar bagi
bangsa. Karakter bangsa menjadi lemah, imperialisme dengan
mudah menancapkan kukunya di bumi pertiwi.
(Bung Karno, 1956. Indonesia Menggugat: 129-133)
CALON presiden Joko Widodo (Jokowi) menulis bahwa kita memerlukan
revolusi mental sebagai paradigma baru dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan bangsa yang terus galau ini.
Menurut Jokowi, selama 16 tahun menjalankan reformasi, kita hanya
mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Pembangunan belum menyentuh
paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan
sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada
cita-citanya.
Revolusi mental itu berdasarkan konsep Trisakti Bung Karno, yaitu (1)
Indonesia yang berdaulat secara politik, (2) mandiri secara ekonomi, dan (3)
berkepribadian secara sosial-budaya. Revolusi mental harus dimulai dari diri
kita sendiri, lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja, kemudian
meluas ke lingkungan kota dan negara. Untuk itu, lanjut Jokowi, revolusi mental
harus menjadi sebuah gerakan nasional.
Empat aspek penting
Meski gagasan itu terasa masih mengambang, saya sependapat dengan
revolusi mental sebagai paradigma pembangunan mendatang. Pertama, ide ini
menukik pada simpul masalah dan penyumbat kemajuan bangsa selama ini. Masalah
utama bangsa sudah sangat jelas, yakni kualitas manusia yang kini lebih
”dikapitaliskan” dengan sebutan modal manusia.
Kita hampir tak memiliki masalah ketersediaan sumber daya alam dan
kuantitas penduduk sebagai basis perekonomian. Namun, karena manusia
diposisikan sebagai barang ekonomi belaka dan mentalitas tak pernah jadi fokus
serius pembangunan, berkembanglah aneka virus di jiwa yang menjadikan manusia
Indonesia bukan saja tak mampu menjaga dan memanfaatkan beragam kekayaannya,
melainkan juga jadi penyebab keterpurukan bangsanya sendiri.
Kedua, sejak Orde Baru, paradigma pembangunan kita selalu bertumpu
pada pertumbuhan ekonomi, meski begitu, kesejahteraan tak kunjung dirasakan
rakyat. Klaim-klaim kemajuan ekonomi hanya gelembung rapuh sehingga mudah
kolaps ketika diterpa krisis dan sukar pulih.
Soedjatmoko, di awal 1970-an, telah mengingatkan bahwa model
pembangunan ekonomi yang dijalankan itu tidak mengarah dan berakar pada
kebudayaan kita sendiri. Kemajuan yang dicapai tak memegang peranan dalam alam
pikiran bangsa kita, tak memupuk kepercayaan diri. Menurut Soedjatmoko,
kita perlu memandang pembangunan ekonomi dalam rangka kebulatan kehidupan
bangsa atau dalam kerangka kebudayaan kita.
Ketiga, revolusi mental menuntut perombakan sistem pendidikan nasional
secara fundamental, total, dan gradual. Pendidikan harus dinomorsatukan sebagai
episentrum perekayasaan kemanusiaan dalam gerak sentrifugal pencapaian tujuan
kenegaraan, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Ini sejalan dengan
konstitusi yang menetapkan negara harus memprioritaskan anggaran
pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
Dengan platform Revolusi Mental, pemerintah kelak tak sekadar
meneruskan apa yang ada, tapi juga berani mengoreksi kebijakan pendidikan kita
yang sangat parah, di antaranya kebijakan ujian nasional yang digagas dan
dibela dengan gigih oleh Jusuf Kalla. Selain itu, pemerintah nantinya tak
secara instan menjadikan berbagai gagasan yang sepintas tampak keren—seperti
daya saing, persentase pendidikan karakter, atau kementerian perguruan tinggi
dan riset—sebagai platform karena substansinya tak koheren, bahkan kontra
produktif dengan ide revolusi mental yang diinginkan.
Keempat, secara empirik, sejarah kemajuan bangsa-bangsa di dunia
sering kali diawali oleh revolusi mental yang terekspresi sebagai revolusi ilmu
pengetahuan, revolusi pemikiran, atau revolusi kebudayaan. Titik awal kemajuan
bangsa Jepang, misalnya, adalah Restorasi Meiji yang mengubah mentalitas
feodalisme ke arah modernisme melalui pendidikan. Malaysia, tetangga kita, di
era Mahathir Mohamad, melakukan gerakan ”Melayu Baru” mulai 1971 yang dibarengi
kebijakan ”afirmatif” ekonomi baru yang dikenal dengan New Economic
Policy. ”Tantangan terpenting dan tersulit adalah di bidang kebudayaan. Bahkan,
dengan kebijakan ekonomi dan peluang baru, perubahan ini tidak akan terwujud
tanpa pemupukan terhadap nilai-nilai baru tertentu... Modernisasi pikiran
merupakan prasyarat bagi modernisasi ekonomi,” kata Mahathir (1999).
Mulai dari pemikiran
Meskipun bukan representasi total kemanusiaan, rasionalitas tampaknya
merupakan esensi yang paling berpengaruh—di antara isi mental kita—pada
kualitas kita sebagai Homo sapiens. Dengan demikian, untuk revolusi mental
efektif harus dimulai dengan mengubah pemikiran.
Pertama, membangun jiwa merdeka. ”Revolusi fisik” atau
kemerdekaan telah dideklarasikan 69 tahun lalu, tetapi bilur-bilur keterjajahan
masih kentara dalam mentalitas kita yang terekspresi sebagai sikap dan
perilaku minder, tidak bertanggung jawab, dan berjiwa korup. Maraknya korupsi
di negeri ini di antaranya lantaran alam pikiran membayangkan pemerintah
dan negara sebagai kolonial sehingga merongrong pemerintah dan menggerogoti
uang negara tak dirasa sebagai kesalahan, bahkan sebagai kepahlawanan.
Untuk itu, sistem pendidikan nasional dalam segala ranahnya harus
dirancang sebagai upaya pemerdekaan yang menghapus fantasi keterjajahan melalui
kekuatan berpikir, kemandirian, rasa memiliki, dan tanggung jawab. Perubahan
pemikiran tidak akan terjadi sekiranya kita hanya meneruskan saja apa yang
berlangsung selama ini.
Kedua, menanggalkan mental feodal. Feodalisme tidak sekadar menunjuk
pada perilaku penguasa yang membuat jarak, despotik, dan minta dihormati,
tetapi juga pada karakter manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 1977) yang terus
dilestarikan sehingga menghalangi kemajuan. Gejala feodalisme tampak kian
menguat dalam berbagai tingkat kepemimpinan kita dewasa ini. ”Banyaknya
pimpinan saat ini bersifat feodal karena perlakuan rakyat atau bawahannya yang
menjadikan pimpinannya berperilaku feodal” (BJ Habibie, pidato pembukaan
Muktamar V ICMI, 5/12/2010).
Feodalisme di bidang politik dan pemerintahan telah mengerdilkan
jiwa kepemimpinan dan melahirkan birokratisme dengan segala bawaannya. Dalam
dunia pendidikan, feodalisme melemahkan pikiran dan menyebabkan kebodohan.
Sementara di bidang ekonomi, sosial, dan budaya akan melestarikan
ketergantungan dan diskriminasi atas dasar nilai-nilai primordialisme.
Beragam upaya demokratisasi harus dilakukan untuk meretas belenggu
feodalisme masyarakat, di antaranya melalui keteladanan dan menghidupkan
kamampuan berpikir kritis. Para pemimpin sekarang hendaknya belajar dari RM
Soewardi Soerjaningrat yang ketika berumur 40 tahun menanggalkan gelar
kebangsawanannya (Raden Mas) seraya mengganti nama jadi Ki Hadjar Dewantara.
Alasannya agar lebih dekat pada rakyat. Kepemimpinan yang mendekat dan
mendengarkan rakyat secara otentik hanya dapat diterapkan ketika
feodalisme ditanggalkan.
Ketiga, mengubah cara pandang terhadap kerja. Kinerja harus jadi
sebuah sistem nilai yang dianut oleh setiap anggota komunitas. Tidak seperti
tetumbuhan dan hewan, kehadiran manusia di dunia ini bukan untuk sekadar
bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia datang untuk
mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan martabat dirinya. Maka,
manusia harus bekerja dan mencipta.
Letak muruah dan kemuliaan manusia adalah pada karya yang bermanfaat
bagi kehidupan. Hanya bekerja keras dengan pikiran waras kedaulatan dalam
politik, kemandirian dalam ekonomi, dan kepribadian dalam sosial budaya akan
terwujud.
Keempat, reorientasi pemikiran agama. Tak dapat dipungkiri bahwa
pemikiran keagamaan sangat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat kita sejak
dahulu. Keberagamaan seyogianya memberikan dorongan dan arah bagi perilaku
produktif yang memudahkan dan memuliakan kehidupan serta kemanusiaan.
Namun, kenyataannya, agama sering kali dipahami sebatas
perkara eskatologis dan transenden yang melahirkan sikap setengah hati
terhadap keduniawian, fatalisme, dan mengutamakan ritual. Pemahaman yang tidak
proporsional terhadap substansi dan fungsi agama menjadikan agama sebagai
sumber kecemasan, konflik, dan ancaman terhadap kemanusiaan dan lingkungannya.
Revolusi mental akan menyempurnakan revolusi kita yang belum selesai.
Ini memerlukan kesungguhan dan pemikiran mendalam serta komprehensif. Jika
hanya pencitraan, sejarah akan menertawakan kita.
Tulisan:
Mohammad Abduhzen
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta;
Ketua Litbang PB PGRI