Banyak kalangan, khususnya para ekonom, masih berasumsi bahwa investor asing adalah tamu-tamu yang ramah
dan santun. Asumsi ini jelas jauh dari kenyataannya. Bahkan salah besar. Untunglah Multilateral Agreement on Investment (MAI) akhirnya tidak disetujui.
Andaikata MAI disetujui pastilah perilaku para kapitalis global akan merontokkan institusi apa pun
yang ada di dunia saat ini, baik global maupun lokal. Rencana besarnya, jika
rancangan persetujuan yang disusun oleh International
Chamber of Commerce, sebuah asosiasi pebisnis raksasa tingkat
dunia, akan dimasukkan dalam WTO. Dalam rancangan itu perusahaan swasta diberi
status legal seperti negara, yang dapat mengadakan perundingan setara dengan
negara (menurut sistem WTO perjanjian hanya terjadi oleh dan antarnegara, tidak
antarperusahaan). Perusahaan multinasionl (MNC) akan diberi hak untuk membela
kepentingannya terhadap keberatan yang diajukan oleh negara.
Da I Wibowo ketika masih sebagai Visiting Scholar pada CSEAS, University
of California, Berkeley, memaparkan lewat makalahnya, bahwa dalam rancangan
peraturan MAI yang gagal itu, antara lain, perusahaan multinasional dapat
menuntut sebuah negara jika negara itu mengesahkan undang-undang yang dapat
mengurangi profit yang bakal mereka peroleh.
Peraturan MAI juga mengizinkan investor
asing untuk menuntut negara jika negara menyediakan dana bagi program sosial
yang mereka anggap dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar bebas. Seandainya
sebuah pemerintahan ingin mengadakan privatisasi perusahaan milik negara, maka
ia tidak boleh memberi preferensi kepada pembeli domestik. Lalu, negara dilarang menuntut investor asing untuk
mendahulukan kandungan domestik, seperti mengangkat staf atau pekerja lokal, menerapkan affirmative
action, mengadakan transfer teknologi, dan sebagainya. Negara tidak boleh
membatasi jumlah keuntungan yang boleh dibawa pulang ke negara asal.
Negara-negara yang tergabung di bawah
bendera “Dunia Ketiga” segera mencium bau tak sedap dari
kertas persetujuan itu. Aktivis Kanada yang mencium pertama kali,
dan ketika memperoleh kertas rancangan itu, mereka segera mengedarkan ke
seluruh dunia lewat internet. Aktivis seluruh dunia bergerak. Para politisi
Kanada, Amerika Serikat, Perancis, dan Australia juga bergerak. Sulit mencapai
kata sepakat dalam WTO. Ketika batas akhir perundingan dilewati (Mei 1998),
rancangan itu tetap berupa rancangan. MAI gagal disepakati oleh WTO. Semua
orang di seluruh dunia bernapas lega, seakan dunia dibebaskan dari ancaman bom
nuklir yang mengerikan.
Agresivitas pengusaha dalam MNC memang
luar biasa. Jauh sebelum korporasi menjadi multinational corporation
(MNC), di negara yang paling kapitalis di dunia sekalipun, seperti AS, korporasi sudah ditakuti. Pada awal abad
ke-20 di Amerika terdapat 157 korporasi besar, di antaranya Coca-Cola, IBM,
General Electric, Eastman Kodak, dan Goodyear yang berkiprah menguasai ekonomi
Amerika. Keuntungan demi keuntungan mereka keruk tanpa mempertimbangkan faktor kemanusiaan.
Puncaknya adalah depresi besar, tak ayal, korporasi dituduh sebagai biang kerok
malapetaka itu. Hakim MA, Louis Brandeis, pada waktu itu memberi julukan kepada
korporasi model ini sebagai “monster Frankenstein” karena sedemikian menakutkan perilaku mereka.
Adalah Presiden Franklin D. Roosevelt yang berupaya mengatasi depresi besar dengan
menetapkan kebijakan yang dikenal sebagai New Deal. Intinya adalah negara
merantai korporasi. Mereka dibuat tidak leluasa lagi bergerak. Para kapitalis
tidak bisa menahan amarahnya dan langsung merancang sebuah kudeta. Seorang jenderal terkenal, Jenderal Smedley Butler, mereka
tawari untuk merebut kekuasaan di White House dengan dukungan dana melimpah.
Harap maklum, pada waktu yang sama, 1934, para kapitalis tengah merayakan
naiknya Adolf Hitler di Jerman dan Benito Mussolini di Italia. Pembantaian
orang Yahudi cuma program pertama di samping program kedua, yaitu pemusnahan
serikat buruh dan kelompok komunis yang menghalangi kebebasan pergerakan kapitalisme. Dengan logika yang sama, Jenderal Butler
dipandang sebagai kandidat yang cocok untuk menunaikan tugas itu.
Tentu saja rencana kudeta gagal karena
sang jenderal tidak sudi mendukung kepentingan korporasi yang dipenuhi nafsu
kerakusan. Roosevelt tetap menjadi presiden dan proyek New Deal berjalan terus,
bahkan bertahan hingga awal tahun 1980 ketika Presiden Reagan mengembalikan
kejayaan korporasi. Di bawah payung ekonomi neoliberal, korporasi di Amerika
kembali ke zaman keemasannya dengan menjalankan kembali
praktik-praktik kejam seperti menelantarkan buruh, mencemari
lingkungan, merusak kesehatan, serta menyuap politisi. Kasus Enron pada
tahun 2002 adalah pameran terbuka skandal korupsi oleh MNC yang terbesar dan
terburuk di AS.
Tahun 2004 barangkali dapat dicatat
sebagai kembalinya kritik terhadap korporasi yang sekarang sudah menjadi MNC
itu. Sebuah film dokumenter yang ramai dikunjungi penonton berjudul
Corporation, membongkar praktik-praktik busuk korporasi besar di AS. Sejajar
dengan film ini adalah film dokumenter lain yang lebih laris, Fahrenheit 9/11.
Kecuali merupakan kritik pedas terhadap kebijakan perang George W Bush, film
ini juga dengan blak-blakan menelanjangi tipu muslihat yang dipakai oleh
korporasi (Halliburton) untuk menguasai politik. Bayangkan, seorang presiden
negara adidaya pun bisa dibeli oleh MNC.
Buku demi buku selama lima tahun
terakhir ini diterbitkan untuk membuka kedok MNC. Buku yang ditulis oleh Ted
Nace, misalnya, secara terang-terangan menyamakan MNC sebagai “kelompok penjahat”. Bukunya sendiri berjudul “Gangs of America, The Rise of Corporate Power and the
Disabling of Democracy” (2003). Ada lagi “Thieves in High Places”, buku yang termasuk New York Times
Bestseller karya Jim Hightower. MNC di AS maupun di Eropa dan Jepang kini
sedang dihujat, menjadi sasaran dan bulan-bulanan kritik penuh kemarahan.
Kasus Newmont Sulawesi Utara, Freeport
di Papua yang hingga kini belum juga tuntas, juga kasus Indorayon di Sumut,
merupakan segelintir pengalaman pahit Indonesia dengan Multinasional Corporation.
Kasus pabrik garmen GAP yang direkam oleh John Pilger masih segar dalam
ingatan. Tapi semua itu barulah ‘menu pembukaan’ bagi sebuah aksi yang lebih besar jika MNC mendapatkan ruang
luas untuk berkiprah di Indonesia.
Benar seperti yang dikatakan oleh B Herry
Priyono beberapa waktu yang silam bahwa bisnis di zaman globalisasi sekarang
sudah menjadi “Leviathan baru”. Negara sudah kehilangan statusnya
sebagai binatang pemangsa yang ganas. Perusahaan multinasional telah
menggantikan status kebinatangan yang dilontarkan oleh filsuf Thomas Hobbes 300
tahun yang lalu. Zaman telah berubah, menjadi zaman ketika kekuasaan MNC
menundukkan kekuasaan politik, dan seorang CEO mendikte presiden.
Dengan catatan, ini tidak dimaksud agar Indonesia menutup diri terhadap investor
asing. Yang ingin dikemukakan di sini sederhana saja: Anda sedang mengundang
tamu macam apa? RUU Penanaman Modal jangan terlalu naif dalam memandang para
tamu yang berdasi itu. Sedikit salah langkah, kita akan terjerumus menggadaikan
masa depan Indonesia dan mewariskan nestapa bagi anak cucu kita untuk ratusan
tahun.
Kronologi Penanaman Modal Asing di Indonesia
|
|
1958
|
Pemerintah bersama DPR
mengeluarkan UU PMA No. 78 Tahun 1958.
Undang-undang memberi batasan modal asing pada lapangan produksi
melalui pembatasan jenis perusahaan di bidang strategis. Undang-undang ini berupaya secara optmal
melindungi kepentingan ekonomi rakyat dan kepentingan strategis bangsa dari
ancaman modal asing.
|
1960
|
Diadakan peninjauan
kembali UU No. 78 Tahun 1958 dengan dikeluarkannya UU No. 15 Prp Tahun 1960,
Dewan Penanaman Modal Asing menerima petunjuk dan bertanggung jawab kepada
presiden. Sebelumnya, DPMA bertanggung
jawab terhadap menteri.
|
1965
|
UU PMA No. 78 Tahun 1958
dan UU No. 15 Prp Tahun 1960 dicabut
oleh UU No. 16 Tahun 1965
tentang Pencabutan UU No. 78 Tahun 1958 tentang PMA yang telah diubah dan
ditambah dengan UU No. 15 Prp Tahun 1960.
Kebijakan baru ini menunjukkan watak revolusioner dan antimodal asing.
|
1966
|
keluar dari keanggotaan
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fond) dan Bank
Internasional untuk rekonstruksi dan pembangunan (International Bank For
Reconstruction and Development) dengan mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1966
|
1967
|
Di bawah Soeharto,
Indonesia gencar menarik investasi asing dalam bentuk PMA dengan menerapkan
kebijakan berorientasi pada ekonomi pasar melaui UU no. 1 Tahun 1967. Meski liberal, masuknya PMA tetap dibatasi
oleh negara yang memainkan peran aktif dalam meregulasi modal asing melalui
Badan Kordinasi Penanaman Modal dan membuat daftar yang tertutup untuk
penanaman modal asing. Namun demikian,
UU ini juga mencantumkan bahwa asing boleh memiliki saham di sektor strategis
maksimal 5%. Dengan demikian,
undang-undang ini telah membuka peluang keterlibatan asing di sektor
strategis meski dalam porsi yang terbatas.
|
1970
|
Pemerintah menandatangani
kesepakatan convention on the
Settlement of Invesment Disputes
|
1985
|
BKPM melakukan perubahan
kebijakan investasi baru, di antaranya jangka waktu persetujuan investasi
oleh BKPM dari 12 minggu menjadi 6 minggu.
|
1986
|
Pemerintah melakukan
perubahan secara mendasar terhadap UU No. 1 Tahun 1967, diantaranya relaksasi
pembatasan kepemilikan asing untuk perusahaan berorientasi ekspor, beberapa
sektor yang sebelumnya tertutup bagi PMA dibuka, termasuk perdagangan ritel.
Untuk memberikan
perlindungan hukum bagi investor asing, pemerintah telah menyepakati dan
menandatangani investment Guarantee Agreement (IGA) dengan 61 negara, the Investment Promotion and Protection
Agreement dengan 55 negara, perjanjian pajak dengan 55 negara.
Pemerintah bergabung
dengan The Multilateral Investment
Guarantee Agency (MIGA).
|
Tulisan: Iskandar Bakri (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar