Berakhirnya Kontrak Kerja Sama (KKS) operator asing di Blok Mahakam Offshore di 2017 nanti, sesungguhnya adalah momentum untuk mewujudkan “Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” sebagaimana amanat alinea II Pembukaan UUD 1945. Tapi alangkah ironisnya, semangat itu tampaknya telah benar-benar luntur dari benak dari para petinggi kita, khususnya para pejabat negara yang diserahi tugas dan tanggung-jawab mengelola sumber daya alam nasional.
Alih-alih rakyat dibuat makmur,
angka kemiskinan di Papua, NTB, bahkan Kalimantan Timur (Kaltim) sekalipun
seperti jalan di tempat. Sebut saja Desa Jonggon, di Kutai Kertanegara (Kukar).
Meskipun setiap hari ribuan barel minyak dan jutaan liter gas disedot dari
Delta Mahakam oleh operator asing yang bercokol di sana sejak 31 Maret 1967,
tapi masyarakat di desa itu belum menikmati listrik. Bukan hanya Desa Jonggon,
tapi juga di desa-desa lain di Kukar kondisinya hampir sama. Artinya, masyarakat
sekitar sama sekali tidak dibuat makmur oleh kehadiran Total dan Inpex di sana.
Padahal Pasal 33 UUD 1945 ayat
(2) sudah secara gamblang, tegas dan jelas menyebutkan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” Adakah ayat-ayat kerakyatan yang terkadung di dalam
Pasal 33, khususnya ayat (2) dan (3) itu masih bercengkerama dalam benak para
penyelenggara negara kita?
Minyak bumi dan gas yang
dihasilkan di Blok Mahakam, tentu saja merupakan cabang produksi yang penting
bagi negara dan sekaligus menguasai hajat hidup orang banyak. Bagaimana tidak?
Begitu kota-kota di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan telat pasokan
premium dan solar, dalam sekejap stasiun-satasiun pengisian bahan bakar umum
(SPBU) dijejali antrian berbagai jenis kendaraan. Itu artinya, minyak bumi
sangat dibutuhkan oleh orang banyak. Pemandangan ini terkesan menggelikan.
Bagaimana mungkin daerah penghasil minyak bisa terjadi kelangkaan atau
kehabisan premium dan solar? Itu memang karena negara tidak berkuasa atas
cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu.
Dan lebih dari itu, minyak dan
gas di Blok Mahakam adalah kekayaan alam yang dikandung di bumi Indonesia,
sudah selayaknya pula itu dikuasai oleh negara. Namun acap kali pula, istilah
“dikuasai” itu dipertentangkan dengan kata “dimiliki”. Menguasai belum tentu
memiliki, oleh karena itu “penguasaan” boleh oleh negara tapi “kepemilikan”
boleh siapa saja, termasuk operator asing yang terbukti di berbagai tempat di
Indonesia, menyengsarakan rakyat.
Adam Smith (salah satu pelopor
sistem ekonomi liberal), di zamannya mungkin benar, biarkan pasar bekerja
dengan sendirinya niscaya tangan-tangan tak terlihat akan bekerja memakmurkan
masyarakat di sekitarnya. Kalau pandangan Adam Smith itu benar, niscaya tidak
boleh ada perusahaan yang menggelontorkan CSR-nya atau Comdev-nya, karena tanpa
CSR atau Comdev pun masyarakat akan makmur dengan sendirinya.
Karena dengan adanya usaha akan
terbentuk pasar tempat bertransaksinya berjenis-jenis usaha lainnya, dari yang
gelap-gelap seperti prostitusi hingga penyediaan kebutuhan pokok sehari-hari.
Teorinya memang begitu, tapi karena pegawai Total dan Inpex beserta kontraktor
pendukungnya umumnya berasal dari tempat-tempat yang jauh, maka lebih banyak
uang yang ketendang ke tempat jauh ketimbang menggerakkan “tangan-tangan tak
terlihat” di Blok Mahakam. Boleh jadi pula, gaji pegawai sudah langsung
ditransfer ke istri-istri atau ke suami-suami yang tinggalnya jauh dari Delta
Mahakam.
Lagi pula, bagian terbesar
transaksinya, tentu bukan dalam bentuk gaji pegawai dan biaya produksi di
sekitar Blok Mahakam, melainkan berlangsung di belahan dunia lain dalam bentuk
jual beli saham atau dari perusahaan ke perusahaan yang lokasinya jauh dari
Delta Mahakam. Maka kemakmuran yang digerakkan adalah kemakmuran diantara
pelaku yang melibatkan diri dalam mata rantai bisnis, termasuk di dalamnya para
pemburu riba (rent seeker) dan itu
bukan masyarakat Dayak, Melayu, transmigran Jawa, atau perantau Bugis yang
banyak bermukim di sekitar Delta Sungai Mahakam.
Anehnya, teori Adam Smith itu
yang lebih bersemayam dalam pemikiran para ekonom kita, meskipun teori itu
terbukti gagal menggerakkan kemakmuran di Sumbawa, di Papua, di Duri Riau, dan
di banyak tempat lain yang dikenal kaya sumber daya alamnya. Sepertinya, teori itu juga bersemayam di
pemikiran para birokrat migas yang lebih banyak dihantui ketakutan bila
mengutamakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sendiri untuk mengelola sumber
daya alamnya secara mandiri.
Padahal, negara-negara yang kaya
sumber daya alam seperti Venezuela, Arab Saudi, Iran, China, Rusia dan lainnya,
lebih mengutamakan BUMN masing-masing dalam mengelola sumber daya alamnya. Jadi
pengelolaan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh
BUMN adalah sesuatu hal yang lumrah. Kenapa di negara kita hal itu bisa menjadi
nista? Tentu itu tidak terlepas dari pemikiran neo-liberalisme yang lebih gila
dari liberalisme klasiknya Adam Smith yang mulai bercokol di kepala
ekonom-ekonom muda Indonesia.
Bahkan Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Jepang, Jerman, dan negara-negara liberal lainnya, begitu kepentingan
nasionalnya terganggu, mereka akan bersikap. Kepentingan nasional mereka apa?
Paling tidak ada dua hal yang dianggap prinsip. Pertama, perlindungan warga negaranya di dalam maupun di luar negeri.
Kedua, keberlanjutan investasi perusahaan-perusahaan asal negaranya di berbagai
negara. Tidak mengherankan, anak teman saya, Ali Azhar Akbar yang lahir di
Amerika, setiap saat mendapat peringatan bepergian (travel warning) oleh kedutaan besar Amerika setiap ada masalah
terorisme, padahal, sudah sepuluh tahun anaknya menetap di Indonesia.
Mereka adalah negara-negara yang
(sungguh-sungguh) merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana
visi kenegaraan kita. Oleh karenanya mereka tidak pernah sungkan membela
habis-habisan kepentingan nasionalnya. Tidak aneh bila anggota Senat (DPD) atau
Kongres (DPR) Amerika Serikat, bahkan presidennya sekalipun, menitipkan
kepentingan perusahaan-perusahaan asal negaranya bila bertamu ke Indonesia,
atau sebaliknya pejabat kita bertamu ke sana.
Mestinya, seperti itulah yang
diperankan pejabat negara. Mereka bersedia bertarung untuk memenangkan
kepentingan nasionalnya. Sedangkan kepentingan nasional kita apa? Tidak jelas.
Pertamina mau maju mengelola Blok Cepu saja dihambat, bahkan direktur utamanya
dipecat. Akhirnya Blok itu jatuh ke Exxon. Sekarang saat Pertamina mau maju
lagi mengoperatori Blok Mahakam, belum-belum sudah dihambat oleh orang-orang di
Kementerian ESDM dengan pernyataan masih
membutuhkan operator asing, baik dari segi pembiayaannya maupun teknologinya.
Tidak hanya itu, Pertamina juga
dituding sebagai sarang koruptor. Kalau di sana ada kasus Petral yang memang
kental aroma korupsinya, itu bisa terjadi karena lingkungan kekuasaan yang
tidak beres. Bukan rahasia umum, para pemburu riba, sudah lama bercokol dalam
tubuh penyelenggara negara. Apalagi sekarang, politik mahal seringkali
dijadikan alasan bagi kader-kader partai politik ikut berlomba-lomba dalam
berburu riba. Jadi bukan salah Pertamina kalau di sana bermukim para koruptor,
tapi salah orang-orang yang merekrutnya untuk bermukim di sana.
Kalau benar Pertamina menjadi
sarang koruptor, berarti pejabat pemerintahan yang menempatkan orang-orang di
Pertamina itu yang mesti dikejar. Apa pertimbangannya menempatkan koruptor di
Pertamina. Kalau lumbung sudah jadi sarang tikus apakah lumbung itu yang mesti
dibakar? Itu perumpamaannya. Lagi pula sekarang ini ada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Karena Pertamina adalah BUMN strategis, termasuk juga
Kementerian ESDM, sudah pasti pula perlu pemantauan yang lebih serius dari KPK.
Intinya tidak ada alasan lagi
bagi Blok Mahakam untuk tidak diambil-alih Pertamina. Secara modal, kalau
barangnya sudah jelas dan ada, sebut saja cadangan migas Blok Mahakam yang
bernilai kotor Rp 1700 triliun, tentu bank-bank akan berdatangan. Begitu juga
dalam hal teknologi dan sumber daya manusia, dengan banyaknya insinyur
pertambangan, perminyakan, geologi, geodesi, dan lain sebagainya, yang
dihasilkan bangsa ini baik yang sekolah di dalam negeri maupun di luar negeri,
hal itu tentunya bukan suatu hambatan yang berarti.
Jadi persoalannya bukan di
permodalan atau teknologi, melainkan kemauan kuat (political will) para pemimpin bangsa ini untuk mewujudkan negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sesuai amanat konstitusi.
Kalau itu sudah tidak ada, artinya mereka diam-diam telah berkhianat untuk
kepentingan perusahaan-perusahaan asing yang dibelanya.
Kalau memang ingin berdaulat di
bidang energi, habisnya KKS Total dan Inpex di Delta Mahakam pada 2017,
mestinya dijadikan momentum untuk mengembalikan penguasaan blok-blok migas yang
selama ini sekitar 80% sudah dikuasai asing. Dan hal itu harus dimulai dari
Blok Mahakam
Tulisan: Marlin Dinamikanto (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar