Sejumlah kalangan mendesak, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (Migas) segera direvisi. Pasalnya, UU itu tidak menjamin pasokan Migas
di dalam negeri. Keuntungan bagi pelaku usahanya lebih diutamakan (profit oriented) ketimbang memenuhi
kebutuhan energi nasional dengan harga terjangkau dan berkelanjutan. Bila terus
dibiarkan, ke depan Indonesia rentan krisis energi.
UU Migas dinilai sejumlah kalangan bertentangan dengan
semangat pendirian bangsa ini. Malah menjadi tonggak liberalisasi dan
privatisasi sektor migas di Indonesia. Atas nama privatisasi, deregulasi dan
liberalisasi pula, maka Pertamina, selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
menyangga kepentingan nasional dikebiri hak-hak konstitusionalnya, dan
disetarakan kedudukannya dengan perusahaan-perusahaan asing yang memang berniat
menjarah kekayaan bangsa kita.
Problem mendasar UU Migas adalah terkait masalah pajak dan
birokrasi yang rumit. Selain itu juga terkait ketentuan Domestic Market Obligation (DMO), lifting minyak yang terus turun, realisasi investasi dan eksplorasi
yang anjlok sejak 1999, dan tidak ditemukannya cadangan di blok baru dalam 10
tahun terakhir. Dari berbagai masalah yang muncul, menjadi salah satu parameter
bahwa Pemerintah tidak mampu membangun konsepsi mengenai politik migas untuk
kesejahteraan rakyat.
Tidak mengherankan, bila sejumlah kalangan melakukan uji
materi (judicial review) UU Migas
(lihat Ramai-ramai Uji Materi UU Migas ke MK). Juli 2012 silam, misalnya,
organisasi massa Muhamadiyah di hadapan MK menghadirkan ahli seperti pengamat
ekonomi Ichsanudin Noorsy, mantan Menko Perekonomian dan Industri
Kwik Kian Gie, dan pengamat perminyakan Kurtubi, mengajukan uji materi UU Migas
ini. Pada 13 November 2012 sebagian gugatan uji materi itu dikabukan MK, dan
berujung pada pembubaran BP Migas.
Keputusan MK dinilai Kurtubi tepat, sebab BP Migas memang
bertentangan dengan konstitusi. Kurtubi meyakini, bila BP Migas yang memiliki
kewenangan luar biasa mewakili negara dalam kontrak kerjasama (KKS) dibubarkan,
niscaya industri Migas nasional menjadi lebih bergairah dan investasi
meningkat.
Pakar ekonomi Ichsanuddin Noorsy menganggap, dengan
berlakunya UU Migas yang sekarang,
pemerintah tidak berdaya dalam mengelola kebutuhan energi nasionalnya.
Krisis energi yang belakangan ini acap menimpa PLN dan sejumlah industri nasional
akan senantiasa berulang. Sebab, semua sudah dikendalikan oleh kepentingan
asing. "Bila tidak ada perubahan, sampai 2020 pun Indonesia akan (terus)
didikte oleh perusahaan minyak asing," tandas Noorsy.
Kwik Kian Gie juga menegaskan, UU Migas lebih banyak mengacu
kepada kepentingan asing. Pemerintahan, katanya, sudah dicuci otaknya oleh
asing. Pemerintah telah melakukan rekayasa pikiran dan pembohongan luar biasa
sehingga memungkinkan terjadinya kebijakan yang menguntungkan segelintir orang
dan merugikan banyak orang.
Pekerja Pertamina tidak tinggal diam. Lewat Federasi Serikat
Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan didukung oleh Konfederasi Serikat Pekerja
Migas Indonesia (KSPMI), keduanya membentuk
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) yang juga
turut mendaftarkan uji materi UU Migas ke MK.
Benidikty Sinaga, kuasa hukum IHSC pernah mengungkapkan, UU
Migas tidak menguntungkan bangsa Indonesia. Buktinya adalah terjadinya
penurunan produksi migas khususnya minyak bumi secara signifikan. Pada Januari
2012 misalnya, produksi gas mengalami penurunan menjadi sekitar 880.000 barel
per hari, atau turun jauh dibanding 2004 masih sekitar 1.3 juta barel per hari.
Dikatakannya, kapasitas kilang BBM stagnan selama lebih dari
15 tahun terakhir (pada level sekitar 1.050.000 bbls/hari), sedangkan kapasitas
kilang yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri saat ini
adalah sekitar 1.500.000 bbls/hari. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor minyak
mentah dalam jumlah besar dengan harga mahal. Tentu saja hal itu membebani
APBN.
Perubahan status Pertamina dari BUMN menjadi PT Persero juga
dianggap membuka peluang bagi diprivatisasi. Ujung-ujungnya negara tidak
memiliki alat lagi dalam mengontrol produksi dan distribusi minyak dan gas bumi
untuk kepentingan dalam negeri. Bahkan, gas sebagai sumber energi murah, ramah
lingkungan dan persediaannya melimpah, berdasarkan UU Migas, rentan dicaplok
untuk kepentingan asing.
Memang, terlepas dari keberadaan UU Migas yang membuka
peluang kongkalingkong antara perusahaan Migas asing dan pemburu riba (rent seeker), Pemerintah sesungguhnya
tidak memiliki blue print energi yang
jelas tentang kedaulatan energi. Sudah tahu, persediaan minyak bumi bakalan
habis, tapi tidak ada tanda-tanda mengoptimalkan sumber energi yang lain,
seperti panas bumi, batubara dan gas yang persediaannya masih melimpah.
Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar