Sebelum besar seperti sekarang,
rupanya Freeport pernah terusir dari Kuba akibat nasionalisasi. Yang ditambang
pun bukan emas, melainkan hanya sulfur atau belerang. Kini setelah
mengaduk-aduk dua gunung di Papua, Freeport McMoran Copper & Gold Inc tahun
2008 di posisi 32 perusahan tambang terbesar di dunia, dengan pendapatan
17,0876 juta dolar AS dan laba bersih 2,997 juta dolar AS.
Sebagai gambaran, diantara
ke-empat wilayah pertambangan Freeport yang tersebar di kawasan Amerika Utara,
Amerika Selatan, Indonesia dan Afrika, ternyata 92,64% (2011) emas untuk
Freeport McMoran disumbang dari bumi Papua. Jumlah itu memang menurun
dibandingkan data tahun 2010, 2009, dan 2007. Namun lebih tinggi dari data
2008. (Lihat Tabel Data Produksi Emas).
Berapa deviden yang diterima
pemerintah Indonesia di tahun 2011? Ternyata hanya Rp 1,5 triliun, itu pun
masih menunggak Rp 350 miliar. Saat ditagih oleh Dahlan Iskan, selaku Menteri
BUMN, dengan enteng Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI) Rozik B
Soetjipto menjawab belum bisa membayar. ”Pembayaran deviden tergantung kondisi
perusahaan. Jadi belum bisa dibayar sekarang,” ucapnya sebagaimana dikutip dari
Kompas, 18 September 2012.
Naga-naganya, tahun ini deviden
PT FI bakalan turun hingga sepertiganya, dari Rp 1,5 triliun yang belum dibayar
penuh tinggal Rp 500 miliar. Alasannya, operasional perusahaan belum pulih
setelah sempat terhenti di awal 2012. Tentu saja turunnya deviden dari Freeport
berpengaruh terhadap proyeksi deviden keseluruhan BUMN yang ditargetkan
mencapai Rp 32,6 triliun. Namun akibat turunnya deviden dari Freeport, target
itu diturunkan menjadi Rp 31,1 triliun saja.
Namun persoalannya bukan di
situ. Masa iya sih, Freeport yang di tahun 2011 lalu saja menghasilkan 1,272 juta
ons emas hanya bisa memberikan keuntungan Rp 1,5 triliun ke pemerintah
Indonesia? Itu pun masih mengutang. Duit Rp 1,5 triliun setara dengan APBD Kota
Palembang. Jumlah itu jelas tidak sepadan dengan kerusakan lingkungan di dua
gunung di Papua yang sudah pasti ditanggung pemerintah Indonesia dan masyarakat
Papua.
Sedangkan di sisi lain pula,
kekayaan Freeport McMoRan sebagian besar disumbang dari bumi Papua. Itu artinya
memang tanpa Papua, Freeport tidak ada apa-apanya.
Sejarah Freeport
Freeport McMoRan Copper &
Gold Inc. Cikal bakal perusahaan ini didirikan pada 1912 sebagai perusahaan
sulfur atau belerang, belum mengeduk emas seperti sekarang. Ekspansinya ke luar
Amerika dimulai sejak 1931, saat perusahaan itu membeli deposito mangan di
Oriente, Kuba.
Setelah belerang, terus
menambang Mangaan (Mg), Freeport pun di era 1950-an mulai bermain nikel dan
kalium. Tidak tanggung-tanggung, di tahun 1955 Freeport menanamkan modal
sebesar 119 juta dolar AS untuk membangun tambang nikel-kobalt di Moa Bay, Kuba
dan kilang di Pelabuhan Nikel, Louisiana.
Usaha Freeport tidak sia-sia.
Terbukti, sejak 11 Maret 1957 hingga 30 Juni 1965 , pemerintah AS
menandatangani kontrak pengadaan nikel dan kobalt yang diproduksi Freeport.
Setahun sebelumnya Freeport juga mengincar bisnis migas. Tahun 1958 Freeport
sudah bisa menjual penemuan ladang minyak di Louisiana sebesar 100 juta dolar
AS.
Sayang, bisnis nikel dan
kobaltnya hancur saat Fidel Castro sukses menggulingkan Batista di Kuba, tahun
1960. Semua pertambangan yang dikeduk pihak asing, termasuk Freeport terkena
nasionalisasi. Namun lepas dari Kuba ternyata Freeport mendapatkan mangsa yang
lebih besar, tak lain cadangan emas yang begitu besar di pegunungan Jaya
Wijaya. Cadangan itu ditemukan Tim Geologi Freeport yang menjelajah hutan Papua
sejak awal 1960-an.
Dalam temuannya, Tim Geologi
Freeport mencatat, setidaknya ada 33 juta ton tembaga di Eastberg, Papua, dan
mengklaim sebagai tambang terbesar yang pernah ditemukan di dunia. Gayung pun
bersambut. Pemerintahan Indonesia sudah berganti dari tangan Soekarno yang
dianggap pro Komunis ke tangan Soeharto yang lebih akomodatif terhadap Amerika.
Ujung-ujungnya, 7 April 1967 bertepatan tahun dengan dikeluarkannya UU PMA,
Freeport mendapat konsesi lahan di bumi Papua.
Sebenarnya, sudah sejak 1966,
Freeport McMoran mendirikan PT Freeport Indonesia PT FI). Berkali-kali pula PT
FI menegosiasikan kontrak dengan pemerintah Indonesia agar memberi konsesi di
Eastberg. Apa lagi sejak 1963 bekas wilayah Hindia Belanda itu sudah masuk Indonesia.
Tapi upayanya mentok karena Soekarno bersikukuh dengan garis ekonomi
berdikarinya.
Setelah sukses mendapatkan
konsesi dari pemerintahan Soeharto dan terus diperpanjang hingga sekarang, berdasarkan survei majalah
Fortune 2008, Freeport McMoRan berada pada posisi 140 untuk perusahaan dengan
pendapatan terbesar. Pendapatan Freeport McMoRan sebesar 17,0876 juta dolar AS
dan Laba sebesar 2,997 juta dolar AS.
Posisi pertama dipegang oleh Wall Mart dengan nilai penjualan sebesar
378,799 juta dolar AS dan keuntungan sebesar 12,731 juta dolar AS.
Berdasarkan profit margin (rasio laba dibagi pendapatan), posisi Freeport
McMoran berada di posisi 32 dengan rasio laba terhadap penjualan sebesar 18%.
Posisi ini nomor dua di kelompok pertambangan setelah Occidental Petroleum
(19%)
Freeport McMoran adalah perusahaan raksasa dengan total aset per Desember
2011 (laporan tahunan Freeport) sebesar 32,07 miliar dolar AS atau Rp 288,63
triliun (kurs 1 dolar AS = Rp 9.000) atau hampir 1/5 APBN 2012 yang sebesar Rp
1.435,4 triliun.
Freeport Masuk Indonesia
Tepatnya 7 April 1967, beberapa
minggu setelah dilantik sebagai Pejabat Presiden RI, Jenderal Soeharto
memberikan izin kepada sebuah perusahaan pertambangan Amerika Serikat, Freeport
Sulphur (kemudian Freeport McMoran) untuk mengeksploitasi pertambangan tembaga
dan emas di Gunung Ertsberg, di Kabupaten Fakfak, Propinsi Papua. Izin ditandatangi dalam sebuah Kontrak Karya
(KK).
Pembangunan sebuah tambang
terbuka dimulai pada Mei 1970, dan pada pertengahan 1973 tambang baru Ertsberg
dinyatakan beroperasi penuh.
Sejak itulah, Freeport
mengoperasikan tambang emas terbesar di dunia. Pada 1982, Freeport menjadi
produsen emas terbesar di dunia dengan memproduksi 196.000 ons troy (6.100 kg)
emas di tahun pertamanya.
Kekayaan perusahaan ini berasal
dari persetujuan izin penambangan untuk 30 km². Perusahaan ini memiliki hak
penambangan eksklusif selama 30 tahun untuk wilayah tersebut dari saat
pembukaan tambang (1981). Pada 1989 lisensi pertambangan diperluas 25.000 km².
Freeport kemudian berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar
dolar AS.
Dalam Laporan Keuangan 2009, Freeport McMoRan melaporkan penjualan tembaga
sebesar 4,1 miliar poun (sekitar 1.8 miliar kg) dan penjualan emas sebesar 2.6
juta ons (sekitar 74 ribu kg). Dari penjualan tersebut, tambang di Papua
menyumbangkan sekitar 34% untuk tembaga dan 96% untuk penjualan emas.
Saat ini Freeport Indonesia menguasai mayoritas saham (90,64%) sedangkan
pemerintah Indonesia hanya kebagian 9,36%. Devidennya pun hanya setara
dengan APBD Kota Palembang. Itu pun masih menunggak Rp 350 miliar. Kenyataan
itu menghina rasa keadilan kita sebagai sebuah bangsa. Anehnya pula, pemerintah
Indonesia enjoy-enjoy saja.
Tulisan: Gatot Wahyu (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar