Realitas politik saat ini, karena rakyat sebagai manusia akan
merasa terancam bukan saja oleh adanya pertikaian, paksaan, serangan fisik, dan
anarki, melainkan juga oleh perlakukan tidak adil, tidak jujur, dan tekanan
batin akibat dari lemahnya rezim
SBY-Boediono.
Sikap toleransi dan tenggang rasa yang
disemaikan sejak lama, pupus begitu saja diganti dengan meruncingnya sikap saling
curiga dan fanatisme sempit, serta kepentingan pragmatis, termasuk dalam pemilihan legislatif
yang lalu.
Jika yang ditangani (pertama kali) adalah masalah dengan
basis negara dan rasa nasionalisme, aparatur negara menjadi bersih dan berwibawa; kebobrokan akan menurun, tak mempan oleh
rayuan imbalan, sehingga masalah yang urgent pun ikut teratasi. Seharusnya
reformasi diharapkan seperti itu.
Sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan,
tentu jati diri (bangsa) baik adanya. Namun fase kehidupan dari waktu ke waktu
mengubah semuanya, dan
kenyataan hari ini jati diri bangsa tidak menempatkan dirinya di posisi yang
selayaknya.
Pemimpin yang ber-IQ tinggi, tetapi jika
EQ dan SQ rendah atau bahkan tidak ada, maka mata hatinya tetap akan tertutup, dan sikap hidup
untuk berkuasa harus dibayar dengan kehancuran moral, karena politik
bersifat transaksional.
Perkara membangun watak merupakan suatu
proses yang tidak ada hentinya (never ending process). Justru di saat
kekuasaan dilandasi transaksi dengan pihak AS, dan dominannya asing dalam kebijakan ekonomi
Indonesia. Sehingga
ideologi dan jati diri menjadi materialisme dan pragmatisme berdasarkan
kepentingan. Terlihat
dari koalisi ala PDIP tanpa syarat, baik jika pedomannya koalisi ala SBY. Tapi
secara substantif, sekutu yang dibentuk hanya sekutu taktis, bukan ideologis.
Pancasila pada hakikatnya adalah moral
bangsa Indonesia yang mengikat seluruh warga masyarakat, baik sebagai
perorangan maupun sebagai kesatuan bangsa, seharusnya menjadi pedoman dalam membangun budaya politik
di Indonesia.
Sementara itu, kebhinekaan adalah kekayaan bangsa yang perlu
disyukuri, bukan
untuk dipertajam perbedaannya, apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau
golongan. Tidak heran di era Soeharto, SARA
menjadi tabu untuk didiskusikan, karena persoalan diskriminasi belum selesai
tuntas.
Selama puluhan tahun kita merasa tidak wajib
turut membangun konsistensi nilai-nilai
moral di masyarakat
tentang kebhinekaan yang seharusnya. Kita seolah menutup mata bahwa dalam
mengajarkan moral juga melekat fungsi teladan. Saat ini jauh
panggang dari api. Semua
keputusan politik berdasarkan kepentingan semata.
Upaya pembentukan watak dari diri
sendiri (bottom up) bertujuan untuk menghasilkan panutan. Selanjutnya,
setelah ada panutan maka keteladanan ini perlu diimplementasikan secara top
down. Panutan
saat ini sebagai barang mahal. Mudah-mudahan
Jokowi dapat menjadi teladan dalam memimpin.
Seharusnya gaya kepemimpinan di Indonesia adalah demokrasi terpimpin,
dimana pengendalian adalah otoritas Kepala Negara (Heavy Executive),
sesuai dengan filosofi sistem presidential.
Tidak pada era SBY, karena menjaga kekuasaan sistem tumpang tindih,
sehingga tidak jelas antara Parlementer dengan Presidential. Terlihat tidak
tegas dan tergantung, sehingga SBY tidak “percaya diri” dalam setiap
pengambilan keputusan.
Pada era SBY-JK (2004-2009) tekanan JK lebih dominan karena berani
mengambil risiko, tegas, dan berani mengambil keputusan. Sesungguhnya itu juga
dilakukan Jokowi dengan pembangunan MRT dan monorail di Jakarta. Pemimpin
sebelumnya mulai dari era Sutiyoso, Fauzi Bowo, ditunda-tunda karena khawatir
dana tidak tersedia. Jokowi ambil risiko untuk tidak popular, dan nyatanya
berjalan lancar.
Kesalahan kita adalah membangun nilai
bahwa kepemimpinan itu tunggal, dan bahwa kepemimpinan itu identik dengan
kekayaan, bukan dalam konteks kultural dan moral. Sehingga kader kepemimpinan di Indonesia tidak melahirkan
kepemimpinan berwawasan negarawan.
Seorang pemimpin yang ideal adalah yang
memiliki kualifikasi dalam bidang pengetahuan, keterampilan, watak terpuji, jiwa,
kerohanian, spiritualitas,
tuntunan Ilahi; Sangat sulit
mencarinya saat ini. Jokowi
diharapkan dapat seperti itu; mampu mengatasi tekanan parpol di Senayan
nantinya, termasuk dari PDIP.
Kita belum juga berhasil menemukan kepemimpinan yang
besar; kepemimpinan
yang menjanjikan
dan mampu membuktikan janji kehidupan di masa depan yang lebih baik.
Ini tantangan besar Reformasi !!!
Jokowi menjadi harapan baru bangsa Indonesia setelah kita sangat kecewa
dengan SBY-Boediono.
Ada bagian dari masyarakat yang
merasakan dan mengalami bahwa keadilan hukum masih jauh dari apa yang diharapkan. Hukum bersifat
transaksional melalui hukum
prosedural normatif, bukan untuk rasa keadilan. Menjadi PR bagi Jokowi untuk menjadikannya Panglima dalam
memerintah kelak. Pola politik yang terjadi bukan lagi pola bottom
up,
melainkan top down, yakni ketika seseorang berfungsi sebagai panutan
bagi orang lain. Implementasi
semacam ini akan lebih mempercepat perbaikan karakter bangsa ini, sebagai bangsa
yang masih paternalistik.
Mudah-mudahan dengan karakter yang rendah hati, Jokowi mampu menjadi
Bapak Bangsa selain menjadi Kepala Negara.
Ketika memiliki karakter yang mulia, tetapi
nilai-nilai yang mulia itu tidak akan dengan sendirinya terpancar dalam
kehidupan kita sehari-hari seandainya kita “mengawinkannya” dengan tindakan-tindakan
yang bertentangan atau tindakan yang tidak mulia. Mungkin rekayasa Indonesia akan memberi ruang toleransi pada
Jokowi dalam hal ini.
Reformasi mestinya tidak hanya
menyangkut reformasi struktural semata tetapi juga menyangkut reformasi
kultural. Salah
satu aspek kultural adalah karakter manusia. Jokowi sudah siap melakukan revolusi mental membentuk wajah
dan karakter rakyat Indonesia baru. Ini kelemahan negara berkembang, karena
selalu terlambat membangun kapasitas SDM.
Menjadi seorang pemimpin, pada galibnya
adalah soal
penyiapan diri. Oleh
karena itu, tidak seorang pun yang tiba-tiba bisa menjadi pemimpin. Jokowi hadir mulai dari Walikota
Solo, Gubernur DKI Jakarta, lalu saat ini menjadi Capres. Memang instant untuk
karir politiknya. Apalagi jika dibandingkan Jusuf Kalla.
Ada lima sikap dasar pemimpin yang kita
harapkan, kelima sikap dasar itu adalah jujur, terbuka, berani mengambil
risiko dan bertanggungjawab, memenuhi komitmen, dan kemampuan berbagi (sharing). Jokowi mampu memiliki semua itu,
namun untuk kapasitas dan kapabilitas perlu ditunjang kabinet ahli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar