- Makna demokrasi ekonomi versi UUD 1945 tercermin dalam Pasal 23 ayat (3) bahwa perekonomian diselenggarakan demi kesejahteraan rakyat. Utamanya adalah azas kebersamaan, bukan perseorangan, apalagi liberalisme. IMF dengan azas neoliberalisme telah mengingkari UUD 1945. APBN sebagai Soko Guru kebijakan ekonomi mashabnya harus diubah oleh pemerintahan JW. Tujuan jangka pendeknya, bagaimana kemandirian nasional dan kedaulatan negara tercermin dalam penyusunan APBN.
- Untuk mengetahui APBN itu sesuai atau tidak dengan UUD 1945, bisa dengan parameter berikut ini:
- Kemanfaatan APBN bagi rakyat (kebijakan pro-rakyat)
- Tingkat pemerataan manfaat APBN bagi rakyat (jurang kaya dan miskin semakin melebar)
- Tingkat partisipasi rakyat dengan kebijakan APBN (program pembangunan bukan yang padat karya tetapi padat modal)
Ketiga tolak ukur ini tafsir tepat atas tuntutan UUD
1945 atas kebijakan APBN. Fungsi anggaran tersebut gambaran dialektika atas
kepentingan pro-pasar atau pro-rakyat sesuai tuntutan konstitusi. Seringkali
Undang-Undang yang hanya 1 pasal titipan (mashab pro-pasar) tapi sangat
berlebihan pada sektor derivatifnya, seperti: Keppres, Peraturan Pemerintah, SK
Menteri, dan seterusnya. Padahal APBN bukan hanya domain Pemerintah
(eksekutif), tapi juga legislatif (representasi rakyat Indonesia) dalam
menjalankan fungsi anggarannya.
Lebih jauh bahkan sekarang DPR mewakili soal anggaran melalui
Badan Anggaran (Banggar), sehingga ada modus korupsi di tingkat perencanaan,
yang dapat disebut dengan mafia anggaran. Maka dari itu politik anggaran
dominan berorientasi neolib. Indikatornya pertumbuhan PDB nasional masih jauh
lebih besar dari pada intervensi pemerintah dalam anggaran negara. Ini
membuktikan struktur perekonomian nasional berjalan ke arah mekanisme pasar.
Didukung oleh kenyataan betapa bersemangatnya Indonesia menjalankan APEC, WTO
dengan perdagangan bebas, menunjukkan pemerintah mengabaikan kepentingan rakyat
Indonesia. Negara lain khususnya Amerika Latin sudah keluar dari mashab neolib,
ingin kemandiran lepas dari kendali AS, setelah AS juga bermasalah secara
ekonomi. Bahkan negara-negara sosial demokrat mulai memperbesar intervensi
peran negara dalam APBN untuk dana sosial dan kesejahteraan masyarakat. Hal itu
terlihat pada reformasi dimana subsidi sembako (Bulog) dihancurkan, didesak
mengecilkan subsidi BBM agar sesuai mekanisme pasar. Padahal subsidi salah satu
cara untuk tetap kompetitif dalam pasar global, khususnya dengan UKM. Lebih
jauh subsidi salah satu instrumen fiskal yang dapat digunakan untuk mewujudkan
subsidi silang, asal tepat sasaran dan tepat guna, bukan dengan cara yang
keliru (charity approach).
Dengan meningkatkan tax ratio yang sekarang hanya
bergerak 12%-13% dari PDB masih sangat rendah. Begitu juga dengan PNBP dari
migas jika didorong royalti sampai dengan 2,5%-5%, akan signifikan jumlahnya.
Penerimaan pajak tahun 2016 bisa mencapai Rp 1.700 triliun dan PNBP bisa
mencapai Rp 500 triliun. Dengan penerimaan negara Rp 2.200 triliun tersebut,
sangat mampu negara Indonesia mandiri dan berdaulat.
Dengan belanja APBN di tahun 2015 mencapai Rp 2.115 triliun
(ada unsur pembayaran utang cicilan dan bunga Rp 230 triliun), pendapatan
negara di tahun 2016 sudah dapat dilaksanakan APBN tanpa utang. Belum lagi
efisiensi dilakukan, baik dengan pemberantasan korupsi maupun di bidang
lainnya, dan menstrukturisasi pembayaran utang (re-scheduled), juga
skema lainnya yang meringankan APBN.
Di pemerintahan Jokowi dengan Trisakti Bung Karno seyogyanya
terjadi perubahan paradigma APBN dari pro-pasar menjadi pro-rakyat. Peran
teknokratis yang pro-pasar tanpa memikirkan posisi rakyat Indonesia sangat
memperlambat terjadinya pemerataan pembangunan. Pada skala ekonomi nasional,
negara hanya memelihara angka rapor baik di ekonomi makro, tetapi gagal dalam
memajukan sisi mikro ekonomi nasional.
Dapat disimpulkan bahwa:
- Kebijakan Fiskal bukan prosedur teknokratis dalam kebijakan anggaran (APBN)
- APBN sumber daya ekonomi harus dengan basis ideologi UUD 1945 dan Pancasila menjadi rohnya (bukan neolib) atau pro-rakyat
- Ukuran utama bukan hanya pertumbuhan (karena akan dimiliki pemilik modal dan asing), tapi ukurannya adalah pemerataan ekonomi dalam wujud berkurangnya lebar kaya miskin secara terukur, untuk memenuhi rasa keadilan dan pelayanan publik sebaik-baiknya, khususnya akses yang mudah untuk kebutuhan dasar dan pengurangan kemiskinan.
JOKOWI, jika ingin jadi Presiden yang dikenang sejarah
tentu harus mengubah pembangunan ekonomi dari sangat liberal (pro pasar) ke pro
rakyat. Karena itu perintah konstitusi, jangan takut tekanan asing karena sudah
biasa dilakukan melalui IMF dan World Bank (Bank Dunia) yang dianggap institusi jurasic atau
komodo (out of date). Sekarang era kemandirian nasional, kalaupun ada
pasar bebas jika kompetisi tidak equal,
negara wajib proteksi komoditi nasional atau tingkat regional. One state one
society itu jebakan Soros (AS) agar terjadi kompetisi unequal,
dimana negara kuat selalu menjadi pemenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar