Harapan terhadap Jokowi mengenai Kepemimpinan dan Demokrasi:
Pemusatan kekuasaan pada orang, keluarga, atau kelompok kecil tertentu
(oligarki) dapat menghambat atau bahkan menyumbat sama sekali potensi lahirnya
pemimpin alternatif. Dan inilah yang tengah terjadi di Indonesia, sebuah negara
besar yang dihuni lebih dari 200 juta kepala manusia.
Benar apa yang dikatakan sosiolog UI, Tamrin Amal Tomagola pada diskusi
soal krisis kepemimpinan di Jakarta, medio Desember lalu, bahwa bangsa kita
saat ini tengah mengalami krisis kepemimpinan. Dan salah satu penyebabnya
adalah oligarki kekuasaan.
Menurut Tamrin, adanya sentralisasi kekuasaan di tangan segelintir orang
atau dalam politik disebut oligarki, dan dalam oligarki kita sudah mengerucut
pada oligarki keluarga, berakibat pada tersumbatnya proses rekrutmen
kader-kader pemimpin.
Bangsa ini pada akhirnya kehabisan stok pemimpin. Dalam arti, bukan tidak
ada yang mau menjadi pemimpin. Justru yang mau menjadi calon presiden di negeri
ini banyak sekali. Tetapi kita amat sulit mencari figur pemimpin yang benar dan
berkarakter. Coba sebutkan 10 nama saja calon pemimpin yang berkarakter di
negeri ini, apakah ada?
Oligarki kekuasaan di Indonesia yang sedianya musnah atau setidak-tidaknya
dapat diminimalisasi bersamaan dengan runtuhnya rezim Orde Baru, justru semakin
menjamur. Tidak saja terlihat di panggung politik tingkat nasional, tetapi juga
di tingkat lokal.
Di tingkat nasional oligarki kekuasaan diperlihatkan oleh para petinggi
partai politik dengan mengangkat pengurus Parpol dari kalangan lingkaran
keluarga, teman, atau kolega bisnisnya.
Aburizal Bakrie misalnya, sebagai Ketua Umum Partai Golkar banyak
mengangkat jajaran pengurusnya dari kalangan pengusaha Kadin. Sebagaimana
diketahui, Ical merupakan mantan ketua Kadin yang moncer di panggung politik.
Sementara itu, di partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua
Dewan Pembina juga menempatkan sejumlah nama dari kalangan keluarga untuk duduk
di kepengurusan partai tersebut. Bahkan, salah satu putranya Edhie Baskoro
Yudhoyono menjadi Sekjen di partai berlambang mercy itu. Di partai lain,
seperti PDI-P, PKB, PAN, dan sebagainya tentu praktik oligarki politik ini juga
dilakukan.
Di sejumlah daerah praktik oligarki ini justru sangat kentara. Misalnya di
Provinsi Banten, dikenal dengan Dinasti H. TB. Chasan Sochib, seorang jawara
Banten. Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah adalah anak dari Hasan Sochib, sementara saudara-saudara dan
ipar Atut yang lain menjabat Walikota Serang, Wakil Bupati Serang, dan Walikota
Tangerang Selatan. Bahkan istri Chasan Sochib, yang tak lain ibu tiri Sang
Gubernur yang bernama Heryani menjadi Wakil Bupati Pandeglang. Selain di
eksekutif para menantu dan cucu Chasan Sochib juga berkiprah di DPR-RI, DPD,
dan DPRD Banten.
Di Kota Cilegon juga berlaku sistem dinasti, Walikota sekarang, Tubagus
Imam Ariyadi merupakan anak dari walikota sebelumnya, Tubagus Aat Syafaat. Di
Kabupaten Indramayu juga tidak jauh berbeda, di mana jabatan bupati saat ini
dipegang oleh Ana Sophana, yang tak lain istri dari bupati periode sebelumnya,
Irianto Irsyam alias Yance.
Di Kalimantan Tengah praktik oligarki juga berlaku, di mana dikuasai oleh
dinasti Narang. Gubernurnya Teras Narang, Ketua DPRD-nya Reinhard Atu Narang
yang tak lain adalah saudara kandung Teras Narang. Di kursi DPRD Kalimantan
Tengah juga bertebaran keluarga Narang.
Di Lampung ada dinasti Sjachruddin ZP (Gubernur Lampung), di mana Bupati
Lampungnya adalah anak Sang Gubernur yang bernama Ryco Menoza, lalu Wakil
Bupati Kabupaten Pringsewu, Handitya Narapati juga anak Sjachruddin. Di
sejumlah daerah masih banyak ditemukan politik dinasti yang menutup peluang
bagi lahirnya kader pemimpin dari luar lingkaran keluarga dinasti.
Dinasti Politik dalam Demokratisasi
|
Politik dinasti (dynasty politics) dapat diartikan
sebagai praktik kekuasaan di mana anggota keluarga (sanak famili) diberi
dan/atau mendapat posisi dalam struktur kekuasaan. Kekuasaan hanya terbagi
kepada dan terdistribusi di kalangan kerabat, dan keluarga sedarah.
Dinasti Politik di Daerah
Banten
Dinasti H. TB. Chasan
Sochib (Jawara Banten)
Jabatan Eksekutif:
Gubernur Banten: Ratu
Atut Chosiyah (Anak)
Walikota Serang: Tb.
Hacrul Jaman (Anak)
Wakil Bupati Serang: Ratu
Tatu Chasanah (Anak)
Wakil Bupati Pandeglang:
Heryani (Istri)
Walikota Tanggerang
Selatan: Airin (menantu)
Jabatan Legislatif:
Anggota DPR RI: Hikmat
Tomet (Menantu/suami Ratu Atut Chosiyah)
Anggota DPD RI: Andika
Hazrumy (Cucu)
Anggota DPRD Provinsi Banten:
Aden Abdul Khaliq (menantu/suami ratu Lilis Kadarwati)
Anggota DPRD Kota
Serang: Ratna Komalasari (Isri Chasan Sochib/Ibu tiri Ratu Atut)
Anggota DPRD Kota
Serang: (Ade Rossi Chairunnisa (Cucu menantu, istri Andika Hazrumy)
Dinasti Tubagus Aat Syafaat (Mantan Walikota Cilegon)
Walikota Cilegon: Tubagus Imam Ariyadi (anak).
Kalimantan Tengah
Dinasti Narang
Jabatan Eksekutif:
Gubernur Kalimantan
Tengah: Teras Narang
Jabatan legislatif:
Ketua DPRD Kalimantan
Tengah: Reinhard Atu Narang (saudara kandung Teras Narang)
Anggota DPRD: Aries
Narang (anak Reinhard Atu Narang)
Anggota DPRD:
Pujihastuti (Bibi Aries Narang)
Anggota DPR RI: Asdy
Narang (Anak Reinhard Atu Narang)
Lampung
Dinasti Sjachroedin ZP (Gubernur Lampung)
Bupati Lampung Selatan: Rycko Menoza (anak Gubernur Lampung
Sjachroedin ZP)
Wakil Bupati Kabupaten Pringsewu: Handitya Narapati (anak Gubernur Lampung Sjachroedin ZP)
Jawa Tengah dan Jawa
Barat
Dinasiti Pupung Suharis (anggota
DPR 2004-2009)
Jabatan eksekutif:
Bupati Kendal 2000-2005
dan 2005-2007 : Hendy Boedoro (adik Pupung Suharis)
Bupati kendal: Widya Kandi Susanti (istri
Hendy Boedoro)
Bupati Sumedang : Don
Murdono (Hendy Boedoro)
Jabatan legislatif:
Anggota DPRD Kota
Semarang 2004-2009: R. Yuwanto (adik)
Anggota DPRD Jawa Tengah:
Murdoko (adik)
Anggota DPRD Kendal:
Assep Diamonde (keponakan)
Jawa Timur
Dinasti Sutrisno (Mantan Bupati Kediri)
Bupati Kediri: Haryanti
Sutrisno (istri)
Sulawesi
Dinasti Yasin Limpo
Jabatan Eksekutif:
Gubernur Sulawesi
Selatan: Syahrul Yasin Limpo
Bupati Goa
(2005-2010): Ichsan Yasin Limpo (adik
Syahrul Yasin Limpo)
Jabatan legislatif:
Anggota DPRD Kota
Makassar 2004-2009: Haris Yasin Limpo (adik Syahrul Yasin Limpo)
Anggota DPRD Sulawesi
Selatan: Tenri Olle (adik Syahrul Yasin Limpo), Adnan Purichta (Keponakan
Syahrul Yasin Limpo)
Anggota DPR RI: Indira
Thita Chunda (anak Syahrul Yasin Limpo).
|
Oligarki Menyuburkan
Korupsi
Power tends to corrupt, and
absolute power corrupt absolutely.
Memang dalam sistem demorasi yang menggunakan pemilihan secara langsung,
kepemimpinan secara turun menurun, baik ke bawah (anak, keponakan, dsb.),
maupun ke samping (istri, saudara, dsb.) sah-sah saja sejauh dipilih oleh
rakyat. Namun demikian tetap saja oligarki kekuasaan itu berbahaya.
Selain menghambat berjalannya kaderisasi kepemimpinan yang baik dan adil,
oligarki kekuasaan juga menyuburkan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Demokrasi atau sistem pemilu pada akhirnya hanya berhenti pada demokrasi
prosedural yang bisa dengan mudah disusupi oleh kekuatan uang.
Praktik oligarkis pasti untuk mempertahankan uang, kekuasaan, posisi, dan
status. Oligarki yang besar kemudian akan menjelma dalam bentuk gabungan dari
oligarki negara, pasar, dan partai politik. Hal ini tentu akan amat
membahayakan masa depan bangsa dan negara.
Oligarki dalam partai politik sudah pasti tidak akan menumbuhkan suasana
yang baik dalam mencetak kader pemimpin. Partai seperti milik beberapa orang
saja yang memiliki kapital dan kekuasaan besar. Efek lebih jauhnya adalah tidak
terbangunnya budaya politik yang beretika. Politik hanya akan dikelola oleh
para politisi yang sekadar pandai bertransaksi tanpa etika. Mereka tidak lebih
hanya semacam para komprador yang sebatas mencari keuntungan materi dan
kekuasaan. Mana bisa kita berharap tercetak karakter kepemimpinan dari sistem
dan orang-orang model ini.
Idealnya, salah satu peran partai politik adalah mengkader pemimpin
bangsa. Partai-partai politik bertanggung jawab menyediakan bagi negara para
pemimpin politiknya. Partai politik seharusnya menjadi wadah pengkaderan yang
mampu mengideologisasi kader-kadernya untuk dipersiapkan menjadi pemimpin.
Tapi, terlalu naif jika berharap sesuatu yang ideal dari partai politik
kita dengan kondisi seperti saat ini. Sebab kenyataannya, partai politik hanya
dijadikan kendaraan politik untuk berebut jabatan strategis negara. Partai
politik bersikap pragmatis, hanya ingin mendulang suara saat pemilu saja, lalu
memilih politikus yang mempunyai banyak uang untuk memenuhi pundi-pundi kas
partainya. Jadi, jangan terlalu berharap akan lahir pemimpin berkualitas dari
parpol yang masih menerapkan praktik oligarkis seperti yang ada saat ini.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar