Hindari debat kusir dan pencitraan, dan lebih memilih blusukan, Jokowi berhasil “rampok” hati
masyarakat Jakarta. Kini, setelah berhasil menduduki kursi jabatan Gubernur DKI
Jakarta, Jokowi menjadi fenomena. Dia dikejar media di manapun berada.
Dielu-elukan kedatangannya. Siapa yang mengkritiknya, pasti menjadi
bulan-bulanan di media. Rakyat telah jatuh hati terlalu dalam pada sosok
Jokowi. Tapi, apakah dia pemimpin sesungguhnya yang diinginkan? Tentu masih
panjang waktu untuk membuktikannya.
Jakarta yang penuh gemerlap, berhias jutaan watt lampu di
malam pekat, bak laron keluar dari sarang. Jakarta yang sarat gaya hidup, kota
yang identik dengan lelaki perlente, berjas, berdasi keluar-masuk perkantoran
mewah. Kota yang identik dengan kaum elite, glamor, intelektual, dan
seterusnya. Tiba-tiba dipimpin oleh seorang gubernur yang jauh dari identitas
itu semua. Gubernur yang apa adanya, jauh dari kesan glamour dan elite, dan
datang dari ‘desa’ pula.
Ini tentu fenomena yang menarik dalam dunia perpolitikan
Indonesia. Kemenangan Jokowi dan pasangannya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) tidak
diprediksi sebelumnya oleh lembaga-lembaga survei yang ada. Menarik pula,
karena pada pemilukada putaran kedua pasangan Jokowi-Ahok memposisikan sebagai
semut melawan gajah-gajah. Semut karena didukung oleh minoritas parpol,
sementara lawannya (Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli) didukung oleh koalisi
parpol-parpol besar. Tapi tetap saja, karena rakyat terlanjur cinta, semut tak
mampu dikalahkan.
Ini tentu menjadi fenomena menarik. Banyak pakar mengkaji,
mendiskusikan dan membuat teori terkait kemenangan tokoh fenomenal ini. Kita
juga bertanya apa sesungguhnya yang sedang terjadi di dunia perpolitikan kita?
Sebagian besar menilai rakyat sudah jenuh dengan pemimpin bergaya birokratis,
berjarak dengan rakyat, sehingga tidak mampu memenuhi aspirasi rakyat. Nah,
lalu datang Jokowi dengan citra pemimpin egaliter, senang blusukan, lebih suka ketemu rakyat di pinggir kali yang kumuh
ketimbang duduk manis di kantor, dan seterusnya.
Lihat saja rival Jokowi-Ahok, Fauzi Bowo adalah alumni Jerman.
Calon wakilnya seorang jenderal dari partai besar (Partai Demokrat), Nachrowi
Ramli. Sebagai incumbent awalnya pasangan ini diprediksi banyak pengamat dan
lembaga survei bakal memenangi pertarungan. Tapi apa daya, rakyat berkehendak
lain.
Pasangan yang tampak gagah berani itu ternyata keok melawan sosok laki-laki kerempeng
dari dusun dan lelaki keturunan Tionghoa yang terus diguyur isu SARA oleh lawan
politiknya. Pada putaran pertama, Jokowi-Ahok juga mengandaskan impian cagub
pasangan Hidayat Nurwahid (ustadz dan doktor dari Universitas Islam di Madinah)
dan Didik J Rachbini, seorang ekonom yang juga profesor bidang ekonomi.
Demikian pula dengan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin yang diusung
Partai Golkar.
Pemilukada DKI Jakarta 2012 bisa jadi merupakan yang paling
fenomenal dibanding pemilukada yang pernah ada di seantero Indonesia selama
ini. Bayangkan saja, Jokowi (PDI-P) yang berpasangan dengan Ahok (Partai
Gerindra) harus menghadapi lawan yang didukung partai-partai besar. Walaupun
sudah ‘dikepung’ sejumlah partai, tetapi dukungan warga tetaplah menjadi
penentu dalam pemilihan langsung tersebut.
Tabel Hasil Perhitungan Suara Pemilukada
DKI Jakarta 2012
Putaran I
No
|
Pasangan Calon Gubernur
|
Partai Pengusung
|
Perolehan Suara
|
%
|
1
|
DR. Ing. H. Fauzi Bowo - Mayjen (Purn)
H. Nachrowi Ramli, SE.
|
Partai Demokrat
Partai Amanat Nasional
Partai Hati Nurani Rakyat
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Bulan Bintang
Partai Matahari Bangsa
Partai Kebangkitan Nasional
|
1.476.648
|
34,05
|
2
|
Mayjen TNI (Purn) Drs. H. Hendardji
Soepandji, SH. – Ir. H. A. Riza Patria, MBA
|
Perseorangan
Jumlah dukungan 419.416 jiwa
|
85.990
|
1,98
|
3
|
Ir. H. Joko Widodo –
Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM.
|
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Gerakan Indonesia Raya
|
1.847.157
|
42,60
|
4
|
DR. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA –
Prof. DR. Didik Junaedi Rachbini
|
Partai Keadilan Sejahtera
|
508.113
|
11,72
|
5
|
Faisal Batubara –
Biem Triani Benjamin
|
Perseorangan
Jumlah dukungan 487.150 jiwa
|
215.935
|
4,98
|
6
|
PIr. H. Alex Nurdin, SH –
Letjen Marinir (Purn) H. Nono Sampono
|
Partai Golongan Karya
Partai Persatuan Pembangunan
Partai Damai Sejahtera
Partai Patriot
Partai Karya Peduli Bangsa
Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia
Partai Republika Nusantara
Partai Perjuangan Indonesia Baru
Partai Persatuan Daerah
Partai Indonesia Sejahtera
Partai Nasional Benteng Kerakyatan
Indonesia
Partai Buruh
Partai Pemuda Indonesia
Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
Partai Merdeka
Partai Sarekat Islam
|
202.643
|
4,67
|
Jumlah Suara Sah
|
4.336.486
|
|||
Jumlah Suara Tidak Sah
|
93.047
|
|||
Total Suara
|
4.429.533
|
Putaran II
No
|
Pasangan Calon Gubernur
|
Partai Pengusung
|
Perolehan Suara
|
%
|
1
|
DR. Ing. H. Fauzi Bowo – Mayjen (Purn)
H. Nachrowi Ramli, SE.
|
Partai Demokrat
Partai Amanat Nasional
Partai Hati Nurani Rakyat
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai Bulan Bintang
Partai Matahari Bangsa
Partai Kebangkitan Nasional
|
2.120.815
|
46,18
|
2
|
Ir. H. Joko Widodo –
Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM.
|
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Gerakan Indonesia Raya
|
2.472.130
|
53,82
|
Jumlah Suara Sah
|
4.592.945
|
|||
Jumlah Suara Tidak Sah
|
74.996
|
|||
Total Suara
|
4.667.941
|
Sumber: KPU
Dalam fenomena kemenangan Jokowi dapat dilihat secara
telanjang, betapa partai politik tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk
menentukan calon yang diusungnya. Banyaknya dukungan parpol tidak berbanding
lurus dengan dukungan dari rakyat. Hal lain yang seharusnya bisa menjadi
pelajaran bagi parpol, bahwa rakyat sudah tidak lagi percaya pada lembaga
politik formal ini. Sehingga, orang bisa saja memilih Partai A tetapi calon
gubernurnya B.
Hal lain yang juga perlu menjadi pelajaran, bahwa elitisme
pejabat serta gaya birokrtais seorang pejabat ternyata tidak lagi disukai oleh
rakyat. Rakyat suka pemimpin yang egaliter, dekat dengan mereka, mau
mendengarkan keluh-kesah mereka, mau blusukan, dan yang terlebih penting adalah
mau melakukan kerja nyata, tidak sekadar wacana. Fenomena Jokowi tentu menjadi
pelajaran berharga bagi para calon pemimpin lain, termasuk calon presiden Indonesia
pada Pemilu 2014 mendatang.
Pada awalnya, para lawan politik Jokowi-Ahok pun mengira
“jargon-jargon” politik yang diusung partai pendukung masih laku dijual.
Kenyataannya tidak. Bahkan isu SARA yang sengaja dihembuskan pun, tidak mampu
menahan langkah pasangan berbaju kotak-kotak itu.
Menjadi pertanyaan pula, kenapa kesalehan dan keilmuan calon
gubernur dan calon wakil gubernur juga tidak mampu mempengaruhi pilihan warga
Jakarta? Hidayat Nur Wahid misalnya, yang didukung oleh partai yang memiliki jargon
bersih juga tidak mampu menarik hati warga Jakarta. Fauzi Bowo yang juga Ketua
NU DKI Jakarta juga tidak mampu menarik hati lebih banyak lagi warga Jakarta.
Mungkin inilah yang disebut krisis kepemimpinan. Di mana
masalah integritas, kapabiltas dan moralitas kian menjadi barang
langka. Ada calon bersih, namun berasal dari partai yang korup dan
bermasalah, sehingga calon pun ikut tercemar. Warga Jakarta bisa jadi jenuh dan
putus asa atas gaya kepemimpinan yang ada selama ini. Lalu datanglah Jokowi
yang orang pun tahu bagaimana dia memimpin kota kecil di kampung halamannya,
Solo.
Kemenangan Jokowi-Ahok, meskipun bukan pertanda ditemukannya
sosok pemimpin ideal, namun setidaknya telah menegaskan kegagalan pemimpin
pendahulunya. Kemenangan Jokowi bisa dibaca sebagai wujud protes dan ‘hukuman’
bagi pemimpin yang dinilai tidak bisa membawa Jakarta ke arah perubahan yang
lebih baik.
Lebih-lebih, di Jakarta warga merasa jarang menemukan sosok
pemimpin yang mewakili kepentingan publik. Dalam hal ini, Jokowi-Ahok mengambil
peluang itu dengan caranya sendiri. Mereka, berdua melakukan gerakan turun ke
bawah, melihat keseharian realitas sosial warga yang sesungguhnya.
Semangat dan tekad keduanya untuk menjadi pelayan warga
dibuktikan dengan “blusukan” ke kantong-kantong pemukiman kaum marjinal. Perlu
diingat, hal ini sejak awal hingga pencalonan dirinya yang kedua kalinya tidak
pernah dilakukan secara serius oleh Fauzi Bowo, baik oleh wakilnya yang
terdahulu maupun sekarang. Sementara, Jokowi-Ahok berani menyempatkan diri
mengunjungi kampung-kampung dengan menumpang angkot, Metromini atau Kopaja.
Sukses Jokowi dalam Pemilukada DKI dengan cara-cara yang
tidak biasa ini pasti akan menjadi tren di pemilukada-pemilukada lainnya,
bahkan pada pemilu presiden nanti. Tim sukses para calon kontestan akan
menggunakan cara-cara yang dilakukan Jokowi. Tapi apakah akan berhasil? Tentu
akan sangat tergantung. Sebab publik saat ini sudah cerdas menilai mana sosok
yang benar-benar ingin dekat dengan rakyat, dan mana yang pura-pura belaka.
Lalu, apakah Jokowi adalah pemimpin yang diinginkan?
Sebagaimana telah dijelaskan, jawabannya masih membutuhkan waktu yang relatif
panjang. Jika dia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini
terjadi di Ibu Kota, Jokowi bisa dikata berhasil dan bisa menjadi rule model
bagi pemimpin masa depan. Tapi, lagi-lagi ini perlu dibuktikan.
Lalu apakah dalam hal ini, parpol khususnya PDI-P berarti
telah berhasil melahirkan kader pemimpin yang berkarakter? Tentu ini perlu
dibuktikan juga. Sebab, walau bagaimanapun kehadiran Jokowi pada kontestasi
politik memperebutkan jabatan Gubernur DKI Jakarta harus diakui sebagai semacam
eksperimen. Parpol terlihat tidak benar-benar secara sengaja mempersiapkan
Jokowi untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Logikanya, jika memang kader parpol
itu bebar-benar dipersiapkan, seharusnya yang muncul adalah kader dari Jakarta,
bukan Solo. Selain itu, keberhasilan Jokowi juga masih harus diuji.
Tetapi bagaimanapun juga, Jokowi telah memberi pelajaran
kepada partai-partai politik sebagai lembaga formal yang seharusnya mampu
mencetak kader pemimpin. Bahwa rakyat punya kehendak sendiri yang seringkali
tidak sejalan dengan keinginan elite parpol. Oleh karena itu, tidak cukup bagi
parpol untuk mengusung para kadernya sebagai calon pemimpin negeri, dengan
hanya bersandarkan pada popularitas, elektabilitas, apalagi banyaknya modal
(uang). Rakyat butuh disentuh hati nuraninya, butuh didengarkan keluhannya,
butuh dimengerti keinginannya.
Parpol sebagai lembaga yang mewakili suara rakyat (pemilih)
seharusnya mempunyai sensitifitas dalam menerjemahkan keinginan-keinginan
rakyat itu. Rakyat pasti ingin bangsa ini berubah, lebih maju, berdaulat, bebas
dari cengkeraman bangsa asing, dan seterusnya. Sehingga parpol yang ada saat
ini seharusnya bisa menjaring calon pemimpin dengan kakateristik yang mendukung
keinginan rakyat tersebut. Jika tidak, maka rakyat akan menentukan jalannya
sendiri. Maka jangan heran jika calon pemimpin yang ditawarkannya akan ditolak
mentah-mentah oleh rakyat dengan cara tidak memilihnya.
Tulisan: Iskandar Bakri (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar