Era reformasi selain membawa dampak yang luar biasa terhadap kebebasan
berpolitik setiap warga negara, namun juga membawa masalah tersendiri,
khususnya bagi proses pemilihan seorang pemimpin. Masyarakat merasa bebas
menentukan pilihan tanpa adanya tekanan dari pihak berkuasa sebagaimana di
era-era sebelumnya. Kondisi ini tentu sangat positif. Tapi sayangnya,
masyarakat yang sedang bersemangat belajar berdemokrasi disuguhi
pilihan-pilihan yang kadangkala menipu. Sehingga bisa dibilang, sekarang orang
yang tidak jelas juntrungan-nya
sekalipun bisa tiba-tiba terpilih menjadi pemimpin karena dia populer di mata
masyarakat.
Sejumlah fakta memperlihatkan, betapa seorang artis yang tidak memiliki track record di dunia politik sekalipun
bisa tiba-tiba terpilih menjadi bupati, walikota, gubernur, atau anggota dewan.
Sementara, aktivis organisasi kemasyarakatan atau aktivis parpol yang puluhan
tahun berkubang di dunia organisasi, mereka digembleng menjadi seorang pemimpin
justru tergusur begitu saja karena tidak populer atau tidak mampu mempopulerkan
dirinya.
Tapi pada akhirnya, bisa ditebak bagaimana kualitas kepemimpinan
orang-orang yang dipilih secara “karbitan”
itu. Rakyat lalu kecewa, tapi hanya bisa pasrah dan tak mampu berbuat
apa-apa, sebab sistem demokrasi telah membuat pemimpin yang dipilihnya secara
langsung itu begitu kuat kuasanya.
Pangkal masalah dari munculnya para pemimpin “karbitan” ini sesungguhnya
adalah institusi yang mencalonkannya, dalam hal ini tentu partai politik.
Kenapa mereka mengajukan nama-nama calon pemimpin yang “ngasal”, sementara sebagai lembaga politik formal, parpol
seharusnya mempunyai kader-kader mumpuni yang bisa dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Bayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat jika misalnya Julia Perez
berhasil menjadi Bupati Pacitan, Emilia Contessa menjadi Bupati Banyuwangi,
Inul Daratista menjadi Bupati Pasuruan, Ayu Azhari menjadi Bupati Tasikmalaya,
dan sebagainya? Bayangkan pula, bagaimana nanti mereka berdebat dengan anggota
legislatif ketika membahas APBD. Untung, masyarakat kita masih punya nalar
untuk mencegah “musibah” itu terjadi.
Fenomena munculnya sejumlah nama calon pemimpin yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan kapabilitasnya dalam kontestasi pemilu, merupakan cermin
bahwa saat ini bangsa yang dihuni lebih dari 250 juta jiwa manusia ini, tengah
kesulitan mencari sosok seorang pemimpin. Krisis kepemimpinan telah terjadi
sedemikian rupa pada bangsa ini.
Pada tingkat nasional misalnya, figur-figur lama tampaknya masih akan
mewarnai ajang kontestasi kepemimpinan nasional di 2014 mendatang. Kalaupun ada
nama atau figur baru, ketokohan dan karakter kepemimpinannya juga masih perlu
dipertanyakan.
Sejak pemilu pertama di era reformasi, yaitu tahun 1999 nama-nama calon
presiden republik ini seolah tidak jauh dari orang-orang yang sama. Megawati
Soekarnoputri misalnya, yang pada tahun 1999 ikut dalam kontestasi capres yang
dipilih MPR melawan Abdurrahman Wahid atau Gusdur, hingga kini masih
disebut-sebut sebagai capres yang akan maju di 2014.
Pada Pemilu Presiden 2004, pemilu pertama dengan sistem pemilihan langsung,
muncul sejumlah nama yang sebetulnya wajah lama. Nama Wiranto dan Salahuddin
Wahid muncul sebagai capres dan cawapres dari Partai Golkar, Megawati
Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi dari PDI-P, Amien Rais dan Siswono Yudohusodo
dari PAN, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dari Partai Demokrat dan
gabungan parpol lain, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar dari PPP dan gabungan
parpol lain. Dalam Pemilu ini, SBY-JK meraih kemenangan spektakuler.
Pemilu berikutnya, tahun 2009 nama-nama calon pemimpin berikutnya tidak
beranjak dari nama-nama pada pemilu sebelumnya, hanya saja mereka mencoba
bertukar-tukar posisi untuk meraih dukungan massa. Kali ini incumbent Susilo
Bambang Yudhoyono maju kembali berduet dengan mantan Gubernur BI Boediono
dengan bendera Partai Demokrat. Lalu, mantan koleganya Jusuf Kalla berduet
dengan Wiranto diusung oleh Partai Golkar. Dan satu pasangan lagi, Megawati
Soekarnoputri-Prabowo Subianto dari PDI-P. Pasangan SBY-Boediono berhasil
meraih kemenangan dalam satu putaran dengan perolehan suara 60,80%.
SBY yang sudah menang dua kali dipastikan tidak akan mencalonkan diri lagi
pada Pilpres 2014 karena terganjal oleh undang-undang. Namun, nama-nama lain naga-naganya masih tergoda untuk maju
karena didorong-dorong oleh parpol yang belum menemukan sosok yang mempunyai
elektabilitas tinggi untuk dicapreskan.
Walhasil, Megawati Soekarnoputri kemungkinan masih akan dicapreskan oleh PDI-P
karena dianggap elektabilitasnya masih tinggi. Kemudian Jusuf Kalla, mesti
tidak mungkin lagi diusung Partai Golkar karena Ketua Umumnya, Aburizal Bakrie
sudah mendeklarasikan diri sebagai capres, namun banyak parpol lain yang
melirik saudagar Makasar ini. Wiranto, Prabowo Subiyanto, kemudian nama-nama
lain yang dulu sempat mencuat seperti Sri Sultan Hamengkubuwono X, Surya Paloh,
dan sebagainya kemungkinan masih akan menampilkan wajah jika ada parpol yang
mengusungnya. Secara resmi tokoh-tokoh ini belum ada yang menyatakan bahwa
dirinya tidak bersedia dicapreskan.
Nama-nama baru memang muncul, seperti Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD,
Dahlan Iskan, Jimly Ashiddiqie, hingga Gubernur DKI Jakarta yang baru terpilih,
Joko Widodo. Namun, tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan rekam jejak
mereka. Mengingat rata-rata mereka, kecuali Mahfud MD tidak dibesarkan di
lingkungan partai politik sebagai lembaga formal yang seharusnya melahirkan
para kader pemimpin bangsa.
Ada nama lain yang entah serius, entah tidak juga mencuat, di antaranya
Raja Dangdut Rhoma Irama. Meski dia pernah malang melintang di sejumlah parpol,
tapi publik tentu tahu peran Bang Haji ini di parpol. Tapi konyolnya, ada salah
satu Parpol yang merespon pencalonannya. Aneh.
Tokoh dalam Pilpres
Pasca Reformasi
Pilpres 2004
|
||||
Putaran Pertama
|
||||
No.
|
Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
|
Perolehan Suara
|
Persentase (%)
|
|
1
|
H. Wiranto, SH.
Ir. H.Salahuddin Wahid
|
23.827.512
|
22.19%
|
|
2
|
Hj. Megawati
Soekarnoputri
K. H. Ahmad Hasyim
Muzadi
|
28.186.780
|
26.24%
|
|
3
|
Prof. Dr. H. M. Amien
Rais
Dr. Ir. H. Siswono Yudo
Husodo
|
16.042.105
|
14.94%
|
|
4
|
H. Susilo Bambang
Yudhoyono dan
Drs. H. Muhammad Jusuf
Kalla
|
36.070.622
|
33.58%
|
|
5
|
Dr. H. Hamzah Haz
H. Agum Gumelar, M.Sc.
|
3.276.001
|
13.05%
|
|
Pilpres 2004
|
||||
Putaran Kedua
|
||||
No.
|
Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
|
Perolehan Suara
|
Persentase (%)
|
|
2.
|
Hj. Megawati
Soekarnoputri
K. H. Ahmad Hasyim
Muzadi
|
44.990.704
|
39,38 %
|
|
4.
|
H. Susilo Bambang
Yudhoyono
Drs. H. Muhammad Jusuf
Kalla
|
69.266.350
|
60,62 %
|
|
Pilpres 2009 (Satu Kali Putaran)
|
|||
No.
|
Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
|
Perolehan Suara
|
Persentase (%)
|
1
|
Hj. Megawati
Soekarnoputri
H. Prabowo Subiyanto
|
32.548.105
|
26.79
|
2
|
Dr. Susilo Bambang
Yudhoyono
Prof. Dr. Boediono
|
73.874.562
|
60.80
|
3
|
Drs. H. Muhammad Jusuf
Kalla
H. Wiranto, S.IP
|
15.081.814
|
12.41
|
Sumber: KPU
Pilpres 2014
|
|
Dalam banyak survey,
sejumlah nama tokoh nasional kerap muncul diantaranya:
|
|
1
|
Megawati Soekarnoputri
|
2
|
Prabowo Subianto
|
3
|
Jusuf Kalla
|
4
|
Aburizal Bakrie
|
5
|
Sri Sultan Hamengkubuwono X
|
6
|
Ani Yudhoyono
|
7
|
Hatta Rajasa
|
8
|
Hidayat Nurwahid
|
9
|
Mahfud MD
|
10
|
Wiranto
|
11
|
Dahlan Iskan
|
12
|
Anas Urbaningrum
|
13
|
Sri Mulyani Indrawati
|
Dalam sebuah diskusi publik mengenai “Mencari Pemimpin Alternatif” di
Jakarta, (19/12) yang lalu, pengamat politik LIPI Syamsuddin Harris memaparkan,
krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini diakibatkan sistem pemilu yang
dirancang oleh elite-elite politik di Indonesia sendiri. Kerangka hukum UU
Pilpres, Pemilu, maupun Pemilukada, menurut dia, belum menjanjikan munculnya
kepemimpinan yang dibutuhkan masyarakat. “Sistem sengaja didesain untuk
memunculkan tokoh lo lagi-lo lagi," ujarnya.
Sementara itu, tambah Syamsuddin, tingkat elektabilitas yang selama ini
digunakan untuk mengukur popularitas tokoh politik juga ternyata bisa
dimanipulasi, terutama pencitraan, dan sosialisasi di media.
Hal seperti ini tentu sangat berbahaya, karena elektabilitas manipulatif
tidak mendasarkan pada kemampuan seorang kandidat. Bagi Syamsuddin, model
seperti itu hanya menampilkan citra agar layak dipilih, bukan karena layak
memimpin.
Bangsa ini pada akhirnya seperti kekurangan stok pemimpin. Padahal negara
ini memiliki wilayah yang luas dengan keanekaragaman watak dan pemikiran
manusianya. Tapi untuk menyebut figur-figur pemimpin saja, sepuluh jari tangan
kita mungkin terlalu banyak untuk menghitungnya.
Sosiolog UI Tamrin Amal Tomagola dengan tegas menyatakan, Indonesia saat
ini tengah mengalami krisis kepemimpinan yang parah. Menurut dia, hal itu
setidaknya disebabkan oleh tiga dimensi. Pertama dari sisi kuantitatif, stok
calon pemimpin sangat minim. Kedua, karena terjadinya sentralisasi kekuasaan
oleh segelintir orang (oligarki). “Ini akibat munculnya calon pemimpin karena
turun-temurun dari satu keluarga, sehingga rekrutmen pemimpin yang ideal
menjadi tersumbat,” ungkapnya
Hal ketiga, kata Tamrin, krisis kepemimpinan terjadi karena sulitnya
mendapatkan pemimpin berkarakter. Oleh karena itu, harus ada penyelesaian yang
fundamental. Dia menegaskan, dalam mencari sosok pemimpin, bangsa Indonesia
harus menggunakan perspektif sejarah, bagaimana pemimpin dilahirkan dari
periode ke periode lainnya.
Dalam sejarahnya, memang pemimpin yang berkarakter lahir dari rahim
kepemimpinan seperti pada zaman pergerakan di awal abad ke-20. Pada era ini
calon pemimpin lahir dari keluarga sederhana secara materi namun memiliki wawasan
luas. Tapi sekarang bagaimana?
Oleh karena itu, di saat sekarang kita sulit menemukan tokoh-tokoh
pemimpin yang berkarakter seperti Bung Karno, Bung Hatta, apalagi Jenderal
Soedirman. Untuk melahirkan pemimpin yang berkarakter harus diciptakan berbagai
macam anak tangga agar melahirkan kandidat pemimpin yang tangguh. Misal saja,
untuk menjadi presiden ada tangga mulai dari Walikota, Gubernur, baru ke level
yang lebih tinggi. Jadi, pemimpin harus dipersiapkan dalam jangka yang panjang.
Jangan sekarang baru menyiapkan pemimpin untuk 2014, yang ada pasti pemimpin
karbitan.
Oleh karena itu, penting juga dilakukan segera pembenahan institusional
dalam menghasilkan seorang pemimpin politik. Misalnya, merevisi UU Pilpres yang
saat ini terkesan seperti memberikan cek kosong saja kepada parpol untuk
mengajukan capresnya. Konstitusi yang ada sekarang memang mengatur bahwa capres
dan cawapres harus diajukan oleh parpol, tapi seharusnya bukan berarti bahwa
siapa pun yang diajukan parpol tidak boleh digugat, karena publik pun harus
ikut dalam menentukan kandidat pemimpin masa depan bangsanya.
Bangsa Indonesia saat ini tengah gamang dalam menentukan figur pemimpin
nasional, karena “stok” nama-nama yang ada masih yang itu-itu saja, dalam
bahasa gaulnya, lo lagi-lo lagi.
Padahal mereka masih belum bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka bakal mampu
melakukan perubahan yang signifikan bagi bangsa ke depan.
Tulisan: Imam Tamaim (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar