Kebijakan Neolib vs Kebijakan APBN Indonesia
Dalam prakteknya kebijakan neoliberal yang dipromosikan oleh
negara-negara maju melalui lembaga pemberi utang pada Indonesia, selanjutnya
diterjemahkan dalam kebijakan anggaran negara. Dalam sistem kapitalisme
neoliberal anggaran negara harus difokuskan hanya untuk penyelenggaraan
pemerintahan dan stimulus ekonomi untuk para pengusaha.
Anggaran negara tidak diperkenankan untuk digunakan dalam
membiayai industri dan perekonomian rakyat. Dengan demikian meski APBN
bertambah, namun fondasi perekonomian negara tidak boleh menguat dan itu tidak
akan ada perubahan sampai bangsa Indonesia sendiri berani bersikap, tentunya
lewat kepala negaranya.
Ciri umum APBN yang menganut azas neoliberal antara lain: 1)
Sistem anggaran defisit yang membuka peluang menumpuk utang luar negeri; 2)
Menjadikan privatisasi atau penjualan perusahaan publik sebagai sumber
penerimaan; 3) Penerimaan dari sumber penghapusan segala bentuk pajak
perdagangan luar negeri dan mengintensifkan penerimaan negara dengan pajak
perorangan; 4) Anggaran publik harus ditekan serendah mungkin, tapi stimulus keuangan
untuk perbankan diperbesar; 5) Anggaran subsidi harus dikurangi atau bila perlu
dihapuskan, tapi anggaran stimulus fiskal bagi pengusaha khususnya investor
asing ditingkatkan.
Sistem anggaran semacam itu pada satu sisi semakin menguatkan
kontrol negara-multinational corporations,
negara maju dan lembaga keuangan global terhadap ekonomi nasional Indonesia.
Kontrol tersebut dimaksudkan untuk menghambat negara dalam menguatkan ekonomi
nasional, membiayai industri nasional, UKM dan menghalangi negara dalam
melindungi usaha-usaha rakyat. Dengan demikian perusahaan asing tetap dominan
dalam berbisnis di Indonesia, terutama usaha-usaha mengeruk sumber daya alam
dan menguras keuangan negara secara berkelanjutan melalui manipulasi pajak,
membayar bunga dan cicilan utang luar negeri.
Garis ideologi kapitalisme neoliberalisme yang menjadi
landasan dalam menyusun semua kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumber
daya alam dan anggaran, jelas merupakan sistem yang sangat bertentangan dengan
semangat proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945. Kebijakan semacam itu semakin
melanggengkan penghisapan oleh modal asing terhadap kaum buruh, petani, nelayan,
dan orang miskin yang merupakan kelompok mayoritas dalam struktur masyarakat
Indonesia.
IMF sebagai pemangku tunggal sistem moneter dunia, saat ini
bagi sebagian negara sudah dianggap institusi “purba” (jurassic institution)
yang tidak mungkin diperbaharui lagi. Kontrol moneter secara nasional seperti
di India, Cina, dan Malaysia dianggap lebih berpeluang untuk berhasil, dimana
kelompok ini menyadari pengelola utama krisis bukanlah capital volatility melainkan kesalahan pandangan bahwa ekspor dan
investasi asing adalah motor pembangunan ekonomi. Berdikari dan kedaulatan
ekonomi sesuai UUD 45 (Pasal 33) seharusnya menjadi tekad pemerintahan baru di
bawah kepemimpinan Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar