PR ("pekerjaan rumah") yang perlu diselesaikan Jokowi-JK masalah "Udang" di balik Ratifikasi:
Reformasi yang berlaku di Indonesia,
sesungguhnya, ungkap Hariman Siregar kepada merdekainfo.com, adalah konsep
susupan (intruder). Aslinya yang
diperjuangkan masyarakat Indonesia di era 1998 adalah revolusi, bukan
reformasi. Tapi karena telah terjebak ide-ide susupan reformasi itu, maka
terjadi proses liberalisasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk sejumlah
produk perundang-undangan yang harus membukakan pintu lebar-lebar terhadap
liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Tidak mengherankan, ratifikasi sejumlah
produk perundang-undangan dan berbagai macam perjanjian internasional yang
telah dilakukan Indonesia lebih menguntungkan pihak asing. Sebut saja
ratifikasi tentang perdagangan bebas, meskipun berlaku secara bertahap, dengan
menghitung faktor-faktor daya saing produk dalam negeri yang menyangkut
persoalan buruknya infrastruktur, biaya logistik, teknologi, sumber pembiayaan dan seterusnya, sudah pasti
Indonesia kalah melawan Cina. Tapi anehnya Asean-China Free Trade Agreement
(ACFTA) ditandatangani, dan hasilnya pun defisit perdagangan Indonesia ke Cina
setiap tahun meningkat.
Lebih mengenaskan lagi, para penggagas
perdagangan bebas acap kali tidak jujur, misalnya adanya penerapan kuota untuk
produk-produk garmen asal Asia di Amerika Serikat, sehingga saat produk- produk
mereka boleh dijual bebas di sini, tapi produk garmen kita acap kali terbentur
pembatasan kuota untuk dijual ke sana. Amerika juga menerapkan subsidi untuk
produk pertaniannya, sehingga harganya lebih murah dari produk-produk pertanian
kita. Itu pula yang menjelaskan harga kedelai dan jagung Amerika lebih murah
dari harga kedelai dan jagung kita.
Niscaya pula, barang-barang pabrikan
yang beredar di dalam negeri lebih banyak produk asing, khususnya Cina. Proses
Industrialisasi di Indonesia yang baru dimulai tahun 1970-an terancam roboh. Pertumbuhan sektor riil yang di era
Soeharto bisa di atas 10%, dalam sepuluh tahun terakhir paling tinggi 4%,
bahkan pernah mencapai angka minus. Produk pertanian pun yang masih diusahakan
oleh sekitar 58% warga negara yang tinggal di pedesaan kini
terdesak produk-produk pertanian impor, khususnya dari Cina, Amerika Serikat,
Australia dan Thailand.
Inilah bentuk kolonialisme gaya baru
yang disokong oleh negara-negara maju. Melalui kedok globalisasi perdagangan,
negara-negara maju yang dimotori oleh Amerika dan negara-negara Uni-Eropa
menerapkan skema global liberalisasi perdagangan kepada negara-negara Selatan yang dikenal masih terbelakang. Dibentuknya World Trade Organization (WTO) yang dilakukan
di Peru tahun 1994, nyatanya lebih menguntungkan negara-negara maju, dan dalam setiap pengambilan keputusan lebih banyak digunakan AS dan
negara Uni Eropa untuk memperlancar kepentingannya.
Indonesia diincar asing bukan saja
karena memiliki sumber bahan baku yang dibutuhkan bagi negara lain, tapi juga
jumlah penduduk yang besar sebagai pasar potensial. Ratifikasi sejumlah
undang-undang lebih memihak kepentingan asing, produk dan industri lokal yang dibangun berabad silam semakin terpinggirkan.
Dominasi asing yang dilakukan oleh perusahaan multinational
corporation (MNC) terhadap sumber strategis semakin tidak
tergoyahkan.
Masih tingginya kebutuhan bahan
baku industri di negara
maju, membuat mereka melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan bahan baku
dengan cara menguasai sumber daya dari negara berkembang termasuk Indonesia.
Juga untuk mengurangi surplus produksi, negara maju meminta kepada negara
berkembang membuka pasar. Sementara
itu, negara-negara berkembang yang mengandalkan pertumbuhan
ekonomi, tidak menyadari sejumlah sektor strategis mulai tidak lagi kompetitif.
Terpuruknya sektor pertanian Indonesia lantaran harus menghadapi pertarungan
dengan hasil pertanian negara maju, menandakan perdagangan bebas hanyalah
menguntungkan mereka.
Padahal dalam butir kesepakatan
deklarasi Doha dinyatakan, tujuan perjanjian WTO dalam bidang
pertanian, satu di antaranya adalah mengurangi hambatan
dalam memasarkan hasil pertanian di masing-masing negara. Adanya perbedaan kekuatan
ekonomi antarnegara yang tergabung dalam WTO,
merupakan sebuah konsekuensi bagi negara-negara yang melakukan rafikasi.
Negara berkembang pun harus siap beradu dengan negara maju
di arena pasar bebas. Dan pada faktanya, negara-negara majulah yang memenangkan pertarungan itu.
Sejumlah pengkritiknya mengatakan, WTO
hanyalah kendaraan negara-negra maju untuk memperluas pasar melalui perusahaan
MNC yang dimilikinya. Selain mendapatkan profit, negara-negara maju
itu sekaligus mengamankan kepentingan nasionalnya, karena adanya perluasan
pasar atas produk-produknya di negara-negara berkembang. Yang paling
diuntungkan dari persaingan ini adalah perusahaan-perusahaan MNC, karena
dukungan pemerintahannya, mereka dapat menguasai dua pertiga perekonomian
negara-negara berkembang.
Dalam siding-sidang di WTO,
Negara-negara maju yang dimotori oleh MNC, melalui tim lobi mereka selalu
berusaha mendiktekan keputusan-keputusan organisasi perdagangan dunia itu.
Liberalisasi perdagangan telah membuka
peluang yang besar untuk terus eksisnya MNC. Sedangkan WTO tidak lebih dari sekadar wadah penyaluran ego kolonialisasi untuk menjarah dan
menguasasi sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang. Oleh karena itu,
tidak aneh jika perusahaan MNC memiliki kepentingan yang sangat besar pada
organisasi tersebut.
Besarnya upaya mereka untuk melakukan
intervensi kebijakan setidaknya dapat dilihat dari besarnya anggaran yang dikeluarkan
perusahaan MNC. Pada tahun 2004 misalnya, sejumlah perusahaan MNC
membentuk group lobby di AS dengan
menganggarkan dana sekitar USD13 miliar untuk mempengaruhi Kongres dan
pemerintah AS. Antara 1998-2004, group Altria, perusahaan yang bergerak
dalam industri makanan dan minuman, telah menghabiskan dana sebesar USD 101 juta untuk melobi pemangku kebijakan di AS. Pada periode
yang sama, raksasa minyak ExxonMobil
dan pembuat minuman Pfizer membelanjakan masing-masing USD 60 juta dan USD 44
juta.
Melalui kekuatan dananya, gurita MNC
berupaya memaksa berbagai kepentingan agar proses liberalisasi perdagangan
global berjalan dengan mulus. Tatkala Indonesia melakukan penyusunan
undang-undang selama reformasi berjalan, yang konsultannya menggunakan asing,
tak terlepas dari intervensi perusahaan MNC. Yang sangat nyata adanya
intervensi asing adalah saat Internasional Monetery Fund (IMF) memberikan advice
penyembuhan ekonomi Indonesia yang sedang dilanda krisis 1997.
Resep yang diberikan lembaga
internasional yang bermarkas di Washington, AS, ini lebih banyak bermuatan
kepentingan asing. Berbagai jargon ditawarkan ke negara-negara
berkembang, tentang penciptaan kemakmuran bersama. Kadang kala disertai
puji-pujian kepada negara berkembang yang telah mengiramakan
kebijakan ekonominya yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya modal dan
barang-barang asing ke negerinya. Kadang kala, lewat IMF,
mereka memaksakan formula penyembuhan kepada negara-negara yang
terbelit krisis itu, seperti Letter of Intent (LoI) yang
sesungguhnya adalah pencaplokan aset-aset nasional melalui mekanisme
perbankan.
Seorang anggota DPR mengatakan, ada
sekitar 170 undang-undang yang dibuat sejak reformasi hingga kini yang dianggap
in-kontitusional, karena disusupi kepentingan asing. Artinya, ada sekitar 80%
undang-undang yang pro-asing, yang secara sadar telah merampok asset negara melalui
rekayasa hukum yang tidak lagi sejalan dengan amanat UUD 1945. Intervensi asing melalui undang-undang
dilakukan pada sektor-sektor startegis,
seperti UU tentang Migas, Kelistrikan, UU Perbankan dan Keuangan, UU Pertanian,
UU Penanaman Modal serta UU Sumber Daya Air.
Sebuah sumber menyebutkan, pada saat
Indonesia melakukan amandemen UUD 1945 juga ada dugaan bahwa kepentingan asing
ikut bermain. UNDP dan National Demokratic Institute diduga ikut memberikan
sejumlah dana untuk melakukan amandemen UUD 1945. Amandemen pertama dikucurkan
dana sebesar USD 95 juta, amandemen kedua sebesar USD 45 juta, amandemen ke tiga sebesar USD35 juta, dan amandemen ke empat
sebesar USD 25 juta. Juga terdapat sejumlah UU
yang diduga kuat adanya intervensi asing di setiap masa kepemerintahan mulai
dari Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan pemerintahan SBY.
Pemberian kemudahan dan perlindungan
perusahaan MNC dapat ditelisik melalui perjanjian General Agreement on Tariff
and Trade (GATT) dan ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS). Dalam
perjanjian GATT disebutkan, akses nasional yang selama ini menghambat
perusahaan asing (MNC) harus segera dihapuskan pada 2020. Khususnya masalah
yang terkait dengan: Pertama, kemudahan masuknya bank asing untk beroperasi di
suatu negara. Kedua, diperbolehkannya investor asing untuk dapat memiliki saham
perbankan hingga 100%. Ketiga, keberadaan tenaga kerja asing.
Dalam komitmen AFAS yang dilakukan 1998,
juga pemerintah Indonesia secara terang-terangan memberikan lampu hijau
terhadap bank-bank asing yang akan membuka kantor cabang bank, maupun membuka
bank patungan di sejumlah ibukota provinsi, antara lain Surabaya, Semarang,
Bandung, Medan, Denpasar, Batam, Padang, Manado. Bahkan liberalisasi yang
dilakukan Indonesia, menurut seorang pengamat, sudah diluar batas kewajaran.
Kepemilikan bank domestik oleh investor asing dibatasi maksimal
49% pada GATT (51% pada AFAS), tetapi Indonesia memungkinkan kepemilikan hingga
99% setelah disetujui oleh pemerintah.
Agenda yang diterapkan IMF kepada
Indonesia mengharuskan Indonesia melakukan pembenahan terhadap struktural perbankan melalui regulasi yang intensif dan bertahap.
IMF bilang, agar Indonesia dapat lepas dari kisis ekonomi, syaratanya Indonesia
harus melakukan liberalisasi sektor perbankan yang mengacu kesepakatan
WTO.
Artinya, Indonesia harus mematuhi Leter
of Intent (LoI) yang dibuat IMF, yaitu penggantian UU No. 10 Tahun 1998 yang menggantikan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan beberapa Paket
Kebijakan Peraturan Bank lainnya, baru kemudian IMF akan memberikan sejumlah
pinjaman.
Masuknya sejumlah saran yang di lakukan
IMF, Bank Dunia dan WTO tujuannya adalah agar tiga agenda besar paham
neo-liberal dapat dijalankan, yakni pasar bebas dalam barang dan jasa,
perputaran modal yang bebas, dan kebebasan investasi. Kredo neo-liberal ini
ditanamkan kepada birokrat dan para ekonom di negara-negara yang masih
ragu-ragu dan dikenal sebagai “anak manis”. Standar pikiran
neoliberal harus dijalankan, seperti deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan
segala jampi-jampi lainnya.
Perusahaan MNC semakin bebas melakukan
eksplorasi, menyedot keutungan untuk dikirim ke negara asalnya. Sejak UU No 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diberlakukan, pembangunan Indonesia selalu
ditopang dari datangnya arus investasi dari modal asing. UU ini dijadikan pintu
masuk bagi perusahaan MNC untuk menguasai sektor strategis, akibat dominasi
asing tersebut menimbulkan banyak pertentangan di kalangan tokoh-tokoh nasional, karena hajat hidup orang
banyak yang seharusnya dikuasi negara, kini sudah berpindah pengelolaannya. UU
ini dinilai tidak senafas dengan UUD 1945, karena
sebagian besar pasalnya dinilai sangat berpihak pada kepentingan pemodal asing.
Liberalisasi investasi sudah tanpa
tedeng aling-aling lagi. Perusahaan MNC dimudahkan dengan adanya sejumlah pasal yang
menyatakan, bahwa sektor strategis yang menyangkut hidup
orang banyak dapat dikuasasi secara mayoritas oleh modal asing. Juga pemberian
berbagai hak istimewa kepada pihak asing melalui perjanjian dengan negara.
Melihat begitu banyak penyimpangan
undang-undang yang dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan amanat UUD 1945,
sejumlah tokoh agama melakukan uji materi (judicial
review) ke Makamah Konstitusi terhadap sejumlah UU yang dinilai merugikan
negara, diantaranya UU tentang Migas, Kelistrikan, UU Perbankan dan Keuangan,
UU Pertanian, serta UU Sumber Daya Air.
Seperti diketahui, UU Migas didugat ke
MK oleh Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PBNU Hasyim
Muzadi, Ketua MUI Amidhan, mantan Menakertrans Fahmi Idris dan politisi muslim,
Ali Mochtar Ngabalin. Selain itu, ikut menggugat pula sebanyak 12 ormas Islam.
UU Migas, dinilai sarat mengusung kepentingan asing, sehingga adanya UU Migas
menjadikan sektor strategis ini dikuasai perusahaan-perusahaan raksasa
perminyakan dunia.
Sejak era reformasi, Indonesia telah mendatangani sekitar 67 perjanjian Bilateral
Investment Treaties (BIT), yang di dalamnya lebih banyak untuk kepentingan asing. Hampir seluruh isi
perjanjian berisikan instrumen perlindungan bagi pihak asing. Indonesia telah
memberikan berbagai bentuk kemudahan, fasilitas, di antaranya insentif pajak bagi kegiatan penanaman modal.
Pemerintah Indonesia kini telah terjebak dalam liberalisasi perdagangan global. Dengan “karpet merah”, pemerintah
Indonesia menyambut kedatangan perusahaan MNC. Persoalan mendasar yang ada di
depan mata, seperti keterpurukan sektor pertanian akibat akibat WTO dibiarkan
begitu saja, yang sebenarnya lebih penting daripada sekadar menyambut datangnya investor asing yang diduga banyak menaruh
kepentingan negaranya daripada membantu membangun kemandirian ekonomi sebuah
bangsa.
Juga membanjirnya produk-produk
asing di pasar lokal. Ini merupakan dampak dari perjanjian globalisasi
perdagangan, yang kurang disadari telah mendorong mayarakat memuaskan libido berbelanjanya, khususnya terhadap produk merek asing. Di sisi lain,
kalangan pengusaha nasional semakin sulit menggarap sektor usaha lain, seperti perbankan maupun migas, karena hampir semua sektor strategis kini sudah didominasi perusahaan asing.
Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar