SKEMA PEMBANGUNAN HUKUM
TUPOKSI PRESIDEN DI BIDANG HUKUM
Ada delapan
prinsip negara hukum yang langsung menjadi tanggungjawab Eksekutif (Presiden),
yaitu: Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum (Equality
before the Law), Azas Legalitas (Due Process of Law), Peradilan
Bebas dan Tidak Memihak, Adanya jaminan perlindungan Hak Azasi Manusia, Democratic
Rule of Law atau Democratische Rechtstaat, berfungsi sebagai sarana
mewujudkan tujuan bernegara, dan pers yang bebas dan prinsip pengelolaan
kekuasaan negara yang transparan dan akuntabel dengan efektifnya mekanisme
kontrol sosial yang terbuka.
Berdasarkan delapan prinsip Negara Hukum tersebut, maka
pemerintah mempunyai tugas dan kewajiban urusan pemerintahan di bidang hukum
sebagai berikut:
- Penegakan Hukum (Law Enforcement): penyidikan (Kepolisian, Kejaksaan Agung), Penentuan (Kejaksaan Agung, dan Lembaga Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan HAM).
- Law Center (Legal Drafting/penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembuatan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden), {Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Kementerian Hukum dan HAM}.
- Law Administration and Services (Pendaftaran dan Perlindungan Hak Intelektual, Registrasi dan filling akta-akta pendirian Perseroan Terbatas/badan hukum dan akta-akta notarial, badan hukum partai politik) {Kementerian Hukum dan HAM}.
- Regulasi, sosialisasi, dan pemantauan jaminan dan perlindungan Hak Azasi Manusia/HAM (Kementerian Hukum dan HAM).
- Kewarganegaraan dan Keimigrasian (Kementerian Hukum dan HAM).
Kelemahan dasar rezim SBY adalah di bidang hukum, sehingga
hukum prosedural yang menjadi andalan neolib mengakibatkan terjadinya kolusi di
bidang hukum peradilan. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang menimbulkan
konflik dan keresahan sosial. Pilkada akibat Mahkamah Konstitusi berkolusi
memenangkan pihak yang bermasalah, mengakibatkan terjadinya disharmoni sosial
yang memunculkan disintegrasi sosial.
Kelemahan aparat hukum cenderung menularkan amoralitas publik
jika berurusan dengan aparat hukum. Sehingga secara akumulasi membuat rasa
ketidak adilan yang memuncak.
Solusinya cuma satu: “TERTIB HUKUM”, Law Enforcement
tanpa pandang bulu, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Atas kondisi
objektif di bidang politik dan hukum yang begitu buruk, JOKOWI perlu membentuk
Kopkamtib untuk kejahatan terorganisir, khususnya korupsi, terorisme, dan
narkoba. Selain itu, ketertiban dan disiplin nasional melalui pencegahan dan
kampanye sosial menjadi Tupoksi dari lembaga ini. Berkoordinasi dengan
Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK akan efektif memberantas kejahatan terorganisir,
khususnya korupsi. Hal ini akan kondusif untuk JOKOWI-JK dalam operasionalisasi
pembangunan ke depan.
STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Secara teknis, JOKOWI harus mengembalikan fungsi Sekretaris
Negara sebagai filter hukum – konsep yang dibuat Menkumham sebelum persetujuan
DPR. Berikutnya harus ada treatment khusus mengenai aparat hukum yang
berkolaborasi dengan mafia hukum.
Moralitas aparat hukum yang buruk, menimbulkan rasa
ketidak-adilan di masyarakat, misalnya yang kita lihat sehari-hari di
pengadilan. Rakyat mengamuk di ruang pengadilan karena rasa itu muncul secara
stereotip, jika tidak sesuai dengan harapan publik tentu dinilai ada permainan
hukum, dan masyarakat melawan serta membangkang.
Selain itu, dominasi pihak asing yang difasilitasi hukum dan
Undang-Undang perlu ditinjau, serta direvisi. Karena jumlahnya ratusan dan
derivatifnya melalui Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri, Peraturan
Pemerintah, perlu terobosan hukum untuk mengubahnya. Jika tidak, akan
membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk merevisinya. Dominasi pihak asing
dengan kepemilikan aset nasional, akan terus dipercepat oleh Undang-Undang yang
diciptakan sesuai 50 butir LoI IMF dengan Pemerintah Indonesia di jaman
Soeharto. Perlu dievaluasi kebijakan ekonomi yang ditimbulkan, apakah
menguntungkan negara dan rakyat Indonesia? Jawabannya sudah jelas: “TIDAK”.
Kebijakan pemerintah reformasi (termasuk Megawati Soekarno
Putri) yang dipaksa untuk privatisasi BUMN Strategis termasuk Indosat dan
Telkom, adalah langkah yang sangat keliru. Itulah yang memfasilitasi penyadapan
terhadap elit negara oleh pihak asing.
Industri strategis, termasuk bank (juga dibuat ketentuan)
bahwa pihak asing boleh memiliki sampai dengan 99%. Sungguh kebijakan yang
sangat liberal dan kebablasan. Saat ini sumber daya alam dimiliki pihak asing
sebanyak 85%, perbankan 70%, hutan dan perkebunan 65%. Sungguh sangat
menyakitkan perasaan rakyat Indonesia. Sangat aneh, negara kaya tapi rakyatnya
malah miskin. Ketimpangan (kapitalis yang segelintir) menguasai aset nasional,
sementara ada rakyat yang tak mampu hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya.
GDP yang mencapai Rp 10.000 triliun cukup besar, namun jika
dimiliki pihak asing tentu tidak banyak berarti bagi rakyat Indonesia, hanya
sekadar memperbaiki ekonomi makro. Kadangkala tidak berhubungan dengan ekonomi
mikro (sektor riil), apalagi dengan rakyat Indonesia. Sudah saatnya kebijakan
pemerintah pro-rakyat, agar bermanfaat langsung dengan kebutuhan rakyat
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar