Stabilitas Politik
Langkah strategis awal yang harus dilakukan JW dan PDIP
adalah melakukan stabilitas politik. Hal ini dilakukan melalui kebijakan
politik yang dikuatkan dengan kebijakan di bidang hukum nasional (tertib
hukum). Persoalan kekacauan Pilkada selalu berpotensi disharmoni dan
disintegrasi, dan sangat mungkin menjadi kekacauan di regional, dimana Pilkada
berlangsung. Hasil Pilkada telah melahirkan pemimpin, lebih dari 50% Kepala
Daerah dipanggil KPK (korupsi). Dengan budaya transaksional akibat mashab
korporatisme politik, hanya yang punya uang dan kekuasaan yang dapat menjadi
Kepala Daerah. Jelas ini sistem rekrut yang keliru besar, mengatas namakan
demokrasi sesuai mekanisme pasar. Kekacauan Pilkada mengakibatkan apatisme
politik, dan sangat tidak mendidik. Hal itu dibarengi dengan amoralitis
politisi, sehingga juga berurusan banyak dengan aparat hukum, bahkan SBY dan
Partai Demokrat jatuh juga karena korupsi.
Stabilitas politik harus dikembangkan di awal kepemimpinan
JW, dengan mengubah Undang-Undang Pilkada, dikembalikan dengan sistem
musyawarah dan mufakat dalam perwakilan sesuai dengan perintah UUD 1945 melalui
mekanisme DPRD. Selain itu stabilitas politik juga sangat menghemat beban APBN
yang dapat dialokasikan untuk sistem rekrut pemimpin politik (kader bangsa).
Hanya Pilpres dan Pilkada untuk Kepala Daerah Tingkat I saja
yang dipilih langsung. Hal ini membuat Kepala Daerah Tingkat II fokus pada
pembangunan, bukan setiap hari hanya berpikir untuk mempertahankan diri sebagai
incumbent. Hal ini juga akan melahirkan kader kepemimpinan bangsa yang
lebih capable. Untuk itu rekrut DPRD harus melalui seleksi yang
transparan dari perwakilan partai, serta mempunyai rekam jejak yang teruji dan
jelas.
Pilkada ibarat permen yang diberikan pihak asing, seolah-olah
demokratis tapi jebakan politik liberal agar Indonesia terkesan berdemokrasi,
tapi terpecah-belah. Budaya asli politik kita adalah musyawarah dan mufakat,
karena kita Bhinneka Tunggal Ika yang rawan unsur SARA dan tidak terbiasa
menang-menangan. Stabilitas politik hanya dapat diwujudkan melalui tertib hukum.
Maka dalam kebijakan hukum fokus pada kejahatan terorganisir, seperti korupsi,
teroris, dan narkoba yang menjadi momok dan menggerus mental serta moral
bangsa.
Berikutnya, mengembalikan fungsi MPR dengan pembatasan
tertentu agar ada Lembaga Tertinggi Negara, agar tidak terjadi chaos
dalam politik jika Eksekutif dan Legislatif berseteru, dan Yudikatif tidak
dapat menyelesaikannya.
Bagi JW, agar lancar dalam menjalankan operasional
pemerintahannya, perlu mengamankan Senayan (DPR), tapi berkoalisi secara taktis,
tidak harus di kabinet. Kalaupun harus di kementerian non strategis di bidang
kesejahteraan rakyat. Sekutu bersifat taktis dapat dilakukan dengan
rekonsiliasi nasional setelah memerintah dengan prioritas persoalan negara di
atas segala-galanya.
STRATEGI POLITIK PENGAMANAN DPR (Senayan)
- PDIP deklarasikan JW sebelum Pileg, agar suara relawan JW ke PDIP.
- Di luar kekuatan PDIP, bangun tawar-menawar politik dengan partai lain (tanpa koalisi)
- Pilih RI-2 yang kuat: diterima di DPR (partai lain) dengan tugas khusus pengamanan Senayan (DPR)
- Buat gugus percepatan pembangunan (untuk anggaran, pengawasan, dan legislasi) - Komunikasi khusus MOP (Management Office President) dan DPR
- Buat gugus khusus DPR (PDIP + partai lain) untuk pemberantasan korupsi
- Buat gugus khusus DPR untuk Tertib Hukum
- Buat gugus khusus komunikasi informal/lobby di DPR (azas musyawarah dan mufakat)
- Buat gugus khusus untuk Moratorium Nasional:
- Politik (musyawarah dan mufakat)
- Ekonomi (Pasal 33 UUD 1945, ekonomi dikendalikan Indonesian Incorporated)
- Hukum (Tertib Hukum dan Stabilitas Nasional)
Ini langkah yang harus dilakukan JOKOWI-JK agar operasional
pemerintahan lancar dengan hubungan yang harmonis dengan DPR. Membangun
komunikasi politik dengan DPR suatu keniscayaan, dengan membuat gugus-gugus
kerjasama parlemen secara informal antar fraksi tentang program-program besar,
seperti: gugus anti korupsi, gugus kemandirian bangsa, gugus tertib hukum,
gugus renegosiasi dan daulat ekonomi. Dengan demikian budaya musyawarah dan
mufakat kembali menjadi dasar budaya politik yang memupuk rasa persatuan dan
kesatuan di atas segalanya. Bukan budaya menang-menangan yang ditunjukkan DPR
(10 tahun terakhir), yang rasanya janggal dan tidak cocok dengan sentimen
budaya Indonesia. Jika politik stabil, hal ini akan membuat kita fokus pada
akselerasi pembangunan yang pro-rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar