Harapan terhadap Jokowi-JK dalam menyelesaikan "pekerjaan rumah" mengenai masalah reformasi berbuah liberalisasi.
Siapa bilang perusahaan asing dikenal suceng? Buktinya,
selain diduga melakukan penggelapan pajak, Chevron juga diduga melakukan
korupsi proyek Bioremediasi. Proyek itu bertujuan menormalkan kembali tanah
yang tercemar limbah. Antara 2003-2011dianggarkan USD 270 juta. Anggarannya
diambil dari klaim biaya pemulihan (cost
recovery) yang ditanggung pemerintah.
Proyek itu dikerjakan Chevron bersama tujuh perusahaan
swasta. Dua di antaranya adalah PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya.
Namun, diduga ada pelanggaran dalam pelaksanaan proyek itu yang mengakibatkan
kerugian negara. Menurut catatan, proyek bioremediasi telah disetujui dan
diawasi BP Migas dan KLH. Proyek itu disebut-sebut sukses menghijaukan kembali
sekitar 60 hektar lahan atau setara 75 lapangan bola di Riau.
Namun dalam pelaksanaannya, PT CPI yang melibatkan dua
perusahaan sebagai pihak ketiga, Green
Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya adalah sebatas kontraktor umum saja
dan tidak memenuhi klasifikasi teknis dan sertifikasi dari pejabat berwenang
sebagai perusahaan di bidang pengolahan limbah. Belakangan, dari proyek ini PT
Chevron mengajukan biaya recovery pemulihan lingkungan yang diduga membuat
negara merugi hingga Rp 210,25 miliar.
Pelanggaran pada proyek bioremediasi Chevron menurut Kejaksaan Agung merugikan negara sebesar
Rp200 miliar (USD 20juta). Kenapa demikian? Chevron ternyata memasukkan program
Bioremediasi CPI (Chevron Petroleum Indonesia) ke dalam cost recovery. Selain itu, hasil uji laboratorium juga menyatakan
tanah bioremediasi CPI positif tercemar limbah.
Tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi
bioremediasi CPI ini. Lima tersangka di antaranya berasal dari unit kerja CPI
dan dua sisanya berasal dari perusahaan pemenang tender bioremediasi yakni PT
Sumigita Jaya (SJ) dan PT Green Planet Indonesia (GPI). Ketujuh tersangka itu
adalah Manajer SLN dan SLS Endah Rumbiyanti, Team Leader SLN Kabupaten Duri
Widodo, Team Leader SLS Migas Kukuh, General Manager SLS Operation Bachtiar
Abdul Fatah, General Manager SLN Operation CPI Alexiat Tirtawidjaja, Direktur
Utama SJ Herlan, dan Direktur GPI Ricksy Prematuri.
Mantan Kepala BP Migas R. Priyono mengakui adanya perbedaan
angka perhitungan antara Kejagung dengan BP Migas. Kejagung menyatakan Chevron
merugikan negara sebesar Rp200 miliar dari proyek bioremediasi Chevron. Jika
terbukti bersalah, cost recovery yang
mengucur ke Chevron harus dicabut. Apalagi, selama ini perusahaan migas asing
cenderung mengakali KKKS untuk meraup keuntungan lebih besar. Misalnya dalam
hal penggunaan dana cost recovery.
Jika di Indonesia kasusnya masalah korupsi bioremediasi, lain
halnya di negara Equador. Di negeri Amerika Latin ini, Chevron bermasalah
terhadap kerusakan lingkungan awal tahun lalu. Pengadilan tinggi Equador
mengambil keputusan tegas terhadap Chevron yang diharuskan membayar biaya kerusakan
lingkungan sebesar USD 18,2 miliar. Denda ini merupakan buntut kasus pencemaran
minyak di kawasan Amazon. Dalam kasus ini, Texaco bersama Chevron pada 2011
dituduh melakukan pembuangan bahan beracun ke sungai Amazon, Equador.
Perusahaan minyak raksasa kelas dunia ini langsung menolak putusan pengadilan
dan menilai sanksi itu merupakan sebuah tipuan. Chevron mengklaim keputusan itu
merupakan politisasi kasus korupsi yang mencolok dalam pengadilan Ekuador.
BP Migas (sebelum dibubarkan) juga mengancam akan mencabut cost recovery PT Chevron Pasific
Indonesia (Chevron) jika terbukti merugikan negara. Berdasarkan perhitungan
selama 10 tahun terakhir, Chevron telah merugikan negara tak kurang dari USD 14
juta. Angka ini berbeda dengan angka yang disebut Kejagung yang menyatakan
adanya tunggakan sebesar USD23,3 juta.
Chevron tetap ngotot tidak bersalah. Dalam surat
pernyataannya, menjelaskan bahwa mereka sudah beroperasi sesuai peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. CPI menunjuk kontraktor pihak
ketiga yang dipilih melalui proses tender terbuka, transparan dan bertanggung
jawab sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dan BP
Migas, sebagai badan pemerintah pengatur pengelolaan minyak dan gas saat itu.
Desain dan penggunaan teknologi Bioremediasi telah dievaluasi dan disetujui
oleh badan-badan pemerintah terkait, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan BP
Migas.
Teknologi bioremediasi telah diuji dan diaplikasikan di
Sumatera sejak 1994 untuk memproses limbah. Sesuai dengan azas kepatuhan
terhadap peraturan pemerintah, CPI sebagai operator meminta dan memperoleh izin
dan otorisasi dari pemerintah untuk semua pekerjaan terkait bioremediasi yang
dilakukan di Sumatera. CPI memperoleh peringkat Biru dalam program PROPER dari Kementerian
Lingkungan Hidup sebagai bukti kepatuhan terhadap standar pemerintah di bidang
lingkungan untuk operasi di Sumatera pada tahun 2011.
Selain itu, biaya proyek bioremediasi CPI sudah dibahas,
diaudit, dan disetujui BP Migas dan badan audit pemerintah. Meski BP Migas
telah menyetujui program bioremediasi dimasukan dalam cost recovery,
hingga kini semua biaya terkait proyek bioremediasi ditanggung oleh CPI.
Cost recovery adalah dana yang
dibayarkan pemerintah pada perusahaan migas sebagai pengembalian biaya operasi
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas. Setiap tahunnya nilai cost recovery terus meningkat namun yang
lebih mengherankan produksi migas justru terus merosot. Misalnya tahun ini, BP
Migas mengusulkan cost recovery
sebesar USD 15,16 miliar atau Rp 136,4 triliun. Padahal produksi migas tahun
ini masih dibawah 1 juta barel per tahun, ini lebih rendah dari produksi migas
di tahun 1980-an yang mencapai lebih dari 1 juta barel per tahun.
Pengaturan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di
Indonesia pada era 70-an didasari pada UU Migas No.8 Tahun 1971 yang menunjuk
Pertamina, mewakili pemerintah, untuk melakukan kontrak dengan perusahaan migas
(pada umumnya perusahaan migas asing). Pola yang ‘dimainkan’ lewat
undang-undang ini didasarkan pada Kontrak Bagi Hasil (PSC – Production Sharing Contract). Selain
mempunyai peran melakukan teken kontrak dengan perusahaan asing yang
mengatasnamakan pemerintah, Pertamina pun diberi wewenang untuk melakukan
pengawasan pelaksanaan kontrak tersebut. Pada era ini, Pertamina mengalami
kejayaannya. Apalagi Indonesia tengah mengalami booming oil akibat tingginya harga minyak mentah dunia. Namun
sayang, di saat yang sama, banyak terjadi korupsi di tubuh Pertamina yang
melibatkan para petingginya.
Peran Pertamina berakhir seiring lahirnya UU Migas No.22
Tahun 2001. Pola Kontrak Bagi Hasil (PSC) diubah menjadi Kontrak Kerjasama
Karya (KKKS). Undang-undang migas pengganti ini sekaligus mengalihkan
pengelolaan kontrak dengan perusahaan pertambangan dari Pertamina kepada BP
Migas. Hal ini telah diperkuat pula dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2002 yang menyebutkan BP Migas merupakan aparat pemerintah.
Penekanan dalam
pola kontrak bagi hasil lewat UU No. 8 Tahun 1971, Pertamina membagi hasil
produksi bersih menurut suatu persentase tertentu di mana hasil produksi bersih
merupakan selisih antara nilai penjualan produksi migas (lifting) dengan biaya
pokok atau biaya operasinya. Nilai produksi bersih yang akan dibagi oleh
pemerintah dengan kontraktor migas disebut sebagai equity to be Split (ETBS).
Pola perhitungan bagi hasil ini dilakukan setiap tahun. Pada dasarnya segala
biaya operasi yang timbul dalam pelaksanaan kontrak PSC diganti atau ditanggung
oleh pemerintah.
Kontraktor
membayar lebih dahulu (menalangi) nilai pengeluaran untuk biaya operasi
tersebut. Selain menyediakan dana, kontraktor wajib menyediakan teknologi,
peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi eksplorasi dan eksploitasi migas
serta menanggung semua risiko yang timbul daripadanya. Penggantian biaya
operasi oleh pemerintah dalam perhitungan bagi hasil inilah yang disebut
sebagai Cost Recovery. Hemat kata, Cost Recovery merupakan biaya operasi yang
dimintakan penggantiannya yang terdiri atas biaya eksplorasi, biaya produksi
(termasuk penyusutan), dan biaya administrasi (termasuk interest recovery).
Namun, di dalam penerapan konsep cost recovery tidaklah semulus apa yang dibayangkan kebanyakan
orang. Karena baik dalam proses maupun output-nya
ternyata banyak meninggalkan masalah. Hal ini bisa dicermati dalam
konsep-konsep perpajakan yang dapat digunakan untuk menganalisa konsep cost recovery yang dipergunakan dalam
industri migas di Indonesia.
Konsep-konsep itu adalah upaya untuk menghindari pembayaran
pajak (tax avoidance) ataupun menggelapkannya
(tax evasion), ketidaktaatan akan
aturan pajak (noncompliace), laporan
atas pendapatan yang terlalu rendah (missreporting)
maupun perhitungan biaya (recoverable
cost) yang lebih tinggi. Termasuk dalam kelompok penerimaan pemasaran serta
harga dan transfer pricing atas
penjualan kepada anak ataupun induk perusahaan di luar negeri.
Di lain pihak, pengadaan dari anak perusahaan sendiri
menggunakan tingkat harga yang lebih tinggi daripada harga pasar (over pricing). Sebagian masalah ini tergantung pada penafsiran atas hal-hal
yang tidak diperhitungkan atau dikecualikan (exemptions) dalam
perhitungan besarnya beban pajak ataupun komponen yang dapat dikurangkan
(deductions) dari perhitungan beban itu.
Dengan menggunakan
konsep perpajakan itu, dapatlah disimpulkan bahwa perlu diperhatikan berbagai
hal-hal berikut dalam mendesain maupun mengontrol pelaksanaan cost recovery:
1) laporan tentang produksi (lifting) minyak dan gas bumi. 2) bagaimana
pemasaran produk itu, tingkat harga serta kemungkinan adanya transfer
pricing. 3) apa saja komponen yang masuk dalam perhitungan biaya. 4) apakah tidak ada over priving dari
supplier milik sendiri? 5) komponen apa saja yang dapat dikecualikan (exemptions)
dalam menghitung biaya. 6) komponern apa saja yang dapat dikeluarkan (deductables) dari perhitungan biaya.
Jika perhitungan itu tidak cermat dan definisinya tidak tegas, dapat merugikan
pemerintah atau perusahaan migas.
Di satu pihak,
biaya yang dapat dibayar kembali (recoverable) itu seyogyanya dapat
memberikan insentif bagi perusahaan migas untuk melakukan kegiatan usahanya
dengan risiko tinggi itu. Di lain pihak juga, biaya produksi yang tidak
rasional akan mengurangi ETBS sehingga mengurangi porsi yang akan dibagi oleh
pemerintah dengan perusahaan migas. Dalam biaya produksi yang terlalu tinggi
itu, perusahaan sudah mengambil keuntungan terlebih dulu yang disembunyikan
dalam bentuk biaya. Praktik seperti ini akan merugikan pemerintah walaupun
porsi pembagian ETBS kepada negara cukup besar.
Uniknya, di dalam kontrak production sharring
yang sekarang berlaku di Indonesia, Cost
Recovery- itu seolah-olah tidak ada batas, karena definisi operating cost disebutkan including
but not limited. Jadi ada detail tapi ada tambahan yang mengatakan but
not limited – alias tidak ada batasan. Betul bahwa kementerian ESDM sudah
mengeluarkan 17 item, tapi mestinya kalau mau di-itemkan yang penting ada
kewajarannya, jangan sampai program yang mestinya masuk dalam cost recovery justru tidak di cost recovery-kan.
Sejumlah pihak menyatakan, cost
recovery rawan penyalahgunaan dan akibatnya dapat menurunkan penerimaan
negara dari sektor migas. Namun hal ini merupakan konsekuensi dari sistem yang
dianut oleh Indonesia yakni, sistem bagi hasil (PSC) yang berpola bekerja
dengan cara bagi hasil perolehan migas antara pemerintah (pemilik) dengan
kontraktor (perusahaan migas). Namun, sebelum minyak/gas dibagi, terlebih
dahulu dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor untuk
menghasilkan migas tersebut. Biaya-biaya ini akan terus dibawa ke tahun-tahun
berikutnya (carry forward) sampai
seluruh biaya sudah terpulihkan.
Kontrak Bagi Hasil tidak mensyaratkan proporsi tertentu dari biaya yang
bisa di cost recovery oleh
kontraktor. Seluruhnya bisa di-cost
recovery. Bahkan, dalam beberapa kasus kontraktor bisa mendapatkan
penggantian lebih dari total biaya yang dikeluarkan jika dia memperoleh
fasilitas investment credit.
Tulisan: Iskandar Bakri (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar