Bila pemerintah memang bertekad
kuat membesarkan perusahaan nasionalnya, sudah saatnya Pertamina diberi peluang
mengelola Blok Mahakam. Pasalnya, di ladang gas terbesar di Indonesia yang
selama ini dikelola Total E&P Indonesie (Perancis) dan Inpex Corporation
(Jepang) itu kontraknya bakalan habis 31 Maret 2017. Apa salahnya Kontrak Kerja
Sama (KKS) itu tidak diperpanjang dan diberikan ke Pertamina, toh tidak ada UU
yang dilanggar.
Apalagi telah sejak lama
Pertamina berkeinginan mengelola Blok Mahakam. Bahkan sudah sejak 2008 lalu
menyatakan kesanggupannya mengelola Blok yang potensial menghasilkan Rp 1700
triliun itu. Artinya, bila Blok Mahakam kembali jatuh ke tangan asing, ini akan
memperkuat tudingan bahwa pemerintah telah berkhianat terhadap Pasal 33 UUD 1945, karena
cenderung memperkokoh penjajahan asing terhadap bumi pertiwi Indonesia.
Namun apa mau dikata? Menteri ESDM Jero Wacik belum-belum
sudah memberi pertanda, operator Blok Mahakam tetap di tangan asing. Pernyataan
Jero Wacik itu menyulut perlawanan sejumlah komponen masyarakat yang menyerukan
agar Pertamina diberi peluang. Bagaimanapun juga, penunjukan Pertamina sebagai
operator adalah konstitusional. Perusahaan plat merah itu akan lebih membawa
manfaat bagi pemerintah, menjamin ketahanan energi dan mendorong kemandirian
bangsa.
Lobi
Perpanjang KKS
Masuknya Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang)
menggarap Blok Mahakam terhitung sejak 31 Maret 1967. Beberapa minggu setelah
Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2, pemerintah menandatangani KKS dengan
perusahaan asing itu untuk mengelola Blok Mahakam selama 30 tahun.
Namun beberapa bulan sebelum Presiden Soeharto lengser, atau 31 Maret 1997, kontrak Blok Mahakam telah diperpanjang
selama 20 tahun, sehingga kontrak akan berakhir pada 31 Maret 2017.
Dalam KKS, perpanjangan kontrak blok migas bisa diputuskan lima tahun
sebelum masa kontrak berakhir. Hak partisipasi (participating interest/PI) Blok Mahakam yang dimiliki Total dan
Inpex Corporation masing-masing 50%, sebelum berakhir masa kontraknya perlu
dilakukan negosiasi antara pemerintah dengan Total dan Inpex. Apakah akan
diperpanjang atau pemerintah memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan Blok
Mahakam kepada Pertamina.
Total dan Inpex selama ini memang diuntungkan. Selain melihat besarnya cadangan tersisa yang masih
sangat besar, KKS juga tampaknya lebih menguntungkan pihak perusahaan
asing. Tak heran mereka pun kembali mengajukan perpanjangan kontrak. Tak
segan-segan, PM Perancis Francois
Fillon atas suruhan manajemen Total,
untuk melobi Jakarta pada Juli 2011.
Tindak lanjutnya adalah setahun kemudian, saat Jero Wacik datang ke Paris
bertemu Menteri Perdagangan Luar Negeri Perancis Nicole Bricq, 23 Juli 2012.
Bahkan Jepang ke tingkat lebih tinggi lagi, tidak tanggung-tanggung CEO Inpex
Toshiaki Kitamura datang menemui Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada
14 September 2012.
Serahkan ke
Pertamina
Kesanggupan Pertamina mengelola Mahakam disampaikan para pensiunan Pertamina atau Solidaritas
Pensiunan Karyawan Pertamina (EsPeKaPe). Pada 17 Agustus 2012, EsPeKaPe
mengirim surat pada presiden dan
salinannya ke sejumlah kementerian, isinya agar Presiden SBY memberikan Blok
Mahakam kepada Pertamina.
Hal senada juga disuarakan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu
(FSPPB), agar pemerintah mengalihkan pengelolaan lapangan migas Blok
Mahakam di Kalimantan Timur dari pihak asing kepada BUMN PT Pertamina
(Persero). Dari hitungan FSPPB, jika ladang gas yang terletak di Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur ini dikelola oleh Pertamina akan menyelamatkan
uang negara Rp 1,9 triliun per bulan.
Potensi Blok Mahakam yang demikian
besar mencapai Rp 1700 triliun membuat masyarakat yang peduli terhadap penyelamatan sumberdaya alam nasional, membuat petisi. Direktur Eksekutif Indonesian
Resourses Studies (IRESS) Marwan Batubara
dalam "Petisi Blok Mahakam
Untuk Rakyat" mendesak Presiden
SBY agar menghentikan Kontrak Karya (KK)
Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) di ladang gas terbesar
di Indonesia, dan kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada Pertamina.
Petisi yang ditandatangani lebih
dari 500 tokoh nasional ini diantaranya mendesak pemerintah
segera memutuskan status kontrak Blok Mahakam melalui penerbitan
Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Menteri secara terbuka paling lambat
31 Desember 2012. Dan segera
menunjuk Pertamina sebagai
operator Blok Mahakam sejak April 2017, atau sejak habisnya masa kontrak
operator lama, yakni Total E&P Indonesie dan Inpex Petroleum.
Kini sudah saatnya pemerintah
memberikan kepercayaan kepada Pertamina. Apalagi Pertamina adalah BUMN,
sahamnya 100% dikuasai negara. Dari sisi teknis, Pertamina sebenarnya mampu menjadi operator
Blok Mahakam. Hal ini didasarkan pada fakta BUMN plat merah itu berhasil
mengelola Blok Offshore North West Java (ONJW) dan Blok West Madura Offshore
(WMO). Padahal, kesulitan di dua Blok itu lebih berat ketimbang Blok Mahakam.
Anggota Komisi VII DPR RI Satya
W. Yudha berpendapat perpanjangan KKS perusahaan asing di bidang
pertambangan yang berakhir masa
kontraknya, harus diserahkan pada
negara. Kemudian negara akan
mentenderkan ulang dengan memberikan surat offered
visual kepada Pertamina. Artinya, Pertamina akan diuji apakah mempunyai
kemampuan dan kapasitas untuk mengelola Blok Mahakam secara utuh. Karena kalau
ternyata tidak mampu, maka harus berpartner dengan yang lain. Kini saatnya
pemerintah menanyakan kepada Pertamina
soal kesanggupan menggarap Blok Mahakam, dan begitu dia siap dengan harga yang
kompetitif, serahkan seratus persen
pengelolaan Mahakam kepada Pertamina.
Jika Pertamina dipercaya mengelola Blok
Mahakam, akan berdampak nyata kepada
rakyat melalui setoran pendapatan negara. Selain tentunya terbukannya lapangan
kerja semakin terbuka. Lagi pula, Pertamina yang sekarang sudah perusahaan
besar, dengan mengelola Blok Mahakam, akan menjadi national oil company yang lebih besar lagi, tidak kalah kelas
ketimbang Petrochina (BUMN China) atau Petronas (BUMN Malaysia), bahkan bisa
sejajar dengan perusahaan-perusahaan migas raksasa lainnya yang dilindungi
kepentingannya secara penuh oleh masing-masing negara asalnya.
Oleh karenanya, dalam kasus Blok Mahakam,
pemerintah harus membuat rencana
program secara terinci berikut anggaran biaya, serta menunjuk Pertamina sebagai
pengelolannya. Jika ini terlaksana, inilah
wujud dari keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan nasional. Seperti
keberpihakan nyata pemerintah Amerika Serikat kepada Exxon dan Chevron, keberpihakan
nyata pemerintah Perancis kepada Total, China kepada Petrochina dan seterusnya.
Sebab, itulah wujud nyata pemerintahan dari negara yang merdeka dan berdaulat.
Tulisan: Edy Sampurno (merdekainfo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar