PR untuk Jokowi-JK dalam hal Tambang Negara
Sesungguhnya, Multinational Corporation
(MNC) tidak sehebat yang dibayangkan banyak orang. Dia menjadi hebat karena
memiliki kaki tangan yang menggurita, baik di lembaga multilateral seperti
International Monetary Fund (Lembaga pendanaan Internasional/IMF) dan World
Bank, pemerintahan di negeri asalnya, pemerintahan di tempatnya mengeruk laba,
maupun LSM-LSM yang bertugas memoderasi gerakan kritis di dunia ketiga.
Acap kali pula, MNC berbagi peran dengan segenap kaki-tangannya menyusun skenario yang membuat lapak-lapak bisnisnya, khususnya pertambangan, langgeng di dunia ketiga. Segala momentum, termasuk diantaranya krisis nilai tukar uang yang mengoyak Thailand, Malaysia, Indonesia, Hongkong dan Korea Selatan pada pertengahan Juli 1997, digunakan oleh MNC untuk menancapkan kuku-kukunya secara lebih dalam ke negeri-negeri “jajahannya”.
Skenario yang biasa digunakan adalah memberi bantuan dengan syarat, misal bantuan penanganan krisis yang dibuat IMF kepada pemerintahan Indonesia yang dituangkan dalam butir-butir perjanjian (Letter of Intent). Tapi tidak semua negara tunduk kepada IMF, seperti Malaysia yang ternyata ekonominya pulih lebih dulu ketimbang Indonesia.
Saat itu Malaysia menetapkan nilai kurs mata uangnya sendiri, sedangkan Indonesia, karena tunduk kepada IMF, nilai kurs rupiah ditentukan oleh pasar. Akibatnya, pada 8 Januari 1998, nilai rupiah tembus hingga Rp 15 ribu per USD 1. Harga-harga kebutuhan pokok pun melambung, mengawali runtuhnya 34 tahun pemerintahan Soeharto.
Perjanjian yang ditandatangani antara Indonesia dan IMF dengan jelas meminta kebijakan Pemerintah tetap berada dalam skenario pengelolaan asing, termasuk bisnis pertambangan yang selama ini mayoritas dikuasai oleh asing. Dengan berpayung pada Bilateral Investment Treaty (BIT) dan Letter of Intent (LoI), kepentingan pihak asing sangat diutamakan IMF dan Bank Dunia hanya untuk melindungi segala bentuk investasinya.
Acap kali pula, MNC berbagi peran dengan segenap kaki-tangannya menyusun skenario yang membuat lapak-lapak bisnisnya, khususnya pertambangan, langgeng di dunia ketiga. Segala momentum, termasuk diantaranya krisis nilai tukar uang yang mengoyak Thailand, Malaysia, Indonesia, Hongkong dan Korea Selatan pada pertengahan Juli 1997, digunakan oleh MNC untuk menancapkan kuku-kukunya secara lebih dalam ke negeri-negeri “jajahannya”.
Skenario yang biasa digunakan adalah memberi bantuan dengan syarat, misal bantuan penanganan krisis yang dibuat IMF kepada pemerintahan Indonesia yang dituangkan dalam butir-butir perjanjian (Letter of Intent). Tapi tidak semua negara tunduk kepada IMF, seperti Malaysia yang ternyata ekonominya pulih lebih dulu ketimbang Indonesia.
Saat itu Malaysia menetapkan nilai kurs mata uangnya sendiri, sedangkan Indonesia, karena tunduk kepada IMF, nilai kurs rupiah ditentukan oleh pasar. Akibatnya, pada 8 Januari 1998, nilai rupiah tembus hingga Rp 15 ribu per USD 1. Harga-harga kebutuhan pokok pun melambung, mengawali runtuhnya 34 tahun pemerintahan Soeharto.
Perjanjian yang ditandatangani antara Indonesia dan IMF dengan jelas meminta kebijakan Pemerintah tetap berada dalam skenario pengelolaan asing, termasuk bisnis pertambangan yang selama ini mayoritas dikuasai oleh asing. Dengan berpayung pada Bilateral Investment Treaty (BIT) dan Letter of Intent (LoI), kepentingan pihak asing sangat diutamakan IMF dan Bank Dunia hanya untuk melindungi segala bentuk investasinya.
Akibatnya dapat
dilihat, payung hukum yang ada di Indonesia terkait regulasi di bidang
pertambangan semakin berpihak kepada kepentingan asing. Misalnya dalam UU No.
22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 4/ 2009 tentang Mineral dan
Batubara. Sejumlah kalangan mengkritik pemerintah Indonesia tidak mampu
menghadapi tekanan asing terkait divestasi, dan tidak mampu menampung aspirasi
rakyat yang meminta pemerintah sebagai pemilik tambang untuk lebih dominan,
menghasilkan dari berbagai pajak dan besarnya royalti.
Sebagai jalan tengah, antara tuntutan nasionalisasi di dalam negeri dan melindungi kepentingan asing dalam bisnis pertambangan, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan divestasi saham yang memberikan kepemilikan mayoritas sederhana (simple majority) kepada kepemilikan nasional dengan proporsi 51% modal dalam negeri dan 49% modal asing. Namun kewajiban divestasi itu ditentang oleh Freeport dan Chevron yang bertahun-tahun establish mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Berbagai cara mereka tempuh untuk menggagalkan program divestasi, antara lain dengan melobi DPR agar mengubah aturan hingga gugatan ke pengadilan arbitrase internasional. Gugatan itu dilakukan Churchill terkait pencabutan izin usaha pertambangan di Kalimantan Timur, yang sudah jelas kepemilikan sahamnya diperoleh secara ilegal. Pembelian sahamnya dilakukan “dibawah tangan”, karena izin yang dimiliki partner lokalnya, PT Ridlatama, bukan berupa Izin Usaha Penambangan (IUP), melainkan hanya berupa Kuasa Penambangan (KP).
Dalam hal penyelamatan lingkungan, sikap Dunia Barat memang mendua. Di satu sisi mereka acap kali memboikot produk-produk kelapa sawit asal Indonesia, tapi di sisi lain mereka tutup mata terhadap pertambangan yang dilakukan perusahaan mereka di kawasan hutan lindung. Seperti Churchill yang mengklaim memiliki deposit batubara di kawasan hutan lindung Kutai Timur. Bahkan deposit yang akan segera dieksploitasi itu diumumkannya di London Stock Exchange. Seketika, nilai saham Churchill pun meroket. Saat dinyatakan izinnya tidak benar, Churchill meradang. Dia pun membawa kasusnya ke pengadilan arbitrase internasional.
Tentunya, pemerintah Indonesia melalui Pemkab Kutai Timur tidak tinggal diam. Apa lagi, izin usaha pertambangan yang dimiliki oleh Churchill ditempuh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang di Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus melakukan antisipasi atas gugatan Churchill tersebut.
Persekongkolan perusahaan asing dengan pemerintah daerah mulai terungkap saat pemerintah mengumumkan banyaknya IUP yang bermasalah. Dengan bermain di kebijakan melalui Peraturan Daerah (Perda), perusahaan asing itu melanggar kesepakatan yang ada. Bahkan, mereka berani menghindari pembayaran pajak dan non pajak, royalti dan sewa tanah. Akibatnya negara dirugikan ratusan triliun rupiah.
Ketidakadilan ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memaksa Newmont dan Freeport agar tunduk dengan kebijakan negara untuk memperbaharui kontrak karya (KK), khususnya dalam meningkatkan nilai royalti bagi pemerintah. Dengan demikian, kedaulatan negara akan terwujud dan rakyat dapat disejahterakan dengan besarnya penghasilan dari sektor pertambangan.
Sebagai jalan tengah, antara tuntutan nasionalisasi di dalam negeri dan melindungi kepentingan asing dalam bisnis pertambangan, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan divestasi saham yang memberikan kepemilikan mayoritas sederhana (simple majority) kepada kepemilikan nasional dengan proporsi 51% modal dalam negeri dan 49% modal asing. Namun kewajiban divestasi itu ditentang oleh Freeport dan Chevron yang bertahun-tahun establish mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Berbagai cara mereka tempuh untuk menggagalkan program divestasi, antara lain dengan melobi DPR agar mengubah aturan hingga gugatan ke pengadilan arbitrase internasional. Gugatan itu dilakukan Churchill terkait pencabutan izin usaha pertambangan di Kalimantan Timur, yang sudah jelas kepemilikan sahamnya diperoleh secara ilegal. Pembelian sahamnya dilakukan “dibawah tangan”, karena izin yang dimiliki partner lokalnya, PT Ridlatama, bukan berupa Izin Usaha Penambangan (IUP), melainkan hanya berupa Kuasa Penambangan (KP).
Dalam hal penyelamatan lingkungan, sikap Dunia Barat memang mendua. Di satu sisi mereka acap kali memboikot produk-produk kelapa sawit asal Indonesia, tapi di sisi lain mereka tutup mata terhadap pertambangan yang dilakukan perusahaan mereka di kawasan hutan lindung. Seperti Churchill yang mengklaim memiliki deposit batubara di kawasan hutan lindung Kutai Timur. Bahkan deposit yang akan segera dieksploitasi itu diumumkannya di London Stock Exchange. Seketika, nilai saham Churchill pun meroket. Saat dinyatakan izinnya tidak benar, Churchill meradang. Dia pun membawa kasusnya ke pengadilan arbitrase internasional.
Tentunya, pemerintah Indonesia melalui Pemkab Kutai Timur tidak tinggal diam. Apa lagi, izin usaha pertambangan yang dimiliki oleh Churchill ditempuh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang di Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus melakukan antisipasi atas gugatan Churchill tersebut.
Persekongkolan perusahaan asing dengan pemerintah daerah mulai terungkap saat pemerintah mengumumkan banyaknya IUP yang bermasalah. Dengan bermain di kebijakan melalui Peraturan Daerah (Perda), perusahaan asing itu melanggar kesepakatan yang ada. Bahkan, mereka berani menghindari pembayaran pajak dan non pajak, royalti dan sewa tanah. Akibatnya negara dirugikan ratusan triliun rupiah.
Ketidakadilan ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memaksa Newmont dan Freeport agar tunduk dengan kebijakan negara untuk memperbaharui kontrak karya (KK), khususnya dalam meningkatkan nilai royalti bagi pemerintah. Dengan demikian, kedaulatan negara akan terwujud dan rakyat dapat disejahterakan dengan besarnya penghasilan dari sektor pertambangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar